Esai
Delegitimasi Kiai dan Perubahan Gaya Hidup: Tinjauan Sosiologis atas Perubahan Sosial di Madura Pasca Suramadu
Pendahuluan
Dalam benak beberapa orang yang saya temui di perantauan, jika menyebut Madura, mereka akan beranggapan tentang pulau gersang, dan yang paling parah: terbelakang. Ini fakta. Bahkan tidak perlu datang ke sana untuk membuktikan kebenaran anggapan ini. Hanya saja, akan tampak tidak mengenakkan bila mengganggap hal itu muatan negatif dari Pulau Madura sendiri. Di sisi lain, Madura dikenal melalui banyak sastrawan yang malang melintang di jagad nusantara, bahkan dunia. Taruhlah semacam D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, M. Faizi, Abdul Hadi WM., Mahwi Air Tawar, dan lainnya. Dalam pandangan yang berbeda, Madura dikenal religius dan bertebarannya pesantren di mana-mana. Bahkan sekolah negeri dikalahkan oleh madrasah.
Pesantren menjadi tempat produksi kebudayaan, dengan elit agama (baca: kiai) sebagai pemainnya. Kiai memegang peranan penting dalam menentukan kebijakan dan ’takdir’ masyarakat Madura. Ke mana hendak melangkah, ke mana kebijakan politik, ekonomi, pembangunan dan sosial akan digerakkan. Pengaruh feodalisme dan kharisma perorangan masih sedemikian kental dalam laju perkembangan masyarakat Madura. Meski ada pemusatan kebijakan dalam hal ini, tapi (dulu) inilah titik baik dari kehidupan masyarakat Madura.
KH. Tidjani Jauhari, pengasuh PP. Al-Amien Prenduan Sumenep, pernah mengumpulkan kiai se-Madura untuk menolak pembangunan Suramadu. Isu yang dibawa adalah dampak negatif pembangunan terhadap kehidupan masyarakat. Penolakan ini sempat diterima dan pembangunan Suramadu pun tertunda. Namun pada kelanjutannya, Suramadu tetap terbangun karena isu yang dibawa oleh proyek terlalu menggiurkan. Yaitu kesejahteraan masyarakat Madura melalui industrialisasi. Yang jadi kesalahan, kritik atas ide industrialisasi inilah yang gagal dibangun secara menyeluruh oleh elit agama dan masyarakat—sejenak harus kita bayangkan bahwa Madura masih feodal. Selain eksploitasi tanah dan lahan, tentunya juga ada eksploitasi dalam bidang pariwisata. Karena bagaimana pun, potensi pariwisata di Madura cukup menjanjikan.
Sebelum pembangunan Suramadu, perubahan sosial masih bergerak evolutif. Semenjak Suramadu berdiri, perubahan mulai menemukan puncak klimaksnya, revolutif dan tanpa kritik. Seharusnya kritik dapat menahannya di tingkat reformatifnya. Tidak lantas revolutif.
Beberapa hal yang menyebabkan ini adalah delegitimasi dawuh kiai, simualasi dan promosi industri, kesadaran menuju kesejahteraan, dan matinya adagium ’menjaga nilai lama yang baik’.
Bagi masyarakat Madura, dawuh kiai bisa diletakkan sebagai Narasi Besar. Narasi besar telah kehilangan kredibilitasnya, menghiraukan jenis mode unifikasi yang digunakan, tanpa memperhitungkan apakah ia narasi spekulatif ataukah suatu narasi emansipasi. Delegitimasi dawuh kiai ini terjadi akibat cepatnya arus informasi dan desinergitas tindakan kiai dengan dawuhnya sendiri. Ditambah lagi makin maraknya kritik terhadap turunnya kiai ke dalam ranah politik semakin menguatkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak lagi ditentukan oleh kiai yang dari dulu memainkan kharisma person dengan sangat baik.
Transisi dari sebelum ke industrialisasi inilah yang memacu cepat perubahan sosial. Wacana akan industrialisasi pasca Suramadu menjadi alat paling ampuh untuk mempercepat perubahan sosial di Madura. Sebelum dan setelah Suramadu jadi, wacana industrialisasi meluas melalui seminar, diskusi di madrasah, warung kopi, komunitas tukang ojek dan nelayan, dan berbagai segi kehidupan masyarakat Madura lainnya.
