Esai
Penuranian Kebijakan
Esensi utama dalam diri manusia adalah mengabdikan kemanusiaannya pada manusia lainnya. Dalam hubungan ketuhanan, Tuhan menetapkan tiga pokok penting peran dan kewajiban manusia dalam tiga ranah yang berbeda. Yaitu hubungan manusia dengan Tuhan; hubungan manusia dengan manusia; dan hubungan manusia dengan alam secara keseluruhan.
Di ranah akademik yang sehat, seorang pelajar, dalam hal ini mahasiswa, harus mempunyai jiwa akademis, pengabdian, dan intelektualitas yang tidak mengingkari esensi awal kemanusiaannya. Tak dapat dipungkiri dan semua orang tahu, bahwa kehidupan akan ada dan mencapai ekuilibriumnya jika manusia dapat membagi fungsi-fungsinya dengan baik dan tanpa kepentingan sepihak. Meski kadang, keberpihakan tidak dapat dihindari karena konsekuensi The Will to Power yang ditemukan di dalam diri setiap individu. Namun, hasrat perseorangan ini dapat diakomodir dengan bijak bila kesadaran akan kebersamaan dan perjuangan tertanam kuat. Penanaman akan kebersamaan inilah yang harus direboisasi dan dijauhkan dari reduksi hama fanatisme golongan.
Jarak tempuh yang jauh dan jalan berliku untuk membentuk kesadaran tidak hanya diletakkan dalam proses ’pembiaran’ yang tak jelas, tapi juga memerlukan sistem yang rapi dan menjadi kesepakatan. Ekuilibrium sosial mencapai titik kulminasinya bila ruang publik dibuka selebar-lebarnya tanpa tersinggung dengan satir-satir yang terangkat dari fenomena nyata. Sepahit apa pun rasa dari ucapan dan aspirasi yang mencuat, harus dinutrisi sebaik mungkin untuk dicerna dan menghasilkan kebijakan sesuai daya pinta, tidak memihak dan mengakomodir semua kalangan.
Pengandaian
Seusia mahasiswa seperti kita, kampus adalah laboratorium terbaik untuk memperoleh pengetahuan, menguji kemampuan, dan menempatkan hasil asahan yang telah lama diproses. Tak lain dan tak bukan, hanya untuk mempersiapkan diri untuk terjun di ranah berikutnya yang lebih nyata dan keras. Yaitu ranah kehidupan praktis, aplikatif dan menuntut kebijaksaan yang lebih tinggi lagi.
Pembelajaran di kampus, adalah pembelajaran tentang kenyataan. Sebagaimana simulasi bekerja, kampus merupakan cerminan nyata dari kenyataan di atasnya. Kampus tak hanya dijadikan tempat belajar membaca layaknya TK, tempat nongkrong sebagaimana warung kopi, atau tempat hiburan layaknya tempat wisata. Mahasiswa apatis sebaiknya menyatakan diri dan menyadari kembali bahwa kampus adalah tempat menempa diri, mengasah yang tumpul dalam diri mereka, dan mengatakan pada dunia bahwa mereka bagian dari peradaban edisi sejarah kehidupan yang dinamis.
Kehidupan yang terdiri dari individu memang cenderung menjadikan manusia individualistis dan naif. Perlu adanya kesadaran akan kebersamaan untuk memacu gerakan. Gerakan yang kemudian menjaga kesadaran dan menggerakkan kesadarannya dalam tindakan praksis. Dalam analisa gerakan sosial, elit dibutuhkan untuk menggerakkan sebagai pusat kendali yang baik bagi awak di belakangnya.
Gerakan sosial bukanlah komunitas absolut yang tidak lagi mendapatkan aturan dari lembaga di atasnya seperti negara, forum dunia, dan lainya. Maka dibutuhkan dari masing-masing gerakan atau komunitas itu untuk mewakilkan diri mereka dalam menyampaikan aspirasi politisnya tentang negara-bangsa mereka.
