Sepeda Pinjaman, Milik Sendiri, dan Sewaan

September 2013 lalu, saya membeli sepeda pertama kali, WimCycle Hardtail warna cyan. Sejatinya, meski ini sepeda saya yang pertama, sebelumnya saya punya sepeda tapi pinjaman dari sahabat saya, Fauzi. Lelaki cakep anak nelayan ini meminjami saya sepeda dengan jangka waktu yang tak ditentukan. “Pakailah dulu. Nanti jika kamu sudah punya, atau kamu mau balik ke kampong halaman, kembalikanlah.” Dengan senyumnya yang setulus entah!


Sepeda pinjaman dari Fauzi sedang parkir di bawah papan
pengumuman FISIP saat hujan deras turun memamah
rindu dan keinginan pulang.
Berbulan-bulan sepeda ini saya pakai, bahkan lebih setahun lamanya, sejak saya tinggal di Kertorahayu hingga pindah ke Jl. Gajayana Gang 2. Tiap hari saya ke kampus mengendarainya, melewati gang-gang kecil Ketawanggede yang menuju gerbang Teknik Universitas Brawijaya. Bersepeda ke kampus itu sangat jarang, makanya jumlah sepeda waktu awal-awal saya kuliah jumlahnya bisa dihitung jari, dan waktu itu tak ada parker khusus sepeda sehingga kami yang bersepeda rebutan parkiran dengan motor dan mobil. Kadang-kadang, tukang parkir kurang menghargai sepeda kami, mereka memindahkannya ke pinggir-pinggir lahan parkir dengan cara disandarkan ke pohon atau dinding. Suatu ketika saya melihat sepeda saya tumbang, bergelimpang karena berdiri tanpa kuatnya tumpuan, seperti masa lalu saya disleding dari belakang. Hahahaha.

Sepeda Fauzi ini beberapa kali saya tambal bannya karena bocor, beberapa kali pula saya bawa ke Jl. Gajayana Gang Buntu untuk diperbaiki, karena hanya di sana saya bisa menemukan bengkel sepeda pancal. Sepeda Fauzi ini sepeda operan atau ber-shifter baik, depan belakang berfungsi sama baiknya. Di bulan September 2013 awal, saya kembalikan sepeda ini karena saya sedang memegang uang yang saya tabung khusus untuk membeli sepeda. Dapatlah WimCycle Hardtail Cyan yang saya maksud di atas itu, di bengkel sepeda di Jl. Gajayana Gang Buntu yang juga jualan sepeda bekas, dengan harga Rp. 750.000,-, yang ternyata bekas milik mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum UB.


WimCycle Hardtail warna cyan yang manis semanis yang punya. Hihihi.
Tiga hari setelah saya beli, si pemilik sebelumnya mencari saya hingga ke kontrakan, meminta membelinya kembali dengan tambahan uang Rp. 100.000,- dari harga yang saya bayarkan. Saya tidak mau, karena kadung cinta, sepeda pertama yang saya beli dari usaha sendiri. Sebagaimana biasa, sepeda ini membantu saya mempercepat aktifitas, bukan cuma ke kampus, tapi juga ke Toko Buku Togamas, ke Pasar Buku Wilis, ke Perpustakaan Kota Malang, atau sekedar berkeliling di sabtu dan minggu pagi atau hari libur yang lain untuk menyegarkan betis.

Sedang diperbaiki di bengkel bapak, Jl. Gajayanan Gang Buntu.
Saya pernah mencoba bersepeda jauh dengan sepeda ini, tentu dengan membawa air di botol yang saya isi dengan air kran kontrakan. Bersepeda ke Kota Batu pada sabtu pagi, dan pernah juga ke Purwosari, Pasuruan. Ini saya lakukan karena saya pernah punya cita-cita bersepeda ke Madura, entah kapan, yang pasti setelah saya lulus kuliah saja. Namun sayangnya, awal Maret 2015 sepeda tersebut raib digondol maling. Saya memang lalai, karena pagi itu saya tidak menguncinya seperti biasa dan dibiarkan di depan sebuah kontrakan tempat saya menginap yang tanpa pagar.

Beberapa hari kemudian, saya mendapatkan sepeda lagi, membeli bekas dari pamannya Mas Vindi yang tinggal di Seskoad Malang, merek Polygon Monarch 1.0 keluaran tahun 2009-an, dengan harga murah sekali, Rp. 400.000,-. Saya beli dari uang pemberian Mas Najib yang waktu itu berkunjung ke Malang untuk penelitian. Tak lama saya pakai, hanya 10 hari setelah saya menggenjotnya dari Singosari hingga Ketawanggede, sepeda ini ikutan raib dilimpet maling. Waktu itu, jum’at malam saya menginap di kos teman, karena besoknya pagi-pagi buta saya harus menjemput emak yang hendak hadir ke acara wisuda saya. Namun waktu itu juga, paginya sebelum subuh, sepeda itu sudah tidak di tempat saya parkir sebelumnya. Padahal waktu itu sepeda tersebut terkunci dengan baik.


Parkir di depan rumah Pak Dhanny, sehari setelah beli dari
pamannya Mas Vindi di Singosari
Sejak saat itu saya mulai jera untuk segera memiliki sepeda lagi. Saya rindu bersepeda, karena selain hemat waktu untuk menembuh beberapa perjalanan untuk berkegiatan, ia juga membuat saya tak terjebak kemacetan Kota Malang yang menjemukan. Meski saya juga sudah tahu, bersepeda memastikan saya berkeringat seperti orang baru mandi. Di Kota Malang, sebenarnya bersepeda sudah tidak layak lagi, karena asap kendaraan bermotor sangat mengganggu. Dan di Kota ini pula saya melihat paradox pada pesepeda yang mengaku peduli lingkungan, kemarin berkampanye “mari bersepeda dan pelihara udara kita” tapi besoknya saya lihat salah satu dari mereka mengendarai Suzuki Satria FU, padahal setahu saya jarak kosnya dengan kampus tak lebih dari 15 menit jalan kaki.


Difotoin Adam Lzd sewaktu Around Pare. Makasih, Dam. :)
Sewaktu tinggal di Pare untuk kursus bahasa dan memperbaiki kedisiplinan, saya menyewa sepeda onta jadul. Dengan mengendarai sepeda ini, teman saya pernah berkomentar, “Kamu seperti lelaki muda patah hati yang datang dari masa lalu.” Ucapnya disertai ketawa lebar. Sepeda ini saya sewa untuk sebulan dengan biaya Rp. 55.000,-, dengan jaminan KTP. Dengan sepeda ini, saya pernah boncengan dengan Adam Lzd, teman asal Kepulauan Riau, untuk Around Pare-nya Test. Di Pare, persewaan sepeda sangat ramai karena rata-rata orang yang datang ke kecamatan ini adalah mereka yang dari jauh. Dan ketahuilah, bersepeda di Pare pada sore hari adalah keindahan dan tampak seperti ritus wisata para abangan!

Posting Komentar

0 Komentar