Percepatan Informasi dan Penanaman Hasrat Konsumtif
Konsumsi wacana dan informasi mencapai puncak klimaksnya karena rusaknya pemusatan informasi. Penyebaran informasi tak lagi terpusat di Dhalem kiai. Rasio instrumental yang absurd dihasilkan oleh liarnya informasi menciptakan budaya massa. Informasi yang tak terkontrol akhirnya menjadi konsumsi massa. Bebas tafsir, meluas, menyebar, merasuk tak sungkan pada semua lapisan sosial. Tafsir bebas atas informasi tak terkontrol menghasilkan dialektika berkepanjangan yang mematikan terpusatnya makna. Seperti keluar dari ruang pengap penafsiran, masyarakat merayakan euforia kebebasan penafsirannya dengan berbagai cara. Salah satu yang mencolok adalah gaya hidup. Secara materi masyarakat memang tertekan, namun modal kepercayaan diri menghadapi industrialisasi telah menjadi kepercayaan baru nan semu.
Bermula dari hilangnya legitimasi kiai dan percepatan informasi tak terkontrol ini, perubahan sosial di Madura berjalan beriringan. Mulai dari gaya hidup, perubahan pola pikir, optimisme menuju kesejahteraan melalui harapan industrialisasi, dan kesadaran untuk mengakui modernitas. Ditunjang oleh fasilitas untuk mengangkat gaya hidup seperti terbangunnya pertokoan, tempat pariwisata, dan perusahaan multiregional yang bermodalkan modal asing, kompetisi kehidupan menjadi makin sengit. Yang paling mencengangkan, masyarakat merasa maju dengan adanya Indomart dan Alfamart. Mereka beranggapan, dua mart inilah representasi kemajuan Madura. Aneh? Memang. Irasionalitas telah merasuk sebelum modernitas itu benar-benar dihadirkan untuk mensejahterakan.
Sasaran utama kapitalisme adalah masyarakat pesisir. Sektor pesisir merupakan lahan basah untuk menanam konsumtifisme. Iklan-iklan besar dipasang untuk mempercepat tumbuh kembangnya konsumtifisme ini. Simulasi memang alat terbaik untuk menanam hasrat membeli tanpa memikirkan kebutuhan. Konyolnya, menjadi sangat superior bila seseorang dapat membayar mahal suatu barang yang muncul di iklan tanpa memikirkan kualitas dari barang yang dibeli itu. Ini benar-benar terjadi di masyarakat pesisir Madura. Dominic Strinati mengutip perkataan Adorno, ”rahasia sejati keberhasilan ... semata-mata merupakan refleksi atas apa yang dibayar seseorang di pasar atas produk. Konsumen benar-benar memuja uang yang dia bayarkan untuk tiket konser Toscanini”. Kritik yang dilancarkan oleh santri-santri dalam rubrik Dari Pesantren untuk Pembaca dalam harian Radar Madura yang terbit tiap hari tidak mencapai efektifitasnya sebagai penjaga ekuilibrium sehatnya kehidupan masyarakat. Logika pasar berbasis hasrat yang dikembangka oleh kapitalis secara terus menerus selalu menang dalam pergulatan melawan kritik kaum santri. Santri yang merupakan representasi kiai dan pesantren untuk bersuara tidak berkutik dan tidak dapat berbuat banyak.
Suksesnya pasar dalam mengatur perekonomian menarik minat kapitalis lokal untuk ikut serta dalam persaingan perdagangan. Tertarik dengan kesuksesan ’pedagang’ non lokal, pedagang lokal juga beranjak dari mati surinya. Inilah penandaan utama perkembangan perekonomian. Industri rumahan atau ekonomi mikro telah kehilangan sentuhannya. Seperti matinya beberapa industri rengginang di Prenduan. Ekspor ikan kering di beberapa titik telah diambil alih oleh tengkulak non-Madura yang mempunyai gudang dan markas di Kaduara Timur Sumenep.
Untuk menghidupi keseharian seperti melengkapi kebutuhan pokok, masih bisa dipenuhi dengan pekerjaan sehari-hari, namun perubahan sosial yang sedemikian cepat membawa gaya hidup, telah memaksa masyarakat untuk berbelanja tidak sesuai dengan kebutuhan dan pendapatannya.