Kebijakan dalam Ruh Kebijaksanaan
Miniatur negara adalah komunitas yang plural dan multikultural. Sama halnya dengan negara, kampus juga demikian. Selain sebagai laboratorium pembelajaran, perpustakaan yang hidup, dan tempat pengujian kemampuan, kampus adalah tempat melatih menempatkan diri di keragaman; bagaimana mengambil kebijakan yang baik dan tak merugikan di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain. Timbangan keuntungan ketidakberpihakan ini ada pada kebijaksanaan dan pengambilan keputusan.
Sebagai lembaga legislasi dan kontrol atas ekskutif, DPM harus mempunyai beberapa hal; Pertama, kebijakan yang mengakomodir semua suara dan mempertimbangkannya sebaik mungkin ketika diterapkan di keragaman kepentingan, dengan rasio dan nurani.
Untuk menampung semua suara, perlu adanya ruang publik yang tak terintimidasi aspek apa pun. Suara rakyat bukan suara Tuhan, tapi suara rakyat adalah suara mereka sendiri untuk diperjuangkan. Aspirasi perlu proses pembumian yang tak hanya fokus di satu lokal saja, namun juga menyeluruh. Pencapaian ini memang sulit ketika mengingat banyaknya kepentingan. Kepentingan tak dapat dimanipulasi karena sang penuntut lebih paham dengan kepentingan suara mereka ketimbang pendengaarnya.
Kedua, dalan hal kegiatan. Kegiatan atau program kerja yang ada di DPM sendiri harus transparan dan akuntabel, ini sebagai instrumen dalam mereformasi sistem yang baik menjadi lebih baik. Menuju jalan kesempurnaan sesempurna mungkin untuk terus diformat sesuai dengan konteks sejarah yang berkembang.
Ketiga, mengembalikan kedaulatan mahasiswa. Dalam artian mahasiswa haruslah dikuatkan dengan cara meningkatkan kapasitas keilmuannya, maka haruslah tersedia forum-forum (diskusi) sebagai tempat peningkatan kapasitas. Diskusi ini bukan hanya sekedar pelebaran wacana, juga berfungsi sebagai ruang publik dalam menyerap keinginan dan mendobrak negtifitas yang selama ini kurang bisa terselesaikan dengan baik. Sentimen terhilangkan ketika formalitas dilebur dan kesadaran bersama tumbuh. Fungsi forum bukan diletakkan atas nama menguatkan argumentasi pribadi, namun atas nama penyelesaian permasalahan.
Pada fungsi konkretnya, DPM merupakan mediasi aspirasi bagi mahasiswa, dalam hal ini DPM sebagai lembaga mahasiswa tentu haruslah membela hak-hak mahasiswa. Kewajiban mahasiswa sebagai insan akademik dan intelektual yang bijak disinergiskan dengan tuntutan hak yang memang harus diperoleh oleh mahasiswa. Sebenarnya, tak ada masalah dengan pengambilan kebijakan ketika kewajiban sama-sama disadari dan hak sama-sama terpenuhi.
DPM sebagai lembaga dalam mewakili kepentingan mahasiswa maka haruslah bisa menyambungkan kepentingan antar lembaga yang ada di FISIP UB pada khususnya dan Universitas Brawijaya pada umumnya. Dasarnya, mahasiswa FISIP, meski pada hanya pada tataran elit tahu pada pengambilan kebijakan dan tidak buta politis, tapi aspirasi yang minor dapat mengangkat isu publik mayor. Lagi-lagi, ini adalah sebentuk kepedulian elit dalam menggerakkan massa. Sebagai salah satu representasi elit, DPM adalah rujukan formal di kampus yang dijadikan tempat curhatan mahasiswa dalam bentuk apa pun.
