Kami Tidak Merantau, Kami Bertahan Hidup

Saya menyadari bahwa saya adalah bagian etnis yang suka merantau, meski pada dasarnya saya dibentuk sebagai pribadi yang selalu rindu kampung halaman. Saat lebaran tiba, kenapa kita sibuk pulang sedangkan di kampong halaman suasana lebaran ya begitu-begitu saja. Romantika yang kita tanam di dalam diri sebenarnya adalah proyek ekonomi penyedia jasa pulang dan kembali (transportasi) yang tidak peduli dengan keselamatan banyak orang.
Walaupun jumlah kecelakaan ketika mudik menurun, tapi turunnya angka kecelakaan bukanlah hal yang manusiawi jika satu nyawa hilang begitu saja hanya untuk melepas kangen. Orang-orang ribut mempertanyakan mengapa terjadi yang namanya migrasi, tapi lupa mempertanyakan apa latar belakang dari perpindahan itu.
Dari sekian banyak orang Madura yang melangkahkan kakinya ke luar pulau, 95% dari mereka saya pastikan adalah para pencari peluang untuk bertahan hidup. Dari rekam jejak sejarah merantau atau migrasi, Laurence Husson dalam Eight Centuries of Madurese Migration to East Java mencatatkan bahwa ada empat tahap migrasi yang orang Madura lakukan. Pertama, para petani merantau ke Pulau Jawa bagian timur untuk mengkoloni lahan-lahan pertanian pada abat 13 hingga abad 16. Ini terjadi sebagai rencana strategis untuk memperkuat kerjaan Majapahit waktu itu. Kedua, pada abad 16 sampai 18, orang Madura berpartisipasi dalam kekuatan militer penjajahan, kerajaan luar, dan siapapun yang berani bayar mereka.
Ketiga, dari 1845 sampai 1880 terjadi kemiskinan dan kelangkaan kebutuhan hidup sehingga secara structural terjadilah perpindahan penduduk ke Jawa. Keempat, depresi ekonomi pada 1929 dan pendudukan Jepang sebelum Indonesia merdeka di mana di Madura terancam oleh bencana kelaparan menyebabkan gelombang perpindahan bergemuruh.
Kelima, saat Orde Baru tegak berdiri, migrasi sudah tidak lagi terpusat di Jawa Timur dan diatur secara politik dan ekonomi sebagai strategi pengisian wilayah-wilayah ‘kosong’. Dari lima tahap itu, kepelikan migrasi keluar (out-migration) yang terjadi dari Madura ke luar Madura adalah cerminan dari bagaimana sebenarnya struktur politik, ekonomi, dan social pada masa itu sangat rentan dari ancaman ketimpangan. Apalagi awal abad 20 di mana Madura benar-benar mengalami tekanan ekonomi politik sekaligus, kehilangan kedaulatan atas sumberdaya, dan ancaman fisik dan psikis dari penjajahan dan pemimpin lokal yang korup.
Saya tidak benar-benar yakin bahwa merantau adalah pencarian pengalaman. Mungkin saja itu hanya terjadi pada para pelajar yang ingin mengakses perguruan tinggi atau sekolah di kota-kota di Jawa. Namun, itu tidak benar-benar terjadi pada orang-orang yang benar-benar merasa tertekan secara ekonomi di kampung halamannya. Ada banyak sekali orang Madura yang merasa bahwa tanah mereka tak cukup mampu menopang kebutuhan sehari-hari. Setelah selesai kuliah di Malang, saya benar-benar merasa demikian; masak saya harus berebut tanah dengan saudara saya sendiri untuk menjadi petani sedangkan yang kami miliki tidak cukup luas untuk dipaneni.
Apakah tidak ada sektor penghasilan lain yang bisa digarap? Bukan tidak ada. Namun kenapa hal itu harus ditangguhkan adalah karena sumber-sumber pendapatan non-pertanian dan kelautan sangat sempit dan telah dikuasai oleh para entrepreneur lokal yang biadab memperlakukan sektor tersebut, mulai monopoli atas perdagangan dan pengarus utamaan modal pada tingkatan besar.
Mudik adalah Cerminan Ketimpangan
Barangkali subjudul ini tepat sekali untuk menggambarkan arus mudik sebagai sebab domino dari migrasi. Eksodus besar-besaran yang terjadi pada orang Madura harus dilihat sebagai fenomena ekonomi yang rumit untuk tetap bertahan hidup. Madura bukanlah pulau segersang gurun pasir, tapi kemampuan dasar dari tanah lapang yang berbatu kapur ini sangat sempit bagi orang-orang yang was-was untuk melanjutkan pertanian dan pengembangan ekonomi di sektor kelautan.
Ada juga memang peternakan. Orang-orang Madura terlalu cinta pada sapi, tapi tidak benar-benar berternak untuk menyangga kebutuhan ekonomi sehari-hari, namun pada strategi celengan. Ya, ibarat celengan besar, sapi diternak untuk menjaga kemungkinan akan ada kebutuhan uang dalam jumlah besar. Orang berternak sapi tidak untuk dijual dagingnya saja, tapi prestise-nya pula, makanya ada nilai lebih yang muncul dari keunggulan bibit, cara berternaknya, dan lainnya.
Keberlangsungan penyediaan kebutuhan sehari-hari bagi petani dan nelayan seperti orang-orang di lingkungan saya hidup bergantung sepenuhnya pada sektor pertanian dan kelautan. Ketika dua sektor itu terancam tidak bisa memberikan dampak ekonomi yang baik, orang-orang harus memilih untuk pergi ke luar pulau untuk mencari kepastian ekonomi lain seperti perdagangan, perburuhan, dan lainnya. Maka dari itu, saya pastikan bahwa mayoritas perantau yang bekerja di banyak sektor di tempat mereka yang baru adalah para petani dan nelayan di kampung halaman mereka.
Jika mereka tidak memiliki cukup lahan yang mampu membiayai kebutuhan sehari-hari mereka, mereka akan berjudi pada keadaan dengan mempertaruhkan meninggalkan kampung halaman demi setangkup harap dan sesuap nasi. Jadi merantau dan mudik adalah dua mata uang pada koin yang sama; sama-sama menggambarkan sisi sebenarnya dari kondisi ekonomi dan ketidakmerataan alias ketimpangan.
Bukankah Madura cukup kaya sumberdaya alam? Iya memang. Tapi pernahkah Anda terbayang pada pipa minyak bawah laut yang melintasi selat Madura itu sebagai bagian terpenting dari pengerukan sumberdaya yang bukan untuk orang Madura sendiri? Ketimpangan ekonomi mengusir kami secara perlahan, lalu orang akan bercanda bahwa jika semua orang Madura di perantauan pulang, pulau kami tidak akan cukup menampung mereka; mengingat ada pencacahan bahwa orang Madura di rantau lebih banyak jumlahnya ketimpang orang Madura yang tinggal di Pulau Madura.
Saat ada isu pendirian provinsi, apakah orang-orang yang lain di tingkatan tinggi di Jawa Timur dan pemerintahan pusat kebakaran jenggot bakal ditinggal Madura beserta sumberdaya alamnya? Tidak. Mereka tidak khawatir tentang itu, karena mereka tahu dengan cara yang paling ragu bahwa orang Madura tidak akan mampu mengelola sumberdaya alamnya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar