Arogansi Kelompok Mahasiswa

(Catatan Untuk 82 Tahun Sumpah Pemuda)


Delapan puluh dua tahun sudah Sumpah Pemuda berlalu. Banyak kesan dan isu aktual yang dimunculkan, tentang Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, bencana alam dan lain sebagainya. Jika dulu mencita-citakan kemerdekaan dari penjajah, maka sekarang tak ada bedanya, namun tentunya dengan penjajah yang berbeda, lebih halus dan licin.


Pada momen Sumpah Pemuda kali ini, organisasi-organisasi mahasiswa turun jalan. Meskipun bentuknya berbeda-beda, dari sebatas aksi sampai demo, tujuannya tetap sama. Ironisnya, yang tampak sekarang adalah perebutan untuk menunjukkan eksistensi diri sebuah kelompok malah lebih menonjol daripada esensi dari perjuangan mereka yang mengatas-namakan rakyat.


Padahal jika melihat fakta sejarah, Sumpah Pemuda lahir dari solidaritas para Jong di seluruh wilayah yang bernama Nusantara ini. Mereka Jong-Jong itu bergabung dalam kesatuan tanpa memandang asal mereka; tanpa melihat bendera mana yang mereka bawa; tanpa memperhatikan kepentingan siapa yang mereka perjuangkan, karena mereka berada dalam satu harapan. Harapan untuk merdeka. Itu yang membedakan mereka dengan pemuda sekarang.


Yang terjadi saat ini pada diri pemuda melenceng dari apa yang tersirat dalam memoar Sumpah Pemuda. Alih-alih memperingati, mereka malah menarik dan membawa esensi Sumpah Pemuda ke lahan yang tak seharusnya. Pemuda semakin pragmatis dan munafik, bersembunyi di balik suara lantang idealisme. Ada yang mengatakan itu semua wajar-wajar saja. Tapi lihat lebih teliti, yang ada dalam diri pemuda sekarang hanyalah aktualisasi diri sesaat pada moment penting dan redup pada saat kehadiran mereka benar-benar dibutuhkan. Kali ini, semua organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus turun jalan. Memperingati hari Sumpah Pemuda sekaligus mengajukan tuntutan, ini bentuk kelanjutan dari satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu II pada 20 Oktober yang lalu. Tak jarang aksi anarkis kerap terjadi berdasar idealisme yang memuncak dalam diri pemuda. Padahal di sisi lain, kita punya cara lebih baik dengan berdialog. Mereka tak sadar bahwa manusia sekarang sudah menginjak masa dan peradaban dialog.


Seharusnya tak ada lagi aksi saling dorong dengan polisi dan petugas keamanan, atau pun bentuk anarkis lain yang tak mencerminkan moral bangsa. Sepatutnya semua kelompok mahasiswa dapat bersatu dalam satu suara tanpa mengatasnamakan satu bendera kelompok mereka sendiri. Mudah-mudahan ini adalah cara yang lebih baik untuk mengawal clean and good governance yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia. Wallahu a’lam!


*Alumni PP. Annuqayah Sumenep; Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.


[Diterbitkan di Radar Madura (Jawa Pos Group), 30 Oktober 2010

Posting Komentar

0 Komentar