Pembelaan atas Rasa Kehilangan

Banyak orang “menolak” untuk membahasakan kematian dengan kematian itu sendiri, menggantinya dengan kata yang merujuk pada makna yang sama: meninggal, tiada, dan lain sebagainya. Apakah memang hidup penuh dengan “penolakan” sehingga yang paling alamiah pun tidak diinginkan? Sehingga mati pun ditolak padahal tanpa “mati”, hidup tak bisa dibahasakan? Bagaimana cara membahasan kehidupan tanpa kematian? Di daerah urban, rasa takut akan mati terepresentasi secara ekonomi pada asuransi jiwa. Apa yang orang kota takutkan dari kematian itu?

Jika kita mengingat pelajaran bahasa, pada bagian antonim, ada oposisi biner dalam setiap kata. Semisal iya dan tidak. Lalu apakah mati adalah antonim bagi hidup? Bukan. Justru salah satunya adalah fase bagi yang lainnya, hidup dan mati merupakan fase yang bergiliran dari keber-ada-an. Kemudian, apakah hitam adalah antonim dari putih? Bukan pula, keduanya hanya jenis-jenis warna yang kebetulan nyaris semua orang menganggapnya sangat kontras perbedaannya.

Bukti lebih lanjut, “Tak hidup” bukan susunan kata penjelas dari “Mati”. Keduanya sangat berbeda utamanya dalam penjelasan biologi tentang benda mati dan benda tak hidup. Benda mati adalah benda yang sebelumnya hidup, lalu mengalami mati. Sedangkan benda tak hidup adalah benda yang memang tidak pernah mengalami hidup.

Persoalannya, masing-masing kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang, bagi antropolog kawakan Clifford Geertz, mengkonstruksi perlawanan terhadap chaos dengan karakter, sifat, dan kualitas yang tercermin dalam pandangan hidup. Sehingga, pemaknaan terhadap kematian menjadi beragam. Hindu dan Buddha menganggap kematian bukan keberakhiran dari eksistensi, tapi transisi dalam eksistensi itu. Dalam kitab suci umat Islam dijelaskan bahwa kematian itu tak dapat diprediksi dan dipercepat atau diperlambat, dan setiap yang ada akan mengalaminya.

Keberagaman pandangan terhadap kematian ini bukan yang dipersoalkan dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya ingin mencari kenapa kematian menjadi sesuatu yang tampak sangat mengerikan, ditolak, dan sepenuhnya ingin sekali dihindari. Tentunya, sambil lalu mencari pembelaan atas rasa kehilangan dan sekaligus menghibur diri.

Arnold Toynbee mencatat beberapa hal tentang perbedaan pandangan terhadap kematian yang, menurut saya, didasarkan pada penolakan itu. Menurut penulis Sejarah Umat Manusia ini, di Barat kematian ditolak dan menghasilkan aktivisme beserta asketisme yang melatarinya. Orang-orang Barat menolak kematian dengan cara menyusun strategi penyelematan. Sedangkan orang Timur cenderung kontemplatif dan mistis melihat kematian. Namun di antara keduanya, denial itu ada. Salah satu contoh paling sederhana dan mudah ditemui adalah tangisan pada orang mati; di momen duka, orang menghindari mengenakan pakaian berwarna cerah dan cenderung memilih warna hitam. Sehitam itukah duka?

Tangisan pada orang mati bukan penolakan terhadap kematian itu sendiri, tapi bisa jadi penolakan atas rasa kehilangan yang mendalam. Yang mati menerima mati tanpa bisa menolaknya, justru yang masih hiduplah yang mampu menolak realitas kematian itu. Karena realitas ini merupakan penanda absolut akan kehilangan. Setiap orang akan mengalami mati, tapi tidak setiap orang bisa menerima begitu saja rasa kehilangan karena kematian.

Dalam mitologi orang Madura tentang tangisan pada yang mati, tangisan orang yang masih hidup akan mempersulit “perjalanan” orang yang mati menuju alam selanjutnya. Mitos ini salam sekali tak berpengaruh, karena selain tak bisa dibuktikan secara empiris, perasaan juga bukan wilayah logika untuk memberikan penjelasan.

Rasa kehilangan bisa diukur dari seberapa besar relasi antara subjek yang merasa memiliki terhadap subjek atau objek yang dimilikinya. Bahkan dalam tahap tertentu, relasi tersebut, meminjam istilah Eric Fromm, bukan lagi relasi memiliki (to have), tapi menjadi (to be). Kemenjadian lebih mendalam dari sekedar kepemilikan. Dua atau lebih orang yang hidup lama bersama akan merasa berduka jika mereka kehilangan salah satu di antara mereka, bukan karena sekedar saling ‘memiliki’, tapi sampai pada tahap saling ‘menjadi’. Duka adalah ungkapan yang hidup atas rasa kehilangan. Banyak sekali ekspresi keberdukaan, bahkan bendera Prancis pun bisa dijadikan medium untuk menunjukkan rasa duka pada korban Paris boombing.

Kematian adalah pengalaman di mana orang tidak bisa benar-benar bersepakat tentang bagaimana setelah hembus nafas terakhir itu terjadi. Kalaupun ada beberapa orang yang mengaku pernah mengalami mati lalu hidup kembali, apa yang ia katakan tidak bisa benar-benar dibuktikan, karena mencari validitas pengalaman atas kematian lebih tidak mungkin daripada mencari jarum ditumpukan jerami.

Pada akhirnya, manusia berusaha yakin dengan apa yang diterangkan agama terkait mati. Agama didaulat sebagai institusi kemasyarakatan paling sah untuk memberikan pemahaman terkait kematian. Apakah agama memberikan bukti riil atas pengalaman kematian itu? Kalau tidak, lalu bagaimana ia dipercaya? Keyakinan orang pada penjelasan agama tentang kematian merupakan buntut panjang dari keyakinan akan adanya pencipta yang sekaligus causa prima. Kematian adalah kehendak-Nya, sehingga apa yang Ia sampaikan tentang kematian adalah kebenaran.

Ada-dalam-Dunia, meminjam istilah Heidegger, membutuhkan kesadaran tentang ruang dan waktu yang sama-sama relatif. Relativitas waktu menjelaskan tetek bengek keberadaan yang bukan sekedar ada untuk tiada. Kalau pun ada ‘kemeniadaan’ dalam proses ‘mengada’, ia tidak bisa dipahami sebagai ‘kelenyapan’. Orang memasang patok di atas pusara bukan hanya untuk menandai di mana mereka mengubur orang terdekatnya, namun mempertahankan keberadaan orang yang mati di dalam kenangan mereka.

Saya jadi teringat ucapan Candra Malik tentang harapan, “Hidup bersama bahagianya, atau hidup bahagia bersamanya.” Yang dirasakan seorang anak pada orang tuanya secara umum adalah keduanya dalam waktu yang bersamaan.

Posting Komentar

0 Komentar