Catatan Harian
Sempu(rna), bagian 1
2013 telah berlalu. Seperti anak-anak tangga yang berurutan, kita bisa memilih, hendak naik atau turun. Begitulah rentetan tahun. Waktu, termasuk di dalamnya adalah tahun, adalah bayangan kita tentang perubahan. Bukan sekedar jarum jam, atau terbit tenggelam matahari, atau gerak masa yang terlalui, tapi agenda-agenda besar di suatu saat. Di dalamnya kita "menjadi". Kemenjadian itu bukan hal yang tetap, prosesnyalah yang penting untuk dijadikan rujukan. Ke mana orang akan menuju, dari mana ia berlalu.
Di wajah waktu, ada bintik hitam, tidak kelam, tapi menggugah himmah hidup yang lebih baik. Mungkin rasa bersalah di sebelum-sebelumnya akan hadir kembali pada suatu masa yang tidak bisa kita tebak, tapi apa boleh buat, tak hanya nasi yang telah menjadi bubur. Kecuali kita memasak hal baru yang lebih baik. Itu pilihan.
Wajah waktu adalah Keterlanjuran. Lalu datang penyesalan. Maka orang Madura pun berucap, "Tade' tabu'en bettes e yadek." Penyesalan akan datang di kemudian hari. Jangan herap banyak dari kita melakukan evaluasi, utamanya evaluasi diri. Kesalahan-kesalahan dulu akan menjadi hantu. Kita dihantui, tapi harus sadar bahwa itu adalah bayangan untuk tidak mudah menoleh ke belakang. Memulai untuk menjadi lebih baik seakan bukan pilihan. Sama dengan waktu, ia adalah keterlanjuran. Mana ada orang yang bisa mengembalikan masa lalu. Jangan masa lalu lah, satu detik yang lalu pun tak bisa diulangi.
Selain sebagai hewan yang berpikir, manusia adalah entitas yang memahami kemewaktuan. Waktu pun bergerak, dalam dirinya sendiri. Maka dari itu, waktu sebenarnya bukan kata benda, tapi kata kerja: mewaktu.
Di tengah hutan rindang, atau di dalam curah yang diluapi air laut, kita bisa saja menyampaikan sesuatu. Utuh tapi tak selesai sampai di situ saja. Meski ditanggapi biasa saja, barangkali dalam kata "biasa" itu ada yang luar biasa melebihi, khariqun minal 'adah. Persentuhan waktu dengan tubuh tak bisa dihindari, gerak lidah bisa mengklarifikasi, tapi apakah kita bisa membuat orang selalu lupa pada apa yang ia katakan satu menit sebelumnya?
Lalu kenapa kita harus taat pada rutinitas? Waktu yang bergerak kronometris tidak menjamin segalanya bisa selesai, hanya saja bisa diukur. Kita hidup di dalamnya, dalam 24 jam atau sehari, dalam 30 hari atau sebulan, dalam 12 bulan atau setahun. Tapi apakah kita percaya bahwa kita telah menjadi diri kita sendiri dengan cara mengikat diri pada waktu?
Ingat dulu, di stiker yang menempel di pintu kamar pondok, "Dalam setiap langkah adalah rentetan sejarah."
Di wajah waktu, ada bintik hitam, tidak kelam, tapi menggugah himmah hidup yang lebih baik. Mungkin rasa bersalah di sebelum-sebelumnya akan hadir kembali pada suatu masa yang tidak bisa kita tebak, tapi apa boleh buat, tak hanya nasi yang telah menjadi bubur. Kecuali kita memasak hal baru yang lebih baik. Itu pilihan.
Wajah waktu adalah Keterlanjuran. Lalu datang penyesalan. Maka orang Madura pun berucap, "Tade' tabu'en bettes e yadek." Penyesalan akan datang di kemudian hari. Jangan herap banyak dari kita melakukan evaluasi, utamanya evaluasi diri. Kesalahan-kesalahan dulu akan menjadi hantu. Kita dihantui, tapi harus sadar bahwa itu adalah bayangan untuk tidak mudah menoleh ke belakang. Memulai untuk menjadi lebih baik seakan bukan pilihan. Sama dengan waktu, ia adalah keterlanjuran. Mana ada orang yang bisa mengembalikan masa lalu. Jangan masa lalu lah, satu detik yang lalu pun tak bisa diulangi.
Selain sebagai hewan yang berpikir, manusia adalah entitas yang memahami kemewaktuan. Waktu pun bergerak, dalam dirinya sendiri. Maka dari itu, waktu sebenarnya bukan kata benda, tapi kata kerja: mewaktu.
Di tengah hutan rindang, atau di dalam curah yang diluapi air laut, kita bisa saja menyampaikan sesuatu. Utuh tapi tak selesai sampai di situ saja. Meski ditanggapi biasa saja, barangkali dalam kata "biasa" itu ada yang luar biasa melebihi, khariqun minal 'adah. Persentuhan waktu dengan tubuh tak bisa dihindari, gerak lidah bisa mengklarifikasi, tapi apakah kita bisa membuat orang selalu lupa pada apa yang ia katakan satu menit sebelumnya?
Lalu kenapa kita harus taat pada rutinitas? Waktu yang bergerak kronometris tidak menjamin segalanya bisa selesai, hanya saja bisa diukur. Kita hidup di dalamnya, dalam 24 jam atau sehari, dalam 30 hari atau sebulan, dalam 12 bulan atau setahun. Tapi apakah kita percaya bahwa kita telah menjadi diri kita sendiri dengan cara mengikat diri pada waktu?
Ingat dulu, di stiker yang menempel di pintu kamar pondok, "Dalam setiap langkah adalah rentetan sejarah."
Posting Komentar
0 Komentar