Catatan Harian
Maling
Suatu ketika di pertengahan Desember 2010, maling masuk ke rumahku. Jam sudah lewat dari pukul 1 dini hari. Aku belum tidur, mencoba memejamkan mata tapi mimpi tak kunjung tiba.
Maling itu masuk melalui jendela. Aku tahu karena aku melihatnya dari dalam kamar yang sedikit terbuka pintunya. Lampu beranda memang tak kami matikan. Ia mencongkel pelan-pelan jendela yang lurus dengan pintu kamarku, dan diam-diam memasukkan kaki kanannya hingga seluruh badannya.
Aku tak bersuara, memelankan nafas, hingga aku hanya mendengar hembus angin malam yang kencang karena rumahku dekat dengan pantai Selat Madura.
Ia berkopyah hitam tinggi ukuran 9. Tebakku. Sarungnya ditinggikan hingga dekat lutut. Ia mengenakan kaos cokelat lengan panjang bertuliskan nama kafe terkenal di Bali. Mungkin ia membelinya tiga atau empat tahun lalu di pasar mingguan kecamatan kami dan sering mengenakannya ketika bertani, terlihat dari kusutnya.
Hingga ia hanya melempar pandang ke sekitar di beranda rumahku, ia tak bergerak sedikit pun. Sebagai maling, mungkin ia pemula. Mungkin juga ia hanya heran kenapa kenapa di rumah ini tak ada apapun kecuali lincak bambu yang di atasnya terdapat tumpukan koran dan beberapa eksemplar buku.
Ia melangkah pelan sekali, dari dekat dipan bambu hingga ke dekat pintu yang jaraknya tiga langkah orang dewasa. Ia matikan lampu. Mungkin dia tahu ada orang belum tidur. Ia membuka pintu pelan-pelan. Lalu aku keluar dari dalam kamar sambil berdeham.
"Kenapa kau pergi begitu saja?" Tanyaku tanpa aku benar-benar melihat wajahnya. Ia membelangiku sambil memegang handle pintu.
"Tak ada apa-apa di sini," jawabnya sambil menoleh. Kulihat raut mukanya dalam-dalam, mungkin ia malu.
"Bawalah apapun yang bisa kau bawa. Tak baik jika maling keluar dari rumah orang dengan tangan kosong," kataku pelan karena takut membangunkan tidur orang.
"Kau tahu soal itu?" Tanyanya sambil meluruskan badan tepat berhadap-hadapan denganku.
Aku mendekatinya. Ia mundur perlahan. Aku bersiap menghindar jika tiba-tiba ia mengeluarkan celurit yang ia simpan di bagian bawah punggungnya. Aku mempersilakannya duduk. Ia enggan. Katanya ia buru-buru pulang sebelum terang.
"Aku tahu banyak hal soal maling, termasuk hitungan primbon mencari aman, arah mata angin untuk menghilang dari kejaran, hingga soal meracik ramuan penidur orang," terangku padanya sok tahu.
"Aku sudah lama begini. Aku juga tahu soal itu. Sejak jam 10 tadi aku lewat di depan sini dan mengincar rumahmu. Aku kira kau sudah terlelap. Tapi kau terlelap pun aku tak akan dapat apa-apa. Karena di rumah ini tak ada apa-apa yang bisa dianggap berharga.
"Aku kira kau punya televisi atau semacam radio tua yang masih bisa menyala. Aku salah mengira. Kau sama-sama miskinnya. Kenapa kau tidak jadi maling saja?" Tanyanya tak mengagetkanku.
"Aku terpikir untuk itu. Bukan aku takut pada polisi, tapi aku punya harga diri. Jika aku jadi maling, aku mencuri harga diriku sendiri," ucapku sok bijak padahal sebajingan-bajingannya dia masih lebih bajingan dan lebih munafik orang di depannya.
Ia pamit pergi. Aku memberinya segulung koran dan sebuah buku berjudul Ayyuhal Walad. Aku melihat langkahnya pergi. Ia berbelok ke kanan di sudut halaman rumahku. Persis seperti petunjuk primbon larinya arah maling di malam itu.