Saya pikir, beberapa hal yang telah disebutkan di atas adalah bangunan sistem kokoh untuk membangun dan menjaga ekuilibrium sosial yang menyeluruh. Dalam teori sistem Parsonian, perubahan-perubahan sistem mengandung proses yang mengiringi, Parson membagi menjadi empat macam proses. Pertama, proses keseimbangan. Dimana dibutuhkan antara keseimbangan lingkungan. Proses ini sangat kontekstual dan fleksibel. Tergantung keadaan di mana proses ini berjalan. Saya kira, semangat tulisan ini begitu menyeluruh dan memuatnya.
Kedua, proses perubahan struktur. Di sini dibutuhkan orang-orang baru dan ide-ide baru dalam merubah struktur. Merujuk pada ekuilibrium sosial, historisitas sebuah sejarah tidak statis. Berharap banyak pada perubahan struktur adalah awal mula dari tindakan untuk mengubah.
Ketiga, proses perubahan diferensiasi struktur, ada nilai (lebih ke perubahan perilaku). Pembudayaan menjadi tonggak utama menuju tujuan ini. Diferensiasi ada bila mana pluralitas disadari terutama ketika proses pengambilan keputusan dalam lembaga legislasi. Menuranikan kebijaksanaan saya ambil sebagai grand mission yang membumi dan bukan simulacra di dunia maya.
Keempat, proses evolusi. Ini adalah perkembangan atau perubahan (baik perubahan kinerja,sistem). Proses evolutif erat kaitannya dengan pembudayaan. Pembudayaan mencuat di sistem dan sulit diubah ketika ia diasah sebegitu lamanya hingga tajam dan layak untuk digunakan. Proses evolutif mengandung banyak unsur penyaringan; antara yang baik dan yang tidak.
Selain hal-hal yang tersebut di atas, maka sangat mustahil akan tercapai perbaikan-perbaikan jika tidak ada dukungan dari mahasiswa lain. Dan sekali lagi, tulisan tidak berhenti di kertas putih nan buramnya untuk dilibatkan dalam pembentukan kesadaran, dasar segala tindakan, dan rujukan pemikiran untuk mengubah pola pikir yang solutif dan sadar akan kebijaksanaan di tengah keberagaman aspirasi.
*ditulis sebagai persyaratan bakal calon DPM FISIP UB dalam Pemilwa 2011.
Di ranah akademik yang sehat, seorang pelajar, dalam hal ini mahasiswa, harus mempunyai jiwa akademis, pengabdian, dan intelektualitas yang tidak mengingkari esensi awal kemanusiaannya. Tak dapat dipungkiri dan semua orang tahu, bahwa kehidupan akan ada dan mencapai ekuilibriumnya jika manusia dapat membagi fungsi-fungsinya dengan baik dan tanpa kepentingan sepihak. Meski kadang, keberpihakan tidak dapat dihindari karena konsekuensi The Will to Power yang ditemukan di dalam diri setiap individu. Namun, hasrat perseorangan ini dapat diakomodir dengan bijak bila kesadaran akan kebersamaan dan perjuangan tertanam kuat. Penanaman akan kebersamaan inilah yang harus direboisasi dan dijauhkan dari reduksi hama fanatisme golongan.
Jarak tempuh yang jauh dan jalan berliku untuk membentuk kesadaran tidak hanya diletakkan dalam proses ’pembiaran’ yang tak jelas, tapi juga memerlukan sistem yang rapi dan menjadi kesepakatan. Ekuilibrium sosial mencapai titik kulminasinya bila ruang publik dibuka selebar-lebarnya tanpa tersinggung dengan satir-satir yang terangkat dari fenomena nyata. Sepahit apa pun rasa dari ucapan dan aspirasi yang mencuat, harus dinutrisi sebaik mungkin untuk dicerna dan menghasilkan kebijakan sesuai daya pinta, tidak memihak dan mengakomodir semua kalangan.
Pengandaian
Seusia mahasiswa seperti kita, kampus adalah laboratorium terbaik untuk memperoleh pengetahuan, menguji kemampuan, dan menempatkan hasil asahan yang telah lama diproses. Tak lain dan tak bukan, hanya untuk mempersiapkan diri untuk terjun di ranah berikutnya yang lebih nyata dan keras. Yaitu ranah kehidupan praktis, aplikatif dan menuntut kebijaksaan yang lebih tinggi lagi.
Pembelajaran di kampus, adalah pembelajaran tentang kenyataan. Sebagaimana simulasi bekerja, kampus merupakan cerminan nyata dari kenyataan di atasnya. Kampus tak hanya dijadikan tempat belajar membaca layaknya TK, tempat nongkrong sebagaimana warung kopi, atau tempat hiburan layaknya tempat wisata. Mahasiswa apatis sebaiknya menyatakan diri dan menyadari kembali bahwa kampus adalah tempat menempa diri, mengasah yang tumpul dalam diri mereka, dan mengatakan pada dunia bahwa mereka bagian dari peradaban edisi sejarah kehidupan yang dinamis.
Kehidupan yang terdiri dari individu memang cenderung menjadikan manusia individualistis dan naif. Perlu adanya kesadaran akan kebersamaan untuk memacu gerakan. Gerakan yang kemudian menjaga kesadaran dan menggerakkan kesadarannya dalam tindakan praksis. Dalam analisa gerakan sosial, elit dibutuhkan untuk menggerakkan sebagai pusat kendali yang baik bagi awak di belakangnya.
Gerakan sosial bukanlah komunitas absolut yang tidak lagi mendapatkan aturan dari lembaga di atasnya seperti negara, forum dunia, dan lainya. Maka dibutuhkan dari masing-masing gerakan atau komunitas itu untuk mewakilkan diri mereka dalam menyampaikan aspirasi politisnya tentang negara-bangsa mereka.
Kebijakan dalam Ruh Kebijaksanaan
Miniatur negara adalah komunitas yang plural dan multikultural. Sama halnya dengan negara, kampus juga demikian. Selain sebagai laboratorium pembelajaran, perpustakaan yang hidup, dan tempat pengujian kemampuan, kampus adalah tempat melatih menempatkan diri di keragaman; bagaimana mengambil kebijakan yang baik dan tak merugikan di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain. Timbangan keuntungan ketidakberpihakan ini ada pada kebijaksanaan dan pengambilan keputusan.
Sebagai lembaga legislasi dan kontrol atas ekskutif, DPM harus mempunyai beberapa hal; Pertama, kebijakan yang mengakomodir semua suara dan mempertimbangkannya sebaik mungkin ketika diterapkan di keragaman kepentingan, dengan rasio dan nurani.
Untuk menampung semua suara, perlu adanya ruang publik yang tak terintimidasi aspek apa pun. Suara rakyat bukan suara Tuhan, tapi suara rakyat adalah suara mereka sendiri untuk diperjuangkan. Aspirasi perlu proses pembumian yang tak hanya fokus di satu lokal saja, namun juga menyeluruh. Pencapaian ini memang sulit ketika mengingat banyaknya kepentingan. Kepentingan tak dapat dimanipulasi karena sang penuntut lebih paham dengan kepentingan suara mereka ketimbang pendengaarnya.
Kedua, dalan hal kegiatan. Kegiatan atau program kerja yang ada di DPM sendiri harus transparan dan akuntabel, ini sebagai instrumen dalam mereformasi sistem yang baik menjadi lebih baik. Menuju jalan kesempurnaan sesempurna mungkin untuk terus diformat sesuai dengan konteks sejarah yang berkembang.
Ketiga, mengembalikan kedaulatan mahasiswa. Dalam artian mahasiswa haruslah dikuatkan dengan cara meningkatkan kapasitas keilmuannya, maka haruslah tersedia forum-forum (diskusi) sebagai tempat peningkatan kapasitas. Diskusi ini bukan hanya sekedar pelebaran wacana, juga berfungsi sebagai ruang publik dalam menyerap keinginan dan mendobrak negtifitas yang selama ini kurang bisa terselesaikan dengan baik. Sentimen terhilangkan ketika formalitas dilebur dan kesadaran bersama tumbuh. Fungsi forum bukan diletakkan atas nama menguatkan argumentasi pribadi, namun atas nama penyelesaian permasalahan.