Dampak paling nampak dari industrialisasi dan periklanan pasca Suramadu juga memacu urbanisasi. Dengan fasilitas desa, masyarakat mencipta lingkungan kota dalam diri dan perasaan mereka. Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat yang merasa telah kehilangan lahan pekerjaan memilih untuk merantau dan mengadu nasib di tempat lain. Dulu, tidak ada anggapan kuno terhadap pesantren dan madrasah, belakangan ini baru muncul. Anak-anak tidak lagi disekolahkan dan dididik di pesantren dengan alasan sulit mendapatkan pekerjaan dan tidak mampu mengubah nasib. Pergeseran dan pragmatisme ini pun muncul pasca Suramadu. Sekolah kejuruan mendapatkan banyak siswa, madrasah dan pesantren kehilangan sentuhannya karena tidak pandai berpromosi dan berjanji. Akhirnya, beberapa pesantren mendirikan sekolah kejuruan berbasis pesantren (asrama). Full day education diadaptasi dalam format sekolah SMK dan disiplin kepesantrenan.
Prediksi Perubahan Sosial di Madura
Masyarakat Madura menjadi masyarakat konsumtif tanpa pengatur keseimbangan dan tanpa pemasukan yang tetap untuk dibelanjakan. Masyarakat tan punya modal untuk dibelanjakan, yang terjadi adalah hutang piutang pada rentenir dan maraknya gadai.
Jika benar, di samping sebagai pulau pariwisata, industrialisasi juga terjadi, maka penyingkiran posisi sosial masyarakat asli Madura dari tanah mereka sendiri yang tanpa modal skill juga akan benar-benar terjadi secara otomatis dengan sendirinya. Kemungkinan terbaik, masyarakat pribumi hanya menjadi buruh rendahan dengan gaji pas-pasan di ladang dan tanah kelahiran mereka. Eksplotasi lahan dan manusia secara struktural akan menjadi hal yang tak terelakkan dan tak tanpa kritik.
Runtuhnya legitimasi pesantren dan elemennya mungkin saja akan mengalihkan posisi kiai yang dulunya memang sebagai elemen berpengaruh menjadi pendukung eksploitasi. Ini kemungkinan terburuknya. Sebab keadaan yang tak beres pada masyarakat akan menyadarkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat akan kembali pada sentuhan kebijaksanaan kiai. Bila kiai dan tokoh masyarakat lainnya menggunakan aji mumpung di tengah ketertekanan mereka sebagai bagian dari masyarakat tertindas, maka kiai dan tokoh masyarakat itu tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Berkolaborasi dengan kapitalis, mereka pasti memberikan kesadaran palsu untuk mengatur jalan mulus kapitalisme dan eksploitasi. Bukan karena saya sinis dengan kapitalisme dan kiai, namun pada kenyataannya kondisi telah berkata jujur bahwa dewasa ini peniadaan dimensi etis telah kabur dan membaur dengan absurdisme.
Masyarakat bawah hanyalah lahan bagi keawaman bersemayam kekal, kecuali malaikat pencabut nyawa awam itu telah dilahirkan oleh pencerahan. Selama ini, tak ada komunikasi kesaling-pahaman. Yang ada hanyalah eksploitasi, di bidang apapun itu, informasi, wacana, kebijakan, dan keputusan. Hubungan komunikasi tak menyadari adanya subjek-objek yang menyebabkan ketimpangan komunikasi. Ketidakimbangan komunikasi mengakibatkan ’fatwa’ satu arah menyesatkan karena belepotan kepentingan dan hasrat berkuasa.
Kata Habermas, kita baru bisa menyebut perubahan sebagai krisis hanya kalau para anggota masyarakat mengalami perubahan-perubahan struktural itu sebagai krisis bagi kelangsungan hidup mereka sendiri dan merasakan identitas sosial mereka terancam. Bisa jadi, keterasingan akan melanda suatu masyarakat sebelum masyarakat itu benar-benar terasing. Terpinggirkan sebelum benar-benar sengaja dipinggirkan.
*Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perubahan Sosial di FISIP UB Malang. Dosen pengasuh: Arif Budi Nugroho, S.Sos., M.Si.
Daftar Pustaka
Chabib Musthofa, Frankfurt: Teori Kritis Madzhab Frankfurt. Materi dalam Diklat Penalaran Dasar Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI) IAIN Sunan Ampel di Auditorium Fakultas Syariah pada Sabtu, 15 Nopember 2008.
Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report of Knowledge, penerj. Dian Vita Ellyati, Surabaya: Selasar, 2009.
Dalam benak beberapa orang yang saya temui di perantauan, jika menyebut Madura, mereka akan beranggapan tentang pulau gersang, dan yang paling parah: terbelakang. Ini fakta. Bahkan tidak perlu datang ke sana untuk membuktikan kebenaran anggapan ini. Hanya saja, akan tampak tidak mengenakkan bila mengganggap hal itu muatan negatif dari Pulau Madura sendiri. Di sisi lain, Madura dikenal melalui banyak sastrawan yang malang melintang di jagad nusantara, bahkan dunia. Taruhlah semacam D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, M. Faizi, Abdul Hadi WM., Mahwi Air Tawar, dan lainnya. Dalam pandangan yang berbeda, Madura dikenal religius dan bertebarannya pesantren di mana-mana. Bahkan sekolah negeri dikalahkan oleh madrasah.
Pesantren menjadi tempat produksi kebudayaan, dengan elit agama (baca: kiai) sebagai pemainnya. Kiai memegang peranan penting dalam menentukan kebijakan dan ’takdir’ masyarakat Madura. Ke mana hendak melangkah, ke mana kebijakan politik, ekonomi, pembangunan dan sosial akan digerakkan. Pengaruh feodalisme dan kharisma perorangan masih sedemikian kental dalam laju perkembangan masyarakat Madura. Meski ada pemusatan kebijakan dalam hal ini, tapi (dulu) inilah titik baik dari kehidupan masyarakat Madura.
KH. Tidjani Jauhari, pengasuh PP. Al-Amien Prenduan Sumenep, pernah mengumpulkan kiai se-Madura untuk menolak pembangunan Suramadu. Isu yang dibawa adalah dampak negatif pembangunan terhadap kehidupan masyarakat. Penolakan ini sempat diterima dan pembangunan Suramadu pun tertunda. Namun pada kelanjutannya, Suramadu tetap terbangun karena isu yang dibawa oleh proyek terlalu menggiurkan. Yaitu kesejahteraan masyarakat Madura melalui industrialisasi. Yang jadi kesalahan, kritik atas ide industrialisasi inilah yang gagal dibangun secara menyeluruh oleh elit agama dan masyarakat—sejenak harus kita bayangkan bahwa Madura masih feodal. Selain eksploitasi tanah dan lahan, tentunya juga ada eksploitasi dalam bidang pariwisata. Karena bagaimana pun, potensi pariwisata di Madura cukup menjanjikan.
Sebelum pembangunan Suramadu, perubahan sosial masih bergerak evolutif. Semenjak Suramadu berdiri, perubahan mulai menemukan puncak klimaksnya, revolutif dan tanpa kritik. Seharusnya kritik dapat menahannya di tingkat reformatifnya. Tidak lantas revolutif.
Beberapa hal yang menyebabkan ini adalah delegitimasi dawuh kiai, simualasi dan promosi industri, kesadaran menuju kesejahteraan, dan matinya adagium ’menjaga nilai lama yang baik’.
Bagi masyarakat Madura, dawuh kiai bisa diletakkan sebagai Narasi Besar. Narasi besar telah kehilangan kredibilitasnya, menghiraukan jenis mode unifikasi yang digunakan, tanpa memperhitungkan apakah ia narasi spekulatif ataukah suatu narasi emansipasi. Delegitimasi dawuh kiai ini terjadi akibat cepatnya arus informasi dan desinergitas tindakan kiai dengan dawuhnya sendiri. Ditambah lagi makin maraknya kritik terhadap turunnya kiai ke dalam ranah politik semakin menguatkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak lagi ditentukan oleh kiai yang dari dulu memainkan kharisma person dengan sangat baik.
Transisi dari sebelum ke industrialisasi inilah yang memacu cepat perubahan sosial. Wacana akan industrialisasi pasca Suramadu menjadi alat paling ampuh untuk mempercepat perubahan sosial di Madura. Sebelum dan setelah Suramadu jadi, wacana industrialisasi meluas melalui seminar, diskusi di madrasah, warung kopi, komunitas tukang ojek dan nelayan, dan berbagai segi kehidupan masyarakat Madura lainnya.
