Tanah Rantau Makan Korban
Orang-orang yang bertahan hidup
di Madura kuat benar. Apalagi yang tinggal, menetap, dan bekerja di sektor
pertanian dan kelautan, menjadi petani dan nelayan. Tanah pulau ini sangat
tidak menguntungkan. Yang sedikit dan tidak menguntungkan itu pun sudah diambil
alih perusahan, orang berduit dari luar pulau; lautnya juga demikian mengalami
hal yang sama. Laut yang dulu tidak satu setan pun yang punya sekarang sudah
dikapling oleh perusahaan-perusahaan pengeboran minyak. Banyak di antara kami
yang mengambil keuntungan dari kegentingan ini, tapi lebih banyak lagi—beribu kali
jumlahnya—yang hanya bisa mengernyitkan dahi melihat hal-hal yang menimpa
mereka tanpa mereka sadari bahwa itu merupakan efek langsung dari shadow
market mechanism.
Jadi ada dua kategori manusia yang bisa bertahan hidup di pulau ini; mereka yang dengan sadar mengambil hak orang lain dan orang tak diuntungkan yang selalu dicekoki dogma agama bahwa kemiskinan dan ketidakberuntungan yang mereka alami adalah takdir.
Baru-baru ini seorang TKW asal Madura meninggal dunia di Malaysia setelah ada penggerebekan pada jam 2 malam. Iya, pada dini hari. Ini ironi kita. Ia pernah bercerita dulu pada anaknya, yang merupakan teman dekat saya, bahwa ia harus lari dari penangkapan itu karena tertangkap atau terjaring penggerebekan sama saja menyerahkan tubuhnya untuk dipukuli polisi; menyerahkan jiwanya untuk rindu kampung halaman dengan rasa sakit pentungan.
Di pulau ini mereka tersiksa, di
sana sama saja. Lalu kenapa mereka harus berangkat dengan cara yang illegal? Kenapa
tidak dengan cara yang legal agar tetap aman bekerja di rantau? Proses legalisasi
atau peresmian dokumen itu memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Tiap
pintu harus ada pelicinnya dan waktu pengurusannya lama. Bagi orang-orang
tradisional seperti kami, logika birokrasi lebih kejam dari terali besinya Max
Weber itu. Lalu setelah kejadian ini terulang berkali-kali, pucuk tertinggi
BNP2TKI sedang sibuk mengurusi suksesi pencalonan gubernur DKI.
Kalau Madura sejahtera, tidak
mungkin ada orang nekat berangkat ke Malaysia atau Saudi Arabia.
Kalau birokrasi
kita menyesuaikan diri dengan logika orang desa, tidak mungkin ada TKI illegal.
Bagaimana bisa resmi jika tiap pintu dan loket harus diuangi dan durasi
pengurusan berkas-berkas sama lamanya dengan membangun candi?
Ketimpangan sedang berlangsung. Pulau ini tidak sebegitu miskinnya. Yang bisa mengambil keuntungan darinya hanya sedikit, sayangnya cara mengatur yang sedang berkembang dan tata kelola sumberdayanya buruk sekali. Yang terjadi pada ia yang meninggal hanya contoh kecil saja. Yang tinggal bertahan di pulau ini sebenarnya mengalami hal yang sama, hanya saja kami menunggu kapan harus menyerah untuk siap mati dengan cara-cara yang lebih halus lagi.
Posting Komentar
0 Komentar