Pesimisme

Ada seseorang yang apabila disebut suka pesimis, ia tidak mau. Ia lebih suka membahasakannya dengan “khawatir pada suatu saat”. Barangkali benar. Atau ada baiknya juga tidak dibilang salah. Kata “Saat” baginya bukan hanya masa depan yang akan dihadapi, tapi juga masa lalu yang telah ia jalani. Ia pernah mengalami hal-hal aneh di masa lalunya hingga ia kira tidak ada seorang pun selain dia yang pernah mengalami hal yang sama. Dramatis, bukan?! Sepertinya begitu. Jika ada seorang teman yang menegurnya, “Jangan mendramatisir suasana.” Maka ia akan menjawab, “Apa yang tidak dramatis di dunia ini?”


Begitulah ia berpikir. Sangat prinsipil, tapi cenderung labil dalam penilaian orang lain. Menurutnya, orang lain, yang dekat atau jauh dengannya, hanya menyembunyikan beberapa kejadian yang telah menimpa dan membuat kecewa. Ia yakin, ukuran orang untuk menentukan mana yang mengerikan dan mana yang tidak mengerikan sangat berbeda, tapi justru di situlah yang ia maksud dengan dramatis. Bisa saja ia histeris tak karuan setelah melihat tetangganya yang cerdas tidak pernah memperoleh beasiswa Dikti untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi.

Persoalan yang dihadapi orang perorang memang beda. Baginya, kehidupan mapan membentuk seseorang menjadi optimistis di satu sisi. Dan kehidupan yang ruwet akan menjadikan beberapa orang sangat pesimis menjalani hidup. Kehidupan itu, baginya lagi, berpijak pada ekonomi. Dia sangat Marxis di satu sisi, dan di sisi yang lain ia cenderung tidak menyukai pandangan itu dalam hal perspektif sejarah. Adakalanya ia tak pernah berpikir bahwa suatu saat tidak akan ada masyarakat yang tanpa kelas. Bukankah dengan “kelas sosial” itu, manusia jadi terlecut untuk terus berusaha “menjadi”. Dan barangkali, baginya juga, saat kehidupan setara dalam bidang ekonomi, orang-orang tertentu ingin melihat orang lain menderita karena ekonomi.

Kelemahan sikap, watak, dan tingkah laku, adalah bentukan struktur yang tidak bisa dilawan oleh si individu. Pada akhirnya, yang membuat manusia tidak sehat bukanlah kurang atau lebihnya gizi yang dikonsumsi. Semampu apa seseorang mampu mendapatkan makanan jika segala sesuatunya harus ditukar dengan uang? Sedangkan uang harus didapatkan dari si pemilik modal dalam takaran yang tidak dia kehendaki? Lalu apa definisi kebutuhan dan keinginan? Tidak ada. Orang bisa mengatakan butuh sesuatu pada saat ia telah muntah dengan sesuatu itu. Orang bisa mengatakan ingin sesuatu padahal ia sangat membutuhkannya dalam desakan yang mempertaruhkan hidup dan mati.

Zaman ini, orang percaya pendidikan mampu mengubah segalanya. Padahal banyak di antara kami yang terdidik tapi tidak mampu mengubah orang lain menurut keinginannya. Tusuk matamu dengan pedang! Update Path, Instagram, dan Twitter ketika kau ada di tempat yang mewah. Barangkali itu yang membuat mereka bisa optimis bahwa hidup adalah kebahagiaan. Ucapkan kata-kata romantis yang sekiranya membuat mereka paham bahwa ada bagian tertentu di dunia ini yang begitu indah meski hanya dalam kata-kata!

Ada seseorang yang mulai jijik dengan keadaan, ia tertekan, merasa terpuruk dalam keramaian. Ia berpikir, dengan apa ia akan melarikan diri dari dunia ini. Temannya berkata, bahwa yang ia rasakan hanya bayang-bayang tentang kesendirian. Lalu ia menipu, bahwa dengan sendiri ia merasa bersama. Dengan apalagi kalau tidak bersama dengan kesendirian itu sendiri. Ada lagi yang berkata, bahwa buruh bekerja kasar dan mendapatkan upah tidak seimbang dengan pekerjaaannya karena si buruh itu berpendidikan rendah dan kurang bisa survive pada hidup. Si buruh tidak lapang dada dengan apa yang ia dapat. Sungguh ini pernyataan tolol, untuk tidak menyebutnya kehilangan akal sehat. 

Bukankah si buruh itu berpendidikan rendah karena sejak dulu ia memang tidak bisa membayar SPP di sekolah? Bukankah si buruh itu memang pernah kecewa pada usahanya sendiri yang tidak bisa menembus kerasnya hidup yang sudah serba materi? Lalu siapa yang tidak berpendidikan jika pendidikan hanya digunakan untuk mempernyaman posisi diri tanpa memikirkan orang lain? Bukankah ia sudah dicekoki bahwasanya manusia adalah makhluk sosial? Lalu kenapa dalam hal modal ia menganggap itu milik pribadi? Dan resistensi apapun didistribusikan hingga tak seorang pun yang tak kebagian. Indahnya dunia ini bagi setiap orang yang tak sadar bahwa ia telah mendhalimi orang lain.

Posting Komentar

0 Komentar