Menjadi Konsumen Cerdas: Menolak Seduksi dan Menghindari Politik Nilai Komoditas

Seringkali kita mengalami kekecewaan setelah membeli barang tertentu akibat tertarik dengan iklan dari barang tersebut sebelum membeli. Apa lacur, transaksi telah terjadi, uang sudah kita bayarkan, barang yang kita beli sudah di tangan, hendak dikembalikan pun tidak mungkin diterima oleh toko atau penjualnya. Dalam kasus ini bisa dikata kita telah ditipu iklan.

Kekecewaan yang timbul setelah membeli barang adalah efek dari kecerobohan kita yang terlalu percaya pada iklan dan tampilan luar barang itu. Iklan memang cenderung berlebih-lebihan dalam mempromosikan sebuah barang atau komoditas. Tujuannya jelas, produsen ingin mendapatkan laba sebanyak-banyaknya dengan cara mendapatkan banyak pembeli melalui pengiklanan yang berulang kali ditampilkan di media, semisal televisi, radio, koran, website, dan media massa lainnya yang mudah diakses oleh banyak orang.

Strategi pengiklanan semacam marak ini digunakan oleh semua produsen, perusahaan, dan distributor dalam rangka memperoleh perhatian konsumen. Kecenderungan melebih-lebihkan kualitas pun kadang muncul di beberapa iklan. Bahkan ada yang tidak masuk akal, ada pula yang menggunakan jasa model seksi sebagai selingan dalam iklan produk itu.

Aneh memang, Jean Baudrillard (1979) berpendapat bahwa iklan mengandung seduksi (Seduction), semacam rayuan pada konsumen agar membeli tanpa mengetahui secara mendalam bagaimana kualitas barang itu sesungguhnya. Apa yang bisa dibangkitkan dalam persepsi tentang ‘barang ini baik’ dan ‘barang ini tidak baik’? Dalam pandangan Arjun Appadurai (1986), pandangan tentang kualitas barang produksi adalah politik nilai yang dibangun oleh produsen. Hingga barang itu pun memiliki relasi sosial sebagaimana manusia, ia mampu ‘berdiri’ dengan sendirinya tanpa embel-embel perusahaan yang memproduksinya. Dengan begitu, komoditas atau barang produksi mampu mengikat konsumen tanpa 

Seharusnya, konsumen bukan hanya dilindungi dari segi kesehatan produk tapi juga dilindungi dari pembohongan iklan yang sering kali menipu konsumen. Karena konsumen dewasa ini sudah dapat memilah dan memilih mana produk yang sehat dan mana yang tidak, tapi melupakan pertimbangan tentang membeli karena keinginan atau karena kebutuhan. Di sinilah persoalan terbesar konsumtifisme dalam diri konsumen. Harusnya kita mampu menyadari bahwa membeli barang karena keinginan dapat menyebabkan pemborosan. Pemborosan menyebabkan tindakan konsumtif berjalan cepat tidak sesuai produktifitas kita sebagai konsumen. Ketimpangan ekonomi yang berawal dari ranah konsumsi seringkali terjadi akibat tingginya tingkat konsumsi yang tidak berbanding lurus dengan tingkat produksi ini.

Membeli karena adanya keinginan atau kebutuhan adalah persoalan kesadaran, sedangkan memilih barang yang sehat merupakan problem kesehatan yang harus selalu dijaga. Hal ini harus selalu beriringan, dan kita sebagai konsumen harus mampu berpikir bahwa kita hanya mengkonsumsi barang yang tidak membahayakan kesehatan dan membeli berdasarkan kebutuhan. Menjadi konsumen cerdas dengan menolah seduksi dan menghindari politik nilai komoditas? Siapa takut!

Posting Komentar

0 Komentar