Bersepeda Malang-Mojokuto 77 Km

Saya hanya terpikir begitu saja untuk bersepeda dari Lowokwaru, Kota Malang, ke Pare, Kediri. Kalau ada teman tanya apa alasan saya melakukan itu, saya tegaskan bahwa saya tak punya maksud apa-apa selain keinginan untuk memiliki sepeda sendiri di Pare. Karena saya punya di Malang, saya tak perlu menyewa, maka saya cukup membawa yang saya punya.

Pengalaman bersepeda Malang-Pare itu menarik sekali. Saya berangkat pagi sekali dari tempat saya menumpang tinggal dengan membawa tas ransel besar. Perhentian pertama saya adalah FISIP UB. Saya cuma ingin ambil foto, menandai di mana saya memulai, dan melanjutkan perjalanan. Kalau ditanya berapa kali saya berhenti, jawabannya adalah tidak terhitung kali. Bayangkan saja, dari Tlogomas ke Batu itu tanjakan tak henti-henti. Sampai di pertigaan setelahnya Pascasarjana UIN Malang, otot-otot paha terasa hilang. Entah sudah rontok di mana saja, mungkin di sekitar UMM dan Sengkaling. Saya pikir itu masih terlalu dekat untuk merasa lelah.

Meski membawa tripod sederhana untuk selfi, kelelahan di perjalanan membuat saya merasa muak untuk ambil foto diri dengan latar jalan atau plakat penanda kawasan. Di Songgoriti saya mengambil kanan, menuju daerah di mana biasanya calo villa memanggil-manggil dengan gigih. Sewaktu saya lewat, mereka tiada reaksi. Sama sekali! Padahal biasanya sangat grapyak. Oh pantas saja, saya bersepeda. Mereka tak terpikir saya butuh penginapan atau layanan dalam bentuk "apapun". Saya lanjutkan memedal hingga pertigaan terakhir tanjakan tinggi menuju Pujon. Di tanjakan ini saya berhenti berkali-kali dan berjumpa komumitas pesepeda di pertengahan tanjakan itu.

Mereka kira saya butuh bantuan untuk memompa ban atau sekedar mengecek kondisi sepeda. Saya hanya senyum lalu menggeleng sopan. Mau jawab pertanyaan mereka sudah tak sanggup, daya nafas saya hanya tinggal sejengkal. Saya minta air, dan salah satu dari mereka mempersilakan dengan sangat baiknya. Menyelonjorkan kaki rasanya nyaman sekali. Saya turunkan tas dari pundak, dan segala beban masa lalu sepertinya hilang dimangsa lapar. Entah mengapa, sejak di dekat Batu Town Square, beratnya tas serasa bertambah 10 kg.
Tak sampai setengah jam selonjoran, komunitas pesepeda hendak berangkat ke arah Batu, dan saya naik ke arah Pujon.

"Sampean mau ke mana, Mas?" Tanya salah satu dari mereka yang melihatannya paling senior di antara mereka.

"Ke Pare, Mas."

"Busyet. Masalahnya memang bukan jauh, atau mungkin sampean pikir nanti dari Pujon turunan terus. Tikungannya justru yang berbahaya. Trek sini ini terlalu ramai untuk ukuran jalan sedang yang dilewati banyak kendaraan." Ucapnya seperti memperingatkan.

Saya berterima kasih. Dan ia melanjutkan rasa kagetnya kenapa saya membawa tas ukuran besar dan tampak berat. Mereka meluncur jauh, menghilang di tikungan sebelum tempatnya Maufiq pernah mengalami kecelakaan.

Pujon
Di tanjakan dekat Songgoriti sebenarnya adalah tempat yang pas untuk ambil gambar. Sayangnya, rasa lelah lebih butuh segera enyah dari badan ketimbang menegakkan tripod kecil yang saya pinjam di Malang. Selepas tanjakan yang nyaris 45 derajat itu saya istirahat lagi sebentar, menunggu peluh menguap, dan memutar pikiran di mana ada pom bensin terdekat untuk mengisi botol minum.

Pujon-Ngantang terasa dekat sekali, turunan banyak, sebanyak tikungan tentunya. Ada beberapa tanjakan kecil yang tak terlalu mengganggu. Di tikungan setelah pasar buah setelah Pujon dari arah Malang, saya kalang kabut disikut buritan truk. Mungkin si truk juga mau menghindar dari tatapan mobil di depannya, mengenai bagian kanan setir saya dan sepeda pun oleng tanpa kontrol. Payah. Pikir saya.

