Cerpen
Makhluk Jadi-Jadian
Hujan di luar deras sekali, rembesannya sampai masuk ke ruang kelasku ini. Mendung yang tadi sepertinya cuma menakut-nakuti ternyata benar-benar menurunkan bebannya. Jika hujan turun, udara jadi sejuk dan perasaan jadi semakin tenang, Asalkan tidak disertai angin, petir dan kawan-kawan tentunya.
Memasuki musim hujan, para petani mulai menanam jagung, termasuk ibu dan kakakku. Kami adalah petani yang tak pernah benar-benar merasakan nikmatnya hasil pertanian. Sekarang itu petani jagung ditipu dengan bibit jagung impor yang tak bisa tahan lebih lama untuk disimpan. Sudah nanamnya ruet masih rugi lagi. Petani cuma terkecoh dengan ukurannya yang kadang-kadang dua kali lebih besar dari jagung lokal. Belum lagi pupuk yang setoknya terbatas. Syukurlah kalau begitu, karena pupuk tersebut telah dicampuri banyak bahan kimia yang berpotensi membunuh kesuburan tanah Nusantara ini. Beginikah ciri-ciri masyarakat agraris-statis-mistis yang hidup di negeri kaya nan melimpah ruah ini? Sungguhmalang benar nasib petani. Sudah kecil masih ditekan ketika berusaha menjadi besar. Mari kita selamatkan Negeri Zamrud Katulistiwa ini. Lihatlah hamparan hijau kebiru-biruannya, gugusan pulau-pulau yang menggoda, pantai-pantai yang menggelora dan tanah yang subur menghijau-hidupkan semuanya.
Dari saking suburnya, jangan salah jika kemudian para perampas hak-hak rakyat tumbuh pesat. Kelahirannya tak terbendung sistem keluarga berencana. Koruptor-koruptor kelas kakap lahir dari orang-orang yang dulu kita percaya untuk menjadi wakil kita di parlemen, dari pejabat-pejabat yang diangkat untuk memakmurkan kita.Ada yang aneh? Hingga cicak pun lebih senang bermain dengan buaya daripada laron? Tak ada yang aneh. Cicak sekarang sudah sebesar buaya, dan ekornya tak lagi gampang kita mainkan setelah terputus dari tubuhnya. Apalagi si buaya, si gemuk besar yang sulit berhenti makan. Di kamarnya ia tampil apa adanya. Di meja tugas ia duduk santai kadang-kadang sambil mengantuk bahkan tidur dengan sepatu, jas dan dasi mahal, tanpa ekor tentunya. Tapi jangan salah, meskipun tanpa ekor, ganasnya bisa melebihi buaya sungguhan. Era tikus memang belum berakhir, buaya hanyalah pelengkap dan selingan dari aksi tikus yang mulai jarang didengar. Bukan lantas musnah terkena vaksin atau racun, tapi karena gerakannya makin halus dan decitnya yang tak lagi melengking, profesional mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sepak terjangnya.
Tikus sekarang memang hebat-hebat. Habitatnya bukan lagi di goron-gorong atau tempat-tempat jorok lainnya. Hotel bintanglima saja mereka tak gampang langsung suka, masih dipikir-pikir. Demi mempertahankan takdirnya sebagai tikus, mereka pun rela aktif mencukur bulunya dengan suap dan semacamnya, asalkan terlihat bersih di depan umum dan apa yang keluar dari cingur mereka bisa diterima rakyat yang memang gampang dibodohi ini. Kalau mau tahu penampilan para buaya dan tikus terhormat itu, silahkan lihat di televisi dan koran-koran setiap hari. Jangan heran jika mereka kelihatan rapi dan bersih, karena mereka memang punya modal bersolek dan tak pernah kehabisan air untuk mandi. Perhatikan gaya bicaranya yang meyakinkan, yang keluar dari bibirnya itu seratus persen bohong. Jangan pula lupa perutnya yang buncit, hasil keserakahan dan hak-hak rakyat tersimpan membusuk di dalamnya, yang suatu saat nanti baunya menyeruak dan semua orang akan semakin tahu siapa mereka sebenarnya. Ini bukan su’udhan, tapi nyatanya mereka memang pantas disu’udhani. Jangan sampai mereka itu dibanding-bandingkan dengan petani seperti kita, kalau pertanyaan mereka makan apa yang enak nanti malam?sudah makan apa belum? Tapi kalau kita.
Teman-temanku berebutan masuk ke perpustakaan yang baru saja diperluas itu untuk membaca koran terbaru hari ini. Pak Amar, guru pengajar sosiologi di kelasku tadi keluar lebih dulu dari biasanya, tidak tahu mengapa, padahal beliau tak pernah keluar sebelum bel dibunyikan.
Di perpustakaan, teman-temanku bergantian membaca halaman utama koran yang memuat berita tentang tikus, buaya dan lawan main mereka yang kuceritakan tadi, cicak. Tentu saja berita ini tidak hanya apa saja yang mereka pertentangkan, tetapi apa saja yang telah mereka makan, siapa saja yang mereka rugikan, dan di mana saja mereka telah membuat kegaduhan. Di pengadilan, tak jelas apakah mereka itu untuk diadili atau cuma untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kotor dengan para hakim, tentu saja hakim yang juga perlu dihakimi. Pesakitan dan mafia hukum itu biasa-biasa saja, seakan bukan dalam suatu persidangan yang akan menentukan nasib mereka nanti. Mereka tetap necis bak selebriti, bukan seperti maling yang biasa kita lihat ketika tertangkap basah langsung mendapat hadiah amukanmassa , atau seperti copet babak belur yang baru saja diadili kerena nyata-nyata ketahuan melakukan aksinya.
Hujan deras tadi lambat-lambat berubah rintik-rintik, menggoda daun pisang dan rumput hijau yang baru tumbuh di depan sekolah. Aku berdiri di beranda kelasku yang terletak di lantai dua sehingga lebih leluasa menikmati pemandangan, tanah tegalan, jalan raya, selokan, dan petani yang baru saja keluar dari tempat persembunyian mereka menghindari guyuran hujan. Perhatianku teralih ketika temanku, Miftah, memanggilku dari pintu perpustakaan yang memang bersebelahan dengan kelasku.
“Boy, kamu tak tertarik baca koran hari ini? Seru tuh, tapi ada yang aku tidak mengerti sedikit. Artinya bailout itu apa ya?” sambil memperbaiki kaca mata yang melorot hampir ke lubang hidungnya.
“Aku juga tidak mengerti. Cari saja di kamus, mungkin ada.”
Dia kembali masuk ke perpustakaan dan aku mengikuti di belakangnya. Teman-temanku yang telah selesai membaca berita di halaman utama kini membaca berita di halaman lain.Ada yang duduk, tidur-tiduran, tidur beneran, ngantuk-ngantuk di lantai perpustakaan yang memang tidak ada meja dan kursinya ini. Lebih mirip penampungan korban bencana alam tepatnya. Perpustakaan ini baru direnovasi. Buku-bukunya rata-rata terbitan lima belas tahun yang lalu dan sudah tak layak baca. Sebenarnya sekolah ini mendapat bantuan renovasi gedung dan penambahan bahan pustaka senilai empat puluk tiga juta rupiah, tapi nilai itu menipis perlahan-lahan dan akhirnya tinggal seperempat dari nilai aslinya. Tak usah heran, uang itu menyusut secara misterius setelah berpindah-pindah dari tangan mafia yang satu ke mulut mafia yang lain, mafia pendidikan, yang juga termasuk dalam spesis buaya dan tikus, sama-sama makhluk jadi-jadian penganut paham rakusisme, tapi masih di tingkat amatir.
Miftah yang dari tadi kesuliatan memahami kata-kata yang baru ia temukan sekarang pusing mencari arti kata-kata tersebut di dalam kamus. Maklum, sebelum-sebelumnya ia memang tidak terbiasa membaca koran apalagi buku ilmiah.
“Boy, saling tuduh-menuduh antara buaya dan cicak belum selesai-selesai dan sampai sekarang… ah pokoknya lah, eh ternyata disuguhi kasus baru, meskipun sejenis, apa tak muak kita? Untung saja tidak sampai muntah. Mana yang salah mana yang benar masih kurang jelas. Sebenarnya dana Century itu dimakan siapa menurutmu, Boy?” ia bicara sambil membuang ingus. Ia memang sering flu saat cuaca dingin.
“Aku juga tidak tahu, yang jelas Century itu lumbung uang yang sangat besar, dan tikus yang keluar masuk disana itu siapa saja, itu yang perlu diperiksa.”