Percepatan Informasi dan Penanaman Hasrat Konsumtif
Konsumsi wacana dan informasi mencapai puncak klimaksnya karena rusaknya pemusatan informasi. Penyebaran informasi tak lagi terpusat di Dhalem kiai. Rasio instrumental yang absurd dihasilkan oleh liarnya informasi menciptakan budaya massa. Informasi yang tak terkontrol akhirnya menjadi konsumsi massa. Bebas tafsir, meluas, menyebar, merasuk tak sungkan pada semua lapisan sosial. Tafsir bebas atas informasi tak terkontrol menghasilkan dialektika berkepanjangan yang mematikan terpusatnya makna. Seperti keluar dari ruang pengap penafsiran, masyarakat merayakan euforia kebebasan penafsirannya dengan berbagai cara. Salah satu yang mencolok adalah gaya hidup. Secara materi masyarakat memang tertekan, namun modal kepercayaan diri menghadapi industrialisasi telah menjadi kepercayaan baru nan semu.
Bermula dari hilangnya legitimasi kiai dan percepatan informasi tak terkontrol ini, perubahan sosial di Madura berjalan beriringan. Mulai dari gaya hidup, perubahan pola pikir, optimisme menuju kesejahteraan melalui harapan industrialisasi, dan kesadaran untuk mengakui modernitas. Ditunjang oleh fasilitas untuk mengangkat gaya hidup seperti terbangunnya pertokoan, tempat pariwisata, dan perusahaan multiregional yang bermodalkan modal asing, kompetisi kehidupan menjadi makin sengit. Yang paling mencengangkan, masyarakat merasa maju dengan adanya Indomart dan Alfamart. Mereka beranggapan, dua mart inilah representasi kemajuan Madura. Aneh? Memang. Irasionalitas telah merasuk sebelum modernitas itu benar-benar dihadirkan untuk mensejahterakan.
Sasaran utama kapitalisme adalah masyarakat pesisir. Sektor pesisir merupakan lahan basah untuk menanam konsumtifisme. Iklan-iklan besar dipasang untuk mempercepat tumbuh kembangnya konsumtifisme ini. Simulasi memang alat terbaik untuk menanam hasrat membeli tanpa memikirkan kebutuhan. Konyolnya, menjadi sangat superior bila seseorang dapat membayar mahal suatu barang yang muncul di iklan tanpa memikirkan kualitas dari barang yang dibeli itu. Ini benar-benar terjadi di masyarakat pesisir Madura. Dominic Strinati mengutip perkataan Adorno, ”rahasia sejati keberhasilan ... semata-mata merupakan refleksi atas apa yang dibayar seseorang di pasar atas produk. Konsumen benar-benar memuja uang yang dia bayarkan untuk tiket konser Toscanini”. Kritik yang dilancarkan oleh santri-santri dalam rubrik Dari Pesantren untuk Pembaca dalam harian Radar Madura yang terbit tiap hari tidak mencapai efektifitasnya sebagai penjaga ekuilibrium sehatnya kehidupan masyarakat. Logika pasar berbasis hasrat yang dikembangka oleh kapitalis secara terus menerus selalu menang dalam pergulatan melawan kritik kaum santri. Santri yang merupakan representasi kiai dan pesantren untuk bersuara tidak berkutik dan tidak dapat berbuat banyak.
Suksesnya pasar dalam mengatur perekonomian menarik minat kapitalis lokal untuk ikut serta dalam persaingan perdagangan. Tertarik dengan kesuksesan ’pedagang’ non lokal, pedagang lokal juga beranjak dari mati surinya. Inilah penandaan utama perkembangan perekonomian. Industri rumahan atau ekonomi mikro telah kehilangan sentuhannya. Seperti matinya beberapa industri rengginang di Prenduan. Ekspor ikan kering di beberapa titik telah diambil alih oleh tengkulak non-Madura yang mempunyai gudang dan markas di Kaduara Timur Sumenep.
Untuk menghidupi keseharian seperti melengkapi kebutuhan pokok, masih bisa dipenuhi dengan pekerjaan sehari-hari, namun perubahan sosial yang sedemikian cepat membawa gaya hidup, telah memaksa masyarakat untuk berbelanja tidak sesuai dengan kebutuhan dan pendapatannya.
