Autism
Mengapa Autisme Disimbolkan Dengan Puzzle?
Pertanyaan di atas muncul ketika saya hendak membuat infografik terkait tema autisme. Untuk mengetahui simbol atau ikon autisme, waktu itu saya pun googling dengan kata kunci "autism symbol". Muncullah simbol kepala dengan tambahan puzzle di dalam atau di dekatnya. Awal-awal menggunakan simbol ini, saya belum memiliki pertanyaan di atas. Setelah menggunakannya berkali-kali, saya pun bertanya-tanya mengapa autisme disimbolisasi dengan puzzle. Teman saya juga memiliki pertanyaan yang sama ketika melihat saya menggunakan symbol itu di sebuah leaflet.
Saat ini saya baru sempat mengumpulkan jawabannya.
Jadi begini. Asal usul potongan puzzle sebagai simbol autisme mengembalikan kita pada tahun saat ia dibuat, yaitu 1963, oleh Gerald Gasson, orangtua dan anggota National Autistic Society di London. Pengurus NAS meyakini bahwa orang dengan autisme mengalami kondisi yang puzzling. Mereka mengadopsi logo tersebut karena tidak menyukai gambar lain yang digunakan untuk tujuan komersial dan kegiatan amal.
Dalam penjelasan yang lebih baru, menurut Autism Society, pita puzzle diadopsi sebagai simbol universal kepedulian terhadap autisme sejak 1999. Meskipun simbol ini merupakan trademark Autism Society, organisasi nonprovit lain diperbolehkan menggunakannya untuk mendemonstrasikan kesatuan dan keberlanjutan misi universal untuk menanamkan kepedulian terhadap autisme.
Pita Kepedulian terhadap Autisme memuat beragam warna dalam bentuk puzzle, seperti dijelaskan dalam website resmi Autism Society, merefleksikan kompleksitas spektrum autisme. Keberagaman warna dan bentuk tersebut merepresentasikan ragam orang-orang dan keluarga yang hidup dalam kondisi tersebut. Kecerahan pita memperlihatkan harapan terhadap peningkatan kesadaran dan kepedulian itu, melalui intervensi dan akses yang layak bagi mereka penyandang autisme dan berinteraksi semampu mereka.
Pro-Kontra Penggunaan Simbol Puzzle
Setahun terakhir ini saya berusaha mengaktifkan media sosial dan website PSLD UB. Karena merangkap pembuatan konten, infografik, dan sekaligus publikasinya, tentu saya berpikir bagaimana tampilan juga dapat mengatraksi mata audiens. Dengan demikian, mulai penggunaan warna, gambar, keterbacaan, hingga simbol, saya usahakan agar dapat menengahi kaidah inklusif yang PSLD usung dengan 'kelayakan untuk diperhatikan di media sosial'.
Ketika hendak menggunakan simbol puzzle tersebut pada satu post di Instagram untuk memperingati World Autism Awareness Day pada 2 April 2017 lalu, saya sempat mengecek beberapa pernyataan, anggapan, dan opini orang atau organisasi tertentu tentang simbol tersebut. Debra Muzikar, seorang aktivis di Art of Autism, pernah melakukan jajak pendapat informal di Facebook yang berisi tentang bagaimana tanggapan orang atas simbol puzzle itu. Dari 100 tanggapan yang ia peroleh, ia menyimpulkan bahwa isi tanggapan tersebut sangat beragam, meskipun bisa dipetakan ke dalam dua kutub alasan antara positif terhadap simbol tersebut dan sebaliknya. Dengan demikian, ada yang mempermasalahkan dan ada yang tidak, tentu dengan alasan masing-masing.
Jurnal Autisme, yang bernama resmi Autism: The International Journal of Research and Practice, tidak lagi menggunakan simbol puzzle tersebut sejak terbitan tahun 2018, mengganti covernya dengan motif lingkaran-lingkaran. Keputusan para editor jurnal tersebut didasarkan pada hasil survey yang terlaporkan dalam “Do puzzle pieces and autism puzzle piece logos evoke negative associations?” Ia menunjukkan bahwa persepsi negatif orang lebih signifikan jumlahnya ketimbang persepsi positif yang muncul dari simbol tersebut.
Salah satu kutipan temuan yang tercantum di artikel tersebut berbunyi, “Partisipan mengasosiasikan potongan puzzle tersebut dengan ketidaklengkapan, ketidakjelasan, kesulitan, dan rasa kehilangan.” Dalam uraian selanjutnya, artikel ini pun menyarankan agar tidak menggunakan simbol potongan puzzle untuk menghadirkan kepedulian terhadap autisme. Di sisi yang sama, Autistic Mama juga menyatakan selamat tinggal terhadap potongan puzzle ini. “Apa yang salah dengan simbol puzzle? Ia memberikan simbolisasi bahwa orang dengan autisme itu sebuah masalah yang perlu diatasi,” tegas pernyataan di website mereka.
