Kayuhku Telah Sampai, Meski Bukan di Seberang
Aku duduk di Mojolangu, desa di mana suara kereta api terdengar menderu saat subuh baru usai dan sandal-sandal di depan musola dibawa pulang. Di desa pinggiran kota ini, hujan turun sesekali. Tak memberi kepastian besok basah lagi.
Aku menunggu sepedaku pulang. Entah kapan, beberapa bulan lalu seseorang mengambilnya, dan seseorang membawa gantinya. Dua kali, lalu tiga kali setelah aku dipinjami sepeda lagi. Apapun milik kita adalah titipan, dan yang mengambilnya tanpa pamit juga hanya dititipi, meski tanpa pamitan.
Dulu aku senang, sepedaku kukayuh hingga jauh. Hingga bekas bannya pun luluh. Aku ditinggal, pedal telah berganti kaki. Meski tetap, mungkin saja, si pemedal juga jarang mandi.
Aku tidak takut peluh. Yang aku khawatir hanya keenakan untuk tidak mengeluh. Semua orang tahu, kekuatan diri bersamaan dengan rintangan yang kita hadapi. Holderlin tak salah sangka, meski yang ia ucapkan lebih dari sekedar kata-kata.
Aku membayangkan bisa bersepeda di tengah padang, membonceng emakku di belakang sadel tempatku duduk menoleh sesekali dan memastikan ia masih memegang erat bagian belakang baju baru yang kubeli bersamanya awal kelas 1 madrasah aliyah dulu.
Kendati pun aku bukan anak yang rajin belajar dan tak jarang membuat ia menahan senyum karena telah menggantinya dengan kekecewaaan, aku tahu emakku bukan pemarah. Ia lebih mengutamakan teguran kecil yang menyentuh daripada kemarahan yang membuat wajahku terlihat keruh.
Kadang aku membayangkan senyumnya ada, meringkus lelahku bersepeda bersamanya. Kuhadapkan wajahku padanya, seraya menarik nafas tanda aku berusaha untuknya. Rasa sayangku narsis sekali, persis seperti rerumputan yang ingin terlihat hijau di pagi hari, musim kemarau tak peduli. Rasa sayangku narsis sekali, nyaris sama dengan permohonan untuk dipuji.
"Kau lelah anakku?"
"Tidak. Aku hanya memastikan kau di sini bersamaku."
"Ada air minum, sangu kita di tengah perjalanan panjang. Jika nanti tinggal satu tegukan, pastikan hausmu lah yang hilang."
"Tidak, Mak. Kaulah sumurku, tempatku menegak kasih yang menghapus dahaga rinduku."
Kayuhanku telah sampai, meski bukan di seberang.
Aku menunggu sepedaku pulang. Entah kapan, beberapa bulan lalu seseorang mengambilnya, dan seseorang membawa gantinya. Dua kali, lalu tiga kali setelah aku dipinjami sepeda lagi. Apapun milik kita adalah titipan, dan yang mengambilnya tanpa pamit juga hanya dititipi, meski tanpa pamitan.
Dulu aku senang, sepedaku kukayuh hingga jauh. Hingga bekas bannya pun luluh. Aku ditinggal, pedal telah berganti kaki. Meski tetap, mungkin saja, si pemedal juga jarang mandi.
Aku tidak takut peluh. Yang aku khawatir hanya keenakan untuk tidak mengeluh. Semua orang tahu, kekuatan diri bersamaan dengan rintangan yang kita hadapi. Holderlin tak salah sangka, meski yang ia ucapkan lebih dari sekedar kata-kata.
Aku membayangkan bisa bersepeda di tengah padang, membonceng emakku di belakang sadel tempatku duduk menoleh sesekali dan memastikan ia masih memegang erat bagian belakang baju baru yang kubeli bersamanya awal kelas 1 madrasah aliyah dulu.
Kendati pun aku bukan anak yang rajin belajar dan tak jarang membuat ia menahan senyum karena telah menggantinya dengan kekecewaaan, aku tahu emakku bukan pemarah. Ia lebih mengutamakan teguran kecil yang menyentuh daripada kemarahan yang membuat wajahku terlihat keruh.
Kadang aku membayangkan senyumnya ada, meringkus lelahku bersepeda bersamanya. Kuhadapkan wajahku padanya, seraya menarik nafas tanda aku berusaha untuknya. Rasa sayangku narsis sekali, persis seperti rerumputan yang ingin terlihat hijau di pagi hari, musim kemarau tak peduli. Rasa sayangku narsis sekali, nyaris sama dengan permohonan untuk dipuji.
"Kau lelah anakku?"
"Tidak. Aku hanya memastikan kau di sini bersamaku."
"Ada air minum, sangu kita di tengah perjalanan panjang. Jika nanti tinggal satu tegukan, pastikan hausmu lah yang hilang."
"Tidak, Mak. Kaulah sumurku, tempatku menegak kasih yang menghapus dahaga rinduku."
Kayuhanku telah sampai, meski bukan di seberang.
Posting Komentar
0 Komentar