Seperti Pulang pada Kenangan
Sepulang penelitian tentang dampak limbah di Desa Baujeng, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, hari Kamis (19/11) lalu, saya iseng berkunjung ke Masjid Muhammad Cheng-ho, Pandaan. Masjid tersebut lebih terlihat seperti Vihara, tempat ibadah umat Buddha, daripada terlihat sebagaimana masjid pada umumnya. Ia bercat merah dengan ornamen Cina yang sangat kental sekali. Ia sungguh berbeda.
Masjid Muhammad Cheng-ho adalah masjid paling hibrid—meminjam istilah Cak Nun—yang saya kunjungi. Di mana batas kebudayaan? Jika bahkan batasannya pun tak bisa dijelaskan dengan ketegasan tertentu yang membuat kita berpikir cukup parsial dan terbatas hanya pada memikirkan masjid sekedar soal mihrab dan menara. Dari Cak Nun pula saya tahu bahwasanya mihrab itu adalah modifikasi dari tempat api (manarah) pemujaan Majusi, dan mihrab merupakan arsitektur yang melekat pada gereja.
Betah berlama-lama duduk menyendiri di beranda masjid usai salah satu ritus lima waktu, saya melangkah pergi, meninggalkan shaf demi shaf, lalu melihat sandal begitu girang karena tak raib dipakai orang. Saya percaya satu hal, bahwa yang kita bawa pun adalah titipan, walau sekedar berupa sandal.
Di utara masjid, ada keramaian para wisatawan yang entah dari mana, mengerubungi sebuah lapak yang disediakan untuk mereka berbelanja. Saya penasaran. Apa yang kiranya bisa saya bawa pulang untuk sekedar mengingat bahwa saya pernah berkunjung ke tempat ini. Ternyata lapak mainan anak-anak. Tak ada yang membuat saya tertarik. Namun dari jauh, di lapak sebelahnya lagi, ada bunyi tek-tek-tek yang saya merasa akrab sekali. Ternyata suara perahu mainan kecil yang terbuat seng dan dibahanbakari minyak goreng.
Ingatan saya melesat, cepat sekali. Ingatan yang sepertinya menghantam dari seberang, memaksa untuk tidak melupakan tangisan di siang hari ketika di pasar emak saya bilang, “Kalau kita membeli perahu mainan itu, kita tak bisa beli tahu.” Begitulah jawabnya saat saya meminta untuk dibelika perahu kecil itu, beberapa belas tahun lalu.
Saya menangis, pelan, tapi isakannya tersisa hingga nyaris sejam. Usai emak menyelesaikan urusannya dengan beberapa pedagang, ia menggendong saya pulang, menjauhkan saya dari lapak penjual mainan. Setelah itu, saya tidak pernah lagi diajaknya ke pasar, mungkin ia merasa saya tidak bisa benar-benar berkompromi dengannya untuk satu hal ini.
Saya masih berdiri di sini, di sisi lapak penjual mainan di komplek Masjid Muhammad Cheng-ho. Saya rogoh saku, ada uang sepuluh ribu yang terlipat dan di dalamnya lagi lima ribuan, masing-masing keduanya selembar.
“Berapa harganya, Pak.”
“Lima belas ribu, Mas.” Jawab si pedagang bertopi dengan kumis tebal itu.
Saya mulai memutar pikiran, mencari cara agar bisa membawa pulang perahu itu tanpa saya bisa menjamin bisa bayar karcis bis. Saya bertaruh, membesarkan hati dengan segala cara, bahwa nanti akan ada pick-up atau pun truk yang bisa saya tumpangi untuk menuju Kota Malang. Saya bayarkan, dan perahu itu pun dimasukkan ke plastik.
Tak gontai berjalan, saya merasa segar. Perahu seng ini membawa saya pulang tanpa tangis menuju kenangan. Terima kasih, Ketercapaian.
Posting Komentar
0 Komentar