Karena perbedaan tersebut, saya pun ingin agar tidak terlibat perdebatan. Ini soal mengangkat kesadaran dan kepedulian, bukan simpang siur penggunaan simbolnya. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan gambar globe yang dikelilingi anak-anak kecil. Gambar ini relatif aman dari kritik dan keluar dari perdebatan tentang penggunaan simbol itu. Sebagai sebuah opsi dari beragam simbol, tentu ia juga memiliki kecenderungan perbedaan tafsiran yang niscaya tidak dapat dielakkan.
Saat ini saya baru sempat mengumpulkan jawabannya.
Jadi begini. Asal usul potongan puzzle sebagai simbol autisme mengembalikan kita pada tahun saat ia dibuat, yaitu 1963, oleh Gerald Gasson, orangtua dan anggota National Autistic Society di London. Pengurus NAS meyakini bahwa orang dengan autisme mengalami kondisi yang puzzling. Mereka mengadopsi logo tersebut karena tidak menyukai gambar lain yang digunakan untuk tujuan komersial dan kegiatan amal.
Dalam penjelasan yang lebih baru, menurut Autism Society, pita puzzle diadopsi sebagai simbol universal kepedulian terhadap autisme sejak 1999. Meskipun simbol ini merupakan trademark Autism Society, organisasi nonprovit lain diperbolehkan menggunakannya untuk mendemonstrasikan kesatuan dan keberlanjutan misi universal untuk menanamkan kepedulian terhadap autisme.
Pita Kepedulian terhadap Autisme memuat beragam warna dalam bentuk puzzle, seperti dijelaskan dalam website resmi Autism Society, merefleksikan kompleksitas spektrum autisme. Keberagaman warna dan bentuk tersebut merepresentasikan ragam orang-orang dan keluarga yang hidup dalam kondisi tersebut. Kecerahan pita memperlihatkan harapan terhadap peningkatan kesadaran dan kepedulian itu, melalui intervensi dan akses yang layak bagi mereka penyandang autisme dan berinteraksi semampu mereka.
Pro-Kontra Penggunaan Simbol Puzzle
Setahun terakhir ini saya berusaha mengaktifkan media sosial dan website PSLD UB. Karena merangkap pembuatan konten, infografik, dan sekaligus publikasinya, tentu saya berpikir bagaimana tampilan juga dapat mengatraksi mata audiens. Dengan demikian, mulai penggunaan warna, gambar, keterbacaan, hingga simbol, saya usahakan agar dapat menengahi kaidah inklusif yang PSLD usung dengan 'kelayakan untuk diperhatikan di media sosial'.
Ketika hendak menggunakan simbol puzzle tersebut pada satu post di Instagram untuk memperingati World Autism Awareness Day pada 2 April 2017 lalu, saya sempat mengecek beberapa pernyataan, anggapan, dan opini orang atau organisasi tertentu tentang simbol tersebut. Debra Muzikar, seorang aktivis di Art of Autism, pernah melakukan jajak pendapat informal di Facebook yang berisi tentang bagaimana tanggapan orang atas simbol puzzle itu. Dari 100 tanggapan yang ia peroleh, ia menyimpulkan bahwa isi tanggapan tersebut sangat beragam, meskipun bisa dipetakan ke dalam dua kutub alasan antara positif terhadap simbol tersebut dan sebaliknya. Dengan demikian, ada yang mempermasalahkan dan ada yang tidak, tentu dengan alasan masing-masing.
Jurnal Autisme, yang bernama resmi Autism: The International Journal of Research and Practice, tidak lagi menggunakan simbol puzzle tersebut sejak terbitan tahun 2018, mengganti covernya dengan motif lingkaran-lingkaran. Keputusan para editor jurnal tersebut didasarkan pada hasil survey yang terlaporkan dalam “Do puzzle pieces and autism puzzle piece logos evoke negative associations?” Ia menunjukkan bahwa persepsi negatif orang lebih signifikan jumlahnya ketimbang persepsi positif yang muncul dari simbol tersebut.
Salah satu kutipan temuan yang tercantum di artikel tersebut berbunyi, “Partisipan mengasosiasikan potongan puzzle tersebut dengan ketidaklengkapan, ketidakjelasan, kesulitan, dan rasa kehilangan.” Dalam uraian selanjutnya, artikel ini pun menyarankan agar tidak menggunakan simbol potongan puzzle untuk menghadirkan kepedulian terhadap autisme. Di sisi yang sama, Autistic Mama juga menyatakan selamat tinggal terhadap potongan puzzle ini. “Apa yang salah dengan simbol puzzle? Ia memberikan simbolisasi bahwa orang dengan autisme itu sebuah masalah yang perlu diatasi,” tegas pernyataan di website mereka.
Karena perbedaan tersebut, saya pun ingin agar tidak terlibat perdebatan. Ini soal mengangkat kesadaran dan kepedulian, bukan simpang siur penggunaan simbolnya. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan gambar globe yang dikelilingi anak-anak kecil. Gambar ini relatif aman dari kritik dan keluar dari perdebatan tentang penggunaan simbol itu. Sebagai sebuah opsi dari beragam simbol, tentu ia juga memiliki kecenderungan perbedaan tafsiran yang niscaya tidak dapat dielakkan.
Posting Komentar
0 Komentar