Kehendak untuk Bertahan Hidup


Bukannya saya mau curhat, tapi saya mau cerita tentang dulu, berkaitan dengan status saya sebagai penerima beasiswa dari Dikti untuk mahasiswa S1 yang kurang mampu secara ekonomi, yaitu Bidik Misi.

Tahun 2010, saya mendaftar beberapa beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Saya sadar, saya tidak bisa meminta ke orang tua untuk biaya pendidikan saya. Penghasilan emak saya sangat terbatas. Ia hanya mendapatkan tidak lebih dari 12 ribu perhari untuk menghidupi 4 anaknya, termasuk saya. Sejak kelas 1 madrasah, saya mulai cari jalan untuk tidak mendapatkan uang saku dari rumah. Fase ini beruntung sekali, saya mendapatkan bantuan dari salah seorang pengasuh pesantren saya sendiri. Bantuan ini untuk mengurangi beban kebutuhan sehari-hari saya, termasuk beras untuk makan di pondok dan kebutuhan membeli alat tulis serta kitab.

Saudari saya juga cukup berperan di saat itu. Ia membantu saya dalam menyemangati dan menyadari bahwa kemampuan untuk yakin dan perjalanan kami benar. Sesekali ia memberi saya 5 ribu sampai 7 ribu rupiah dari hadiah kerjanya di dhalem kiai. Ia kuliah sampai selesai, sedangkan saya membayangkan melakukan hal yang sama dengannya.

Di 2010 itu saya mendaftar lebih dari 5 beasiswa, mulai di UGM, Bidik Misi Dikti, hingga Paramadina Fellowship. Di UGM saya gagal. Di Paramadina juga demikian, tidak lolos tahap terakhir karena skor bahasa Inggris saya sangat rendah, meski waktu itu saya hanya mendaftar di Program Studi Falsafah dan Agama. Untungnya, di Universitas Brawijaya dan di IAIN Sunan Ampel saya lulus seleksi.

Akhir Juli 2010 saya berangkat ke Malang dengan mendadak, atas intervensi kiai waktu itu meski secara resmi saya sudah terdaftar sebagai mahasiswa IAIN Sunan Ampel. Perlu diketahui, waktu itu Bidik Misi masih mendaftar ke perguruan tinggi tujuan, bukan terpusat ke Dikti seperti tahun-tahun setelahnya.

Sesampai di Malang, saya bingung mau ke mana, karena sisa uang yang saya pinjam ke Dhorief Ghoidaq dan Ra Habib, teman saya di pondok, tersisa 156 ribu. Pendaftaran ulang di UB tidak mengeluarkan uang sepeserpun, kecuali biaya pendaftaran ospek sebesar 116 ribu. Saya kaget. Bukan kaget karena saya harus membayar, tapi karena sisa uang saya tidak mungkin cukup untuk bertahan di Malang sampai ospek selesai.

Seturun dari lantai 2 gedung FISIP yang waktu itu masih sangat baru, saya keluar lewat gerbang Fakultas Peternakan, menuju ke Jl. Kerto Leksono, tepat di depan UIN Malang. Di sekitar sana saya tanya berapa harga kos untuk setahun. Seorang ibu pemilik kamar kos menjawab, “Dua juta empat ratus, Mas.” Saya menawar. Harga tidak diturunkan. Saya menyepakati harga. Lalu si ibu melanjutkan penjelasan, “Untuk tinggal, sampean harus bayar DP 300 ribu.” Saya pun mundur. Pergi.

Di depan gerbang Kerto Leksono itu saya bingung hendak ke mana. Dengan tas lusuh bekas teman di pondok dan sekardus beras yang di atasnya terbaring Kitab Tafsir Jalalain, saya memilih berjalan ke kiri. Sesampai di depan gerbang Sumbersari Gang 4 yang di atasnya terpampang plakat lembaga-lembaga otonomnya NU, saya berhenti di Masjid Manarul Huda. Di sana Pak Zaini, takmir senior, memberi saya tempat menginap sementara.

Dua hari di masjid tersebut, kadang makan sepiring dibagi dua dengan Pak Zaini, saya menjalani ospek selama dua hari. Dua hari ospek sisanya saya pindah ke Pesantren Luhur di dekat masjid itu. saat mendaftar di Luhur, saya sempat ditolak karena kamar sudah penuh. Tak ada tempat katanya. Saat itu seorang mahasiswa semester 5 Administrasi Publik FIA UB, Asngadil Fuad, menghampiri saya menyediakan kamarnya untuk saya tempati.

Perlengkapan ospek saya dapatkan dari potongan-potongan perlengkapan ospek mahasiswa lain yang membuatnya di sepanjang Jalan Veteran. Makanya topi ospek saya terlihat sambungan sana sini dan tampak sangat tidak rapi. Baju putih yang saya kenakan adalah pinjaman dari kang santri di Luhur. Sepatu pantopel, bagian depannya menganga lebar, yang saya pakai adalah pemberian tetangga di rumah sebelum saya berangkat ke Malang.

Tarung Gaya Random
Sehabis lebaran, untuk menjalani semester pertama, saya pinjam uang kiai. Nekat. Waktu itu dana Bidik Misi belum turun. Beberapa kali tanya ke rektorat, hasilnya berupa informasi tentang progres dari proses pencairan. Saya tak menemukan cara lain, kecuali mengingat bahwa tiap yang saya suap saat makan adalah pinjaman.

Beberapa minggu berikutnya di awal semester satu, saya mulai punya inisiatif untuk bekerja. Mulai dari warung di dekat pondok, bantu nyuci piring dan menyiapkan minuman pemesan, hingga bekerja di tempat pembuatan pot bunga, pilar, dan gorong-gorong selokan. Lama kelamaan, karena pondok sangat ketat dari segi waktu, saya tak bisa terus-terusan mondok-kuliah-kerja dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Tiga bulan berlalu, dana beasiswa turun. Saya bayar hutang dan merasa puas karena bisa sambil mengirim sebagiannya ke rumah. Dana tiga bulan langsung habis. Saya lanjutkan pekerjaan, ditambah profesi baru sebagai pemulung kertas bekas di Jurusan Sosiologi. Memulung kertas bekas ini bahkan berjalan sampai semester tua saya di kampus.

Saya pernah pula mencoba jualan kopi. Termos diisi air panas, kopinya sachet-an. Sayangnya, meski hasilnya banyak, saya merasa membuang waktu untuk mengerjakan tugas dan baca buku. Karena pekerjaan ini saya lakukan di malam hari di sekitar perpustakaan pusat dan bunderan UB. Hingga semester empat berlalu, saya masih terbiasa makan Sarimi Duo saja yang waktu itu seharga sekitar Rp. 1.700 hingga naik ke Rp. 2.000. Untuk perbaikan gizi, saya harus membawa jas almamater agar bisa masuk ke beberapa seminar di rektorat dan Widyaloka yang, biasanya, makanannya lumayan. Kalau dapat zonk ya nasib.

Pendapatan saya dari media massa tidak cukup mendukung. Honor menulis tidak banyak membantu saya dari segi pendapatan. Bahkan kadang tidak berupa uang; berupa voucer buku yang bisa ditukar di Togamas.

Hidup ini tarung bebas, yang ditonton dan dijalani sendiri!


Ditulis karena banyak di antara kami yang lebih payah keadaannya daripada saya. Untukmu juga yang, mungkin, merasakan hal yang sama.

Posting Komentar

0 Komentar