Untungnya tas besar yang saya bawa bisa melindungi punggung yang ambruk ke rerumputan. Saya lupa bertanya, karena rumput ini tidak sedang bergoyang.
Bangkit kembali dan membersihkan tanah-tanah yang menempel di badan, saya perbaiki posisi tas biar terasa lebih ringan. Tak bisa. Berat tas ini hanya bisa berkurang apabila saya mengurangi isinya. Tapi itu tak mungkin. Okelah. Saya lanjutkan perjalanan.

Langit tampak cerah dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Tak ada awan abu-abu apalagi petir menyambar. Barangkali karena hari itu 14 Februari di tahun Kabisat. Atau mungkin karena memang cuacanya saja yang memilih cerah karena saya akan lewat. Hahaha. Ngantang berlalu. Saya tak memilih untuk berhenti. Eman rasanya turunan kalau berhenti.

Di Ngantang lah baru saya ketemu dengan tanjakan-tanjakan tinggi. Tenaga yang saya pakai untuk menaiki Kota Batu saya kerahkan lagi. Rasanya memang tersiksa, matahari sudah tepat di atas kepala. Terik menampar, dan semakin ke atas menanjak rasanya matahari juga mendekat. Uh. Panasnya minta ampun. Di pom bensin Ngantang saya isi air minum lagi. Kasembon masih jauh, saya belum makan dari pagi, hanya minum air yang rasanya tiap di tiap pom berbeda-beda.

Jalan Ngantang-Kasembon meliuk-liuk, kadang curam ke bawah, sesekali menikung tajam lalu datar pendek. Cukup variatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah kendaraan jenis apa yang bergerak di belakang saya. Ini penting sekali karena gerak sepeda sepertinya sulit sekali dihitung oleh pengendara kendaraan bermotor. Gerak sepeda pancal dan kendaraan bermotor memiliki perbedaaan dasar perkiraan dalam kecepatan dan akselerasinya. Untuk itu, saya yang harus tahu diri, baik dengan menunggu mereka menyalip atau saya mempercepat pedalan hingga kira-kira mereka berjarak lebih jauh dari ban belakang saya.

Beberapa kali percobaan saya nyaris gagal. Kegagalan pertama menjaga jarak di tikungan adalah kecelakaan yang saya alami di Pujon yang saya ceritakan di atas. Tapi itu tak terjadi lagi hingga saya mencapai Pare, kalau nyaris tersikat itu tak terhitung kali karena memang medannya berat.

Sebelum matahari sepenggalah di ujung sebelah barat saya bergegas mampir di pom bensin Kasembon. Di situ saya istirahat lama sampai tertidur sepenanakan nasi. Saat terbangun, saya memastikan sepeda masih ada, terparkir di depan mushalla. Saya mandi dan mengisi air minum. Lalu shalat dhuhur. Tak lama dari itu jalan kembali menyambut. Sampailah di perbatasan Malang-Kediri. Itu saat pertama saya ingat untuk ambil gambar setelah di Ngantang gagal.

Masuk Kediri, Kandangan memilihkan jalan, ke kiri ke Pare, kanan ke Jombang. Saya pun mengambil kiri, mengambil kanan sebenarnya bisa ke arah Pare, sebagaimana bis menuju Pare yang bergerak memutar masuk ke pinggiran Jombang terlebih dahulu, tepatnya Kecamatan Ngoro, sebelum benar-benar menuju Pare. Tapi itu tidak mungkin saya lakukan karena saya harus mengambil jalan pintas.

Setelah melintasi jembatan di Kandangan, selepasnya ada warung jual sup buah. Nah. Tepat di momen inilah, melihat gambar buah-buahan di banner yang tampaknya sangat segar sekali. Saya benar-benar merasa kehausan tapi tak merasa lapar meski seharian belum makan. Sehabis sup buah surut dari mangkoknya, saya lanjutkan lagi perjalanan. Kali ini rasanya panas menampar dari arah depan, seperti perjalanan ke arah barat mencari kitab suci. Pedal terus, karena jalan datar saja sampai Pare sana.

Sekitar satu jam dari Kandangan, Pare mulai terasa. Saya tak tahu benar perbatasannya di mana. Tapi tiba-tiba saja sudah sampai. Di pertigaan jalan bis menuju Blitar, saya mengambil jalan ke kanan. Sepi memang karena ini jalan besar tapi sepertinya jalan alternatif saja. Tulungrejo pun menyambut, sepelemparan buah apel saya masuk ke wilayah yang orang mengenalnya dengan Kampung Inggris. Iwan dan beberapa teman lainnya sedang ngopi di Pak Dur. Saya langsung lanjut ke sana.

Posting Komentar

0 Komentar