Maling itu masuk melalui jendela. Aku tahu karena aku melihatnya dari dalam kamar yang sedikit terbuka pintunya. Lampu beranda memang tak kami matikan. Ia mencongkel pelan-pelan jendela yang lurus dengan pintu kamarku, dan diam-diam memasukkan kaki kanannya hingga seluruh badannya.
Aku tak bersuara, memelankan nafas, hingga aku hanya mendengar hembus angin malam yang kencang karena rumahku dekat dengan pantai Selat Madura.
Ia berkopyah hitam tinggi ukuran 9. Tebakku. Sarungnya ditinggikan hingga dekat lutut. Ia mengenakan kaos cokelat lengan panjang bertuliskan nama kafe terkenal di Bali. Mungkin ia membelinya tiga atau empat tahun lalu di pasar mingguan kecamatan kami dan sering mengenakannya ketika bertani, terlihat dari kusutnya.
Hingga ia hanya melempar pandang ke sekitar di beranda rumahku, ia tak bergerak sedikit pun. Sebagai maling, mungkin ia pemula. Mungkin juga ia hanya heran kenapa kenapa di rumah ini tak ada apapun kecuali lincak bambu yang di atasnya terdapat tumpukan koran dan beberapa eksemplar buku.
Ia melangkah pelan sekali, dari dekat dipan bambu hingga ke dekat pintu yang jaraknya tiga langkah orang dewasa. Ia matikan lampu. Mungkin dia tahu ada orang belum tidur. Ia membuka pintu pelan-pelan. Lalu aku keluar dari dalam kamar sambil berdeham.
"Kenapa kau pergi begitu saja?" Tanyaku tanpa aku benar-benar melihat wajahnya. Ia membelangiku sambil memegang handle pintu.
"Tak ada apa-apa di sini," jawabnya sambil menoleh. Kulihat raut mukanya dalam-dalam, mungkin ia malu.
"Bawalah apapun yang bisa kau bawa. Tak baik jika maling keluar dari rumah orang dengan tangan kosong," kataku pelan karena takut membangunkan tidur orang.
"Kau tahu soal itu?" Tanyanya sambil meluruskan badan tepat berhadap-hadapan denganku.
Aku mendekatinya. Ia mundur perlahan. Aku bersiap menghindar jika tiba-tiba ia mengeluarkan celurit yang ia simpan di bagian bawah punggungnya. Aku mempersilakannya duduk. Ia enggan. Katanya ia buru-buru pulang sebelum terang.
"Aku tahu banyak hal soal maling, termasuk hitungan primbon mencari aman, arah mata angin untuk menghilang dari kejaran, hingga soal meracik ramuan penidur orang," terangku padanya sok tahu.
"Aku sudah lama begini. Aku juga tahu soal itu. Sejak jam 10 tadi aku lewat di depan sini dan mengincar rumahmu. Aku kira kau sudah terlelap. Tapi kau terlelap pun aku tak akan dapat apa-apa. Karena di rumah ini tak ada apa-apa yang bisa dianggap berharga.
"Aku kira kau punya televisi atau semacam radio tua yang masih bisa menyala. Aku salah mengira. Kau sama-sama miskinnya. Kenapa kau tidak jadi maling saja?" Tanyanya tak mengagetkanku.
"Aku terpikir untuk itu. Bukan aku takut pada polisi, tapi aku punya harga diri. Jika aku jadi maling, aku mencuri harga diriku sendiri," ucapku sok bijak padahal sebajingan-bajingannya dia masih lebih bajingan dan lebih munafik orang di depannya.
Ia pamit pergi. Aku memberinya segulung koran dan sebuah buku berjudul Ayyuhal Walad. Aku melihat langkahnya pergi. Ia berbelok ke kanan di sudut halaman rumahku. Persis seperti petunjuk primbon larinya arah maling di malam itu.
Posting Komentar
0 Komentar