“Itu masih membutuhkan bukti-bukti konkret, tapi proses penyelidikan sudah dihentikan. Apa maunya hukum di negara ini? Jalan menuju keadilan memang lebar, tapi jika tutupnya juga lebar dan tidak ada sedikitpun sekadar lubang angin saja bagaimana? Keadilan akan menjadi ilusi yang tak akan pernah muncul menjadi suatu hal yang nyata keberadaan dan kebenarannya. Sebenaranya ada isu lain yang sangat menarik untuk diketengahkan menjadi sebuah polemik.” Miftah mengalihkan perhatiannya dari tampang para tikus di halaman utama ke halaman selanjutnya.
“Apa itu Mif?” aku tertarik bicara.
“Perdebatan tentang lebih baik dihapus atau tidaknya UU Penodaan Agama. Kemarin dua sesepuh dari satu ormas saja kontradiktif, saling menyerang dan melancarkan pendapatnya. Itukan seru! Meskipun kayaknya cuma sekedar noda, tapi ini bukan noda yang mudah hilang hanya cukup dengan detergent, apalagi hanya dengan sekali bilas kemudian menjadi bersih putih cemerlang tanpa noda.” Miftah masih terus ngoceh. Aku pura-pura mendegarkan. Aku sedang tidak tertarik dengan berita-berita di koran akhir-akhir ini. Beritanya hanya yang itu-itu saja; dari tikus versus cicak ke buaya yang juga melawan cicak. Untung saja sang cicak tidak kewalahan menghadapi lawan main mereka yang lebih besar dan selalu on fire ketika diajak bertarung, padahal si cicak tak pernah benar-benar tahu daratan, jadi tidak ada . Selingan yang paling asyik paling-paling cuma perselingkuhan para selebriti negeri ini, kalau bukan selingkuh ya diselingkuhi. Kapan mau cerdas bangsa ini kalau pemerintah hanya dipersibuk dengan aksi makhluk jadi-jadian tak bertanggung jawab itu. Program seratus hari yang dicanangkan pemerintah pun akan menjadi seratus tahun atau bahkan seribu tahun. Padahal menurut ramalan, kiamat tidak akan lama lagi. Atau mungkin kasus seperti ini baru bisa selesai hanya dengan kiamat?
Aku melihat sekeliling, ke seluruh teman-teman sekelas yang akan menjadi penerus para pemimpin bangsa ini. Wajah mereka yang tanpa topeng masih bersih alami. Entah mereka akan menjadi pemimpin yang bertanggung jawab atau tidak, menjadi para penerus tikus dan buaya yang akan selalu mengusik ketenangan dan merongrong keadilan di negeri yang masih labil ini. Naudzubillahi min tilka.
“O yang itu! Itu baru seru kalau keduanya rukun. Ngomong-ngomong cita-cita kamu itu apa?” aku menanggapi dan mengalihkan pembicaraannya setelah diam tanpa mendengarkan.
“Kamu sendiri?” dia balik nanya.
“Sepertinya aku tak pernah punya cita-cita, paling-paling takkan jauh dari profesi turun-temurun kita, yaitu petani. Setiap hari hanya menjadi penunggu sawah. Kalau cita-cita kamu?”
“Menjadi koruptor!” Jawabnya seakan tanpa dosa. Tak pernah kusangka jawaban seperti itu muncul dari seorang teman yang kukenal jarang bicara. Bayangkan saja jika cita-cita semua anak negeri ini sama dengan cita-citanya, menjadi aktor dan aktris komedi kehidupan berbahaya. Seperti apakah jadinya negeri ini nanti? Kita tunggu episode selanjutnya.
Memasuki musim hujan, para petani mulai menanam jagung, termasuk ibu dan kakakku. Kami adalah petani yang tak pernah benar-benar merasakan nikmatnya hasil pertanian. Sekarang itu petani jagung ditipu dengan bibit jagung impor yang tak bisa tahan lebih lama untuk disimpan. Sudah nanamnya ruet masih rugi lagi. Petani cuma terkecoh dengan ukurannya yang kadang-kadang dua kali lebih besar dari jagung lokal. Belum lagi pupuk yang setoknya terbatas. Syukurlah kalau begitu, karena pupuk tersebut telah dicampuri banyak bahan kimia yang berpotensi membunuh kesuburan tanah Nusantara ini. Beginikah ciri-ciri masyarakat agraris-statis-mistis yang hidup di negeri kaya nan melimpah ruah ini? Sungguh
Dari saking suburnya, jangan salah jika kemudian para perampas hak-hak rakyat tumbuh pesat. Kelahirannya tak terbendung sistem keluarga berencana. Koruptor-koruptor kelas kakap lahir dari orang-orang yang dulu kita percaya untuk menjadi wakil kita di parlemen, dari pejabat-pejabat yang diangkat untuk memakmurkan