Pembacaan Hazleton atas Sejarah Perpecahan Sunni-Syi’ah

Review Buku “After The Propeth: Kisah Lengkap Muasal Perpecahan Sunni-Syiah”

Seorang muslim rasanya tidak cukup mengidentifikasi diri hnaya sebagai muslim sebelum menyebutkan apakah ia Sunni atau Syi’ah. Identifikasi ini bukan hanya soal identitas yang lahir dari perbedaan cara pandang terhadap kitab suci dan sunnah Nabi, tapi juga persoalan politik di masa awal pasca-Nabi. Zaman itu, setelah Nabi Muhammad meninggal, peralihan kepemimpinan dalam Islam mengalami perdebatan, saling klaim, dan bahkan percekcokan yang tidak selalu berujung pada keadaan damai.

Melalui buku ini, Lesley Hazleton menelusuri sejarah perpecahan Sunni dan Syi’ah sejak setelah Nabi wafat. Pendekatan yang ia gunakan, psikologi sejarah, menghasilkan narasi yang sangat kental dengan aspek psikis masing-masing tokoh yang ia paparkan. Dengan sumber terpercaya, yaitu At-Thabari terutama, ia mampu menjelaskan sisi yang amat individual dan personal dalam lintasan sejarah Islam dan perpecahan Sunni dan Syi’ah. Dialog-dialog di dalamnya sangat dekat dengan percakapan sehari-hari. Dengan demikian pula, kadang ada beberapa narasi yang cukup emosional, saya kadang meragukan tahap tertentu dalam sejarah yang Hazleton tulis.

Hazleton menghadirkan tokoh-tokoh dalam sejarah perpecahan ini seakan murni manusia biasa. Bagi kita yang terbiasa dengan sejarah kebudayaan Islam di madrasah ibtidaiyyah atau di pesantren pada umumnya, tulisan Hazleton amat berbeda. Analisis Hazleton terhadap sumber-sumber sejarah yang ia gunakan amat kuat, sehingga dapat menembus kejenuhan dari sejarah yang tunggal yang selama ini kita kenal. Sisi-sisi negatif dan positif yang amat manusiawi seperti hasrat untuk menguasai justru terpikir dengan sendirinya oleh pembaca sebagai konsekuensi dari penghadiran tokoh dengan pendekatan psikologi itu.

Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian panjang dengan judul sesuai tiga tokoh yang menurut Hazleton amat berperan dalam sejarah itu, yaitu “Muhammad”, “Ali”, dan “Husain”. Pembagian ini dimaksudkan untuk mempermudah urutan pembahasan agar tampak seperti kronologi. Meski demikian, pembagian ini tidak membatasi lompatan penjelasan yang dianggap penting. Hazleton membahas tuntas bagaimana Nabi Muhammad di masa hidup tidak secara tersurat menyerahkan tampuk kepemimpinan Islam ke sosok atau kelompok tertentu. Meski demikian, ada beberapa pernyataan yang tersirat sehingga memunculkan beragam tafsir atas pesan itu. Di samping itu, meski Islam sudah memperkenalkan musyawarah sebagai cara memutuskan kebijakan yang menyangkut banyak orang, budaya Arab saat itu juga memberikan pengaruh terhadap cara orang mengartikan pesan tentang kepemimpinan secara tersirat. Tak ayal bilamana ada yang menganggap bahwa Ahlul Bait adalah pemilik sah kepemimpinan dalam Islam.

Kemunculan beragam kelompok pendukung pemimpin tertentu pasca-Nabi merupakan efek langsung dari ketersiratan pesan kepemimpinan itu. Perpecahan ini, sebagaimana dipahami dalam tulisan Hazleton, bahkan muncul dari dalam rumah tangga Nabi sendiri. Hazleton menguraikan bahwa keterlambatan Ali (sepupu sekaligus menantu Nabi) untuk membai’at Abu Bakar sebagai khalifah telah memberikan bekas berkepanjangan yang di kemudian waktu dibalas oleh Aisyah (istri Nabi) binti Abu Bakar ketika Ali didaulat menjadi khalifah keempat.

Murni Politik?
Pemaparan Hazleton mengenai perpecahan Sunni-Syiah kadang membuat saya sangsi. Saya mempertanyakan apakah benar itu terjadi hanya karena soal politik dan perebutan kekuasaan. Bagi saya, untuk memberi ruang penelusuran yang lebih luas terhadap sebab dan aspek lain, perlu kiranya dipertanyakan apakah faktor perbedaan pemahaman juga menjadi pemicunya.

Hazleton sama sekali tak menyentuh bagaimana kelahiran berbagai aliran dalam Islam muncul seiring Sunni-Syiah pecah di awal sejarah pasca Nabi. Padahal, bagi saya ini penting untuk dijelaskan karena, misalnya, Khawarij tumbuh ketika keduanya berseberangan sejak awal. Khawarij bukan semata golongan putih yang antipati terhadap kedua kelompok itu, tapi juga ekspresi lain dari langkah politik yang sedikit banyak berawal dari perbedaan pemahaman, bukan soal pendudukan atau penguasaan terhadap kepemimpinan tertentu.

Di sisi lain, selain soal kekuasaan dan bagaimana masing-masing tokoh Sunni dan Syiah berseteru, Hazleton tidak memberikan penjelasan memadai mengenai Syiah dan Sunni secara pemikiran. Ini memunculkan pertanyaan yang berbeda, karena pada kenyataannya Sunni dan Syiah bukan sekedar faksi politik hingga berabad-abad berikutnya, namun semacam aliran yang menghasilkan perbedaan pemahaman bahkan soal kenabian Muhammad.

Waduh, sepertinya untuk menelusuri hal ini saya perlu waktu lain saja untuk mengumpulkan sumbernya. Saya pertanyakan sendiri, saya perlu jawab sendiri terlebih dahulu. Hehehe.

Posting Komentar

0 Komentar