Pada fungsi konkretnya, DPM merupakan mediasi aspirasi bagi mahasiswa, dalam hal ini DPM sebagai lembaga mahasiswa tentu haruslah membela hak-hak mahasiswa. Kewajiban mahasiswa sebagai insan akademik dan intelektual yang bijak disinergiskan dengan tuntutan hak yang memang harus diperoleh oleh mahasiswa. Sebenarnya, tak ada masalah dengan pengambilan kebijakan ketika kewajiban sama-sama disadari dan hak sama-sama terpenuhi.
DPM sebagai lembaga dalam mewakili kepentingan mahasiswa maka haruslah bisa menyambungkan kepentingan antar lembaga yang ada di FISIP UB pada khususnya dan Universitas Brawijaya pada umumnya. Dasarnya, mahasiswa FISIP, meski pada hanya pada tataran elit tahu pada pengambilan kebijakan dan tidak buta politis, tapi aspirasi yang minor dapat mengangkat isu publik mayor. Lagi-lagi, ini adalah sebentuk kepedulian elit dalam menggerakkan massa. Sebagai salah satu representasi elit, DPM adalah rujukan formal di kampus yang dijadikan tempat curhatan mahasiswa dalam bentuk apa pun.
Saya pikir, beberapa hal yang telah disebutkan di atas adalah bangunan sistem kokoh untuk membangun dan menjaga ekuilibrium sosial yang menyeluruh. Dalam teori sistem Parsonian, perubahan-perubahan sistem mengandung proses yang mengiringi, Parson membagi menjadi empat macam proses. Pertama, proses keseimbangan. Dimana dibutuhkan antara keseimbangan lingkungan. Proses ini sangat kontekstual dan fleksibel. Tergantung keadaan di mana proses ini berjalan. Saya kira, semangat tulisan ini begitu menyeluruh dan memuatnya.
Kedua, proses perubahan struktur. Di sini dibutuhkan orang-orang baru dan ide-ide baru dalam merubah struktur. Merujuk pada ekuilibrium sosial, historisitas sebuah sejarah tidak statis. Berharap banyak pada perubahan struktur adalah awal mula dari tindakan untuk mengubah.
Ketiga, proses perubahan diferensiasi struktur, ada nilai (lebih ke perubahan perilaku). Pembudayaan menjadi tonggak utama menuju tujuan ini. Diferensiasi ada bila mana pluralitas disadari terutama ketika proses pengambilan keputusan dalam lembaga legislasi. Menuranikan kebijaksanaan saya ambil sebagai grand mission yang membumi dan bukan simulacra di dunia maya.
Keempat, proses evolusi. Ini adalah perkembangan atau perubahan (baik perubahan kinerja,sistem). Proses evolutif erat kaitannya dengan pembudayaan. Pembudayaan mencuat di sistem dan sulit diubah ketika ia diasah sebegitu lamanya hingga tajam dan layak untuk digunakan. Proses evolutif mengandung banyak unsur penyaringan; antara yang baik dan yang tidak.
Selain hal-hal yang tersebut di atas, maka sangat mustahil akan tercapai perbaikan-perbaikan jika tidak ada dukungan dari mahasiswa lain. Dan sekali lagi, tulisan tidak berhenti di kertas putih nan buramnya untuk dilibatkan dalam pembentukan kesadaran, dasar segala tindakan, dan rujukan pemikiran untuk mengubah pola pikir yang solutif dan sadar akan kebijaksanaan di tengah keberagaman aspirasi.
*ditulis sebagai persyaratan bakal calon DPM FISIP UB dalam Pemilwa 2011.
Posting Komentar
0 Komentar