Catatan Harian
Agandol
Agandol adalah menumpang kendaraan ketika bepergian
tanpa harus mengeluarkan ongkos. Kegiatan ini sering saya lakukan ketika
awal-awal kuliah dulu. Kami di Madura, terutama anak-anak pesantren, menggunakan
kata tersebut untuk menggambarkan perilaku gratis ketika bepergian ke daerah
lain yang seharusnya harus mengeluarkan uang dalam jumlah lumayan besar.
Ketika rindu pulang menghantui perasaan, hingga tak
bisa ditahan barang sehari pun, maka saya pun pulang dengan segala cara,
termasuk agandul tersebut. Sewaktu masih tinggal di Ketawanggede, sebuah
kelurahan di antara UIN Malang dan Universitas Brawijaya, saya jalan kaki ke
depan Politeknik Negeri Malang. Dari sana saya naik angkutan kota, turun di
pasar Blimbing. Dari pasar Blimbing inilah saya sering mendapati pikep (pick
up) menuju Lawang atau bahkan bisa sampai ke Pasuruan, menumpang gratis
padanya dan sesekali disertai bonus makan buah bilamana si pemiliki atau
penyewa pikep tersebut terlalu baik hati. Selain memberikan tumpangan gratis,
mereka juga menyilakan saya mencicipi buah yang mereka bawa.
Agandol membuat saya pulang gratis dengan cara yang
paling elegan—untuk tidak menyebut rindu pulang tapi tak punya uang.
Kadang-kadang, kendaraan yang akan saya tumpangi menolak
untuk membawa saya, secara gratis ataupun bayar sekalipun. Kendaraan terbuka
seperti truk dan pikep cenderung menerima begitu saja. Kalau mau yang agak
eksklusif, saya menyetop mobil box. Itupun kalau mereka bersedia berhenti. Seringkali
mereka menolak. Saya tak kecewa, karena kegigihan untuk menunggu telah teroplos
dengan rindu.
Agandol adalah berjudi untuk sampai ke rumah. Selain kapan
akan sampai, saya juga tidak bisa memastikan akan selalu menemukan sopir baik
hati yang bersedia berhenti dan rela kendaraannya saya pantati.
Lewat di Pelabuhan Tanjung Perak tanpa bayar karcis
kapal? Lari kencang untuk menggapai buritan truk? Atau lutut kebentur bak truk
hingga sandal jatuh dan tak saya ambil karena takut ketinggalan tumpangan? Semua
sudah saya alami. Dan kalau diingat-ingat sekarang rasanya bikin kemekel.
Riwayat perjalanan saya ternyata buruk sekali.
Agar proses pulang dengan cara agandol lancar, saya
harus meminimalisir barang bawaan. Tas bekas teman yang saya pakai sejak di
pesantren dulu bisa memuat empat hingga enam potong baju plus dua sarung. Tapi saya
tidak memenuhinya, hanya membawa dua kemeja lengan panjang dan satu sarung
saja, ditambah celana cokelat sisa seragam pramuka yang saya kenakan di Malang
untuk kuliah dan kegiatan lainnya. Tubuh saya yang kecil dan kurus mendukung
agresifitas yang memang dituntut di jalan.
Selain pengalaman bagus ketika agandol seperti
dipersilakan makan buah yang diangkut di sebelah saya, saya juga punya
pengalaman tolol yaitu menumpang truk dari Sampang hingga Sumenep yang ternyata
truk tersebut baru saja mengangkut bata. Sehingga, saya yang duduk di bak
belakangnya sering kelilipan. Turunnya di Partelon Prenduan, rambut saya
mengeras kayak rambut bintang iklan (detergent) Daia, hanya saja tidak warna
warni.
Agandol hanya saya lakukan ketika pulang saja. Saya tidak
pernah agandol saat kembali ke rantau, karena emak atau bibi akan memarahi saya
bila mereka tahu.
Agandol itu menyenangkan. Anda bisa menemukan banyak
hal, mulai dari sok akrab dengan siapapun yang bisa diajak ngobrol di jalan
hingga pura-pura kecopetan agar orang lain bisa iba dan terpaksa membawa Anda
menuju tujuan. Kalau memplesetkan perkataan Ulrich Beck, sosiolog Jerman yang
baru saja meninggal itu, agandol termasuk dalam implementasi cara berpikir
masyarakat yang hidup di era modernitas kedua (second modernity), “Jika
kamu pulang di hari libur dengan sangu yang cukup, maka itu first modernity.
Tapi jika kamu pulang di jadwal yang padat dengan sangu yang hanya cukup untuk
membeli air putih segelas, maka itu termasuk second modernity.”
Posting Komentar
0 Komentar