Prenduan: Kenangan Kunang-Kunang (Bagian II)

Hari itu (6 Nopember 2011, tepat Id Fitrah) aku berjumpa Mbak Yuni di Facebook, berbincang banyak mengenai kesetaiaan, kebahagaiaan, dan daya baca serta menulis yang menyusut. Satu persatu yang kuhafal sejak remaja dan hilang di masa dewasa yang menginjak tua. Aku tak tahu menahu mengenai itu semua, menjalaninya dengan cukup semangat padahal tak ada apa-apa yang dapat kuperoleh. ‘Id ini, sendiri bersama bayang yang pernah menyelinap di punggung kuat harapanku.

“Aku masih tinggal di reruntuhan bangunan cinta yang pernah kita bangun bersama. Tak peduli panas dan hujan.” Kataku pagi tadi. Tak berarti apa-apa, hanya renungan sedikit yang kurasa dan bertahan dalam jiwa, sedalam dalamnya. Di kenangan yang sulit dijangkau dengan rasionalitas terlembaga dalam belenggu kesombongan meraih. Aku menjadi bijaksana seketika, itu juga tak ada. Tak ada yang ada, yang ada adalah yang mengada. Yang mengada pun hanya proses, setelah semangat habis, ‘mengada’ akan mengendur begitu saja. Aku membaca banyak kalimat bijak di dunia hari ini, ketenangan, kedewasaan sebelum waktunya, dan kebebasan yang sebenar-benarnya. Aku mencacimaki kejujuran, dan mengobrak abrik kemapanan. Aku tak bertahan, menggeser dan terus ingin mendominasi. Resikoku adalah mati tak diketahui. Aku tak dikenal dunia, dengan begitu aku tak mungkin dikenang. Apalagi sampai ditulis dalam catatan. Aku tak pernah menulis, hanya merenung dan bungkam setelah mengetahui hasil renungan itu menghantam diri ini. Kacau.

Mbak Yuni memberi tahuku beberapa hal. Mungkin dia pernah melaluinya dan mencatat semuanya. Jauh lebih dulu dariku, pengalamannya yang luas adalah modal di mana dia berani bicara di depan cermin diriku yang ia lihat di cermin kedewasaannya.

Saat malam menjelang, gelap menjelaskan padaku tentang bara pada arang. Aku melihat perjalan jauhku yang akan kuarungi dengan cita, sepi terasa sendiri. Aku berjanji untuk mati, sebab kehidupan hanyalah kekacauan. Kematian mengundangku di benak dan selalu kurindu hari itu.

Lalu kubertanya, mengapa tulisanku hanya berisi semua warna kelabu yang bercampur kehampaan berkata-kata? Hawa menjawab, karena yang kau rasa hanya itu, Ra. Ya kah? Tak ada lagi yang lebih menantang? Romantika mungkin? Atau harmoni?

Gelap malam aku ingin menyapa, dengan segenap mampu yang gugur di balik pintu keangkuhan. Mau kah kubukakan jendela pengharapan agar suatu saat kita bisa bernafas bersama dan melihat dunia lain yang lebih luas? Jangan. Aku sudah terlampau banyak berjanji. Jangan-jangan aku tak kan pernah kembali. Kepulangan selalu membuntutiku setiap waktu, hanya tarikan harapan yang akan membuatku kembali. Berharap banyak memang menyusahkan, tapi tak berharap adalah kematian eksistensi diri sebagai manusia bijaksana. Aku selalu tampak ceria di tengah suasana apa pun, itu tipuan, Sahabat. Itu hanya simulasi, Kawan. Absurd.

Fil, obrolan denganmu lagi. Aku ada karena kau menyapa. Sapaanmu memberi terang bagi jiwa yang tertutup kebohongan. Kalian tahu, sebab rindu aku ingin pulang.

Kasih sayang, aku akan mati bila kau hidup. Maka hiduplah demi keberadaanmu yang lebih bijaksana daripada kebijaksanaanku yang hanya cita-cita kosong seperti mimpi di siang bolong.

Roes, aku pernah belajar padamu tentang keakraban. Puisi cintamu pada kasih sayang agar bertahan adalah awal mula pembelajaranku untuk menulis semuanya.

Bun, seperti gelas yang pecah, kau susun aku lagi dengan harapan akuu dapat memuat banyal hal yang bening di hati.

Ra, setiap tetes yang kau tuangkan, aku tak berhak apa-apa kecuali memintamu meminumkannya suatu saat. Muungkin aku tak kan kehausan hanya karena panas dunia yang mencekam, tapi api kerinduan menggerogoti seluruh tubuhku dan menyita banyak waktu untuk dapat kembali mencicipi sejuk cintamu.

Fan, kau tertinggal di sudut pandang subjektif berandalan kota itu. Aku membawa citamu keluar masuk pasar keabadian dan menjadikannya yang utama saat semuanya apatis begitu saja.

Mif, candamu tentang hidup, memberiku apa yang saja yang membuatku tak tertawa. Sedikit senyum saja mengembang, aku terbang menuju kepunahan kelam derita.

Mad, sejak itu aku baru mengerti mengapa kita harus jujur pada kebohongan bahwa kita harus melawannya.

Af Qi, indah nian apa yang kau tulis. Bahkan di lereng yang gersang itu pun kau mencipta suasana yang penuh roman.

Tih, aku mengerti mengapa ambisi itu harus ada. Pudar hanya saat-saat yang sebentar. Saat yang berbeda akan mengganti lebih lama dan mengisi lagi yang pernah kau pikirkan dengan dalam.

Fan, kebijaksanaan dan absurditas. Itulah yang kutangkap pertama kali saat kita ngobrol pertama kali.

Annuqayah, sudut yang mengalir kebijaksanaan tak pernah kering.

Posting Komentar

0 Komentar