Prenduan: Kembali dari Rantau (bagian I)


Banyak hal yang terjadi di desa. Untuk mencatatnya, perlu waktu yang tenang dan waktu khusus yang disiplin. Tak sembarangan menulis serius. Apalagi tulisan yang dimaksudkan untuk mengubah tatanan sosial yang ada.

Mengubah? Apa mesti diubah?

Pasti ada. Kelihatan tak butuh perubahan pun harus punya rancangan dan perkiraan akan kemana ketidakbutuhan akan perubahan itu hendak melangkah. Saya hanya ingin  berbincang:

Belakangan, dua minggu terakhir ini libur kuliah. Di mana-mana pelajar di perguruan tinggi sejenak menikmati waktu luang yang diberikan kampus untuk tidak beraktifitas di kampus. Banyak yang bilang itu hari libur. Lantas ada apa dalam liburan? Banyak cara melaluinya, lebih tepat, banyak jalan menikmati liburan itu. Seorang teman bercerita dengan kalimat singkat di SMS, dia membantu ibunya menjaga toko dan melayani pembeli yang mampir di tokonya. Seorang sahabat lagi bercerita dengan media serupa bahwa ia dan tetangga-tetangganya tidak melaut gara-gara angin menghambat kerja mereka. Ia nelayan.

Bagaimana dengan saya sendiri? Saya membantu orang tua dan para tetangga panen jagung musim ini. Tak ada bayaran apa-apa layaknya buruh bayaran. Kecuali sesuap senyuman yang memancar dari kedalaman rasa solidaritas.

Dalam banyak perbincangan dengan mereka yang begitu bijak menyikapi hidup, saya mencoba menjelaskan mengapa kita bekerja. Tentunya dengan bahasa yang biasa mereka pakai dan terapkan. Bagaimana mereka dan kehidupan ini tidak selalu dalam keadaan baik. Ya. Saya kadang keterlaluan membuat mereka sinis pada keseluruhan struktur fungsi dalam masyarakat. Meski secara primordial misalnya saya tidak ingin mereka melepas kepercayaan pada kiai (yang notabene memegang peranan penting kemana arah kehidupan masyarakat akan melaju), tapi acapkali saya ‘keceplosan’ dan membiarkan mereka larut dengan kata-kata tak sepantasnya (dalam ukuran Madura) untuk kiai-kiai yang telah mengayomi mereka sejak dulu.

Sadarilah! Fungsi hari libur bukan untuk senang-senang atau membahasakannya dengan kata yang lebih halus, ”Mengisi waktu luang.” Tak ada waktu luang bagi orang yang paham pengabdian. Kembali pada kemanusiaan, manusia terbaik adalah ia yang dilahirkan dengan memposisikan diri sebagai manusia bagi lingkungannya, manusia yang mengabdikan kemanusiaannya pada manusia di sekitarnya.

Indah, bukan? Dan ini, bagi saya juga, hanya renungan tentang keindahan itu. Saya menulis untuk membatasi diri, tidak melakukan hal-hal yang sekiranya membuat saya tidak bermanfaat bagi masyarakat saya.

Posting Komentar

0 Komentar