Dampak paling nampak dari industrialisasi dan periklanan pasca Suramadu juga memacu urbanisasi. Dengan fasilitas desa, masyarakat mencipta lingkungan kota dalam diri dan perasaan mereka. Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat yang merasa telah kehilangan lahan pekerjaan memilih untuk merantau dan mengadu nasib di tempat lain. Dulu, tidak ada anggapan kuno terhadap pesantren dan madrasah, belakangan ini baru muncul. Anak-anak tidak lagi disekolahkan dan dididik di pesantren dengan alasan sulit mendapatkan pekerjaan dan tidak mampu mengubah nasib. Pergeseran dan pragmatisme ini pun muncul pasca Suramadu. Sekolah kejuruan mendapatkan banyak siswa, madrasah dan pesantren kehilangan sentuhannya karena tidak pandai berpromosi dan berjanji. Akhirnya, beberapa pesantren mendirikan sekolah kejuruan berbasis pesantren (asrama). Full day education diadaptasi dalam format sekolah SMK dan disiplin kepesantrenan.
Prediksi Perubahan Sosial di Madura
Masyarakat Madura menjadi masyarakat konsumtif tanpa pengatur keseimbangan dan tanpa pemasukan yang tetap untuk dibelanjakan. Masyarakat tan punya modal untuk dibelanjakan, yang terjadi adalah hutang piutang pada rentenir dan maraknya gadai.
Jika benar, di samping sebagai pulau pariwisata, industrialisasi juga terjadi, maka penyingkiran posisi sosial masyarakat asli Madura dari tanah mereka sendiri yang tanpa modal skill juga akan benar-benar terjadi secara otomatis dengan sendirinya. Kemungkinan terbaik, masyarakat pribumi hanya menjadi buruh rendahan dengan gaji pas-pasan di ladang dan tanah kelahiran mereka. Eksplotasi lahan dan manusia secara struktural akan menjadi hal yang tak terelakkan dan tak tanpa kritik.
Runtuhnya legitimasi pesantren dan elemennya mungkin saja akan mengalihkan posisi kiai yang dulunya memang sebagai elemen berpengaruh menjadi pendukung eksploitasi. Ini kemungkinan terburuknya. Sebab keadaan yang tak beres pada masyarakat akan menyadarkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat akan kembali pada sentuhan kebijaksanaan kiai. Bila kiai dan tokoh masyarakat lainnya menggunakan aji mumpung di tengah ketertekanan mereka sebagai bagian dari masyarakat tertindas, maka kiai dan tokoh masyarakat itu tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Berkolaborasi dengan kapitalis, mereka pasti memberikan kesadaran palsu untuk mengatur jalan mulus kapitalisme dan eksploitasi. Bukan karena saya sinis dengan kapitalisme dan kiai, namun pada kenyataannya kondisi telah berkata jujur bahwa dewasa ini peniadaan dimensi etis telah kabur dan membaur dengan absurdisme.
Masyarakat bawah hanyalah lahan bagi keawaman bersemayam kekal, kecuali malaikat pencabut nyawa awam itu telah dilahirkan oleh pencerahan. Selama ini, tak ada komunikasi kesaling-pahaman. Yang ada hanyalah eksploitasi, di bidang apapun itu, informasi, wacana, kebijakan, dan keputusan. Hubungan komunikasi tak menyadari adanya subjek-objek yang menyebabkan ketimpangan komunikasi. Ketidakimbangan komunikasi mengakibatkan ’fatwa’ satu arah menyesatkan karena belepotan kepentingan dan hasrat berkuasa.
Kata Habermas, kita baru bisa menyebut perubahan sebagai krisis hanya kalau para anggota masyarakat mengalami perubahan-perubahan struktural itu sebagai krisis bagi kelangsungan hidup mereka sendiri dan merasakan identitas sosial mereka terancam. Bisa jadi, keterasingan akan melanda suatu masyarakat sebelum masyarakat itu benar-benar terasing. Terpinggirkan sebelum benar-benar sengaja dipinggirkan.
*Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perubahan Sosial di FISIP UB Malang. Dosen pengasuh: Arif Budi Nugroho, S.Sos., M.Si.
Daftar Pustaka
Chabib Musthofa, Frankfurt: Teori Kritis Madzhab Frankfurt. Materi dalam Diklat Penalaran Dasar Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI) IAIN Sunan Ampel di Auditorium Fakultas Syariah pada Sabtu, 15 Nopember 2008.
Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report of Knowledge, penerj. Dian Vita Ellyati, Surabaya: Selasar, 2009.
Posting Komentar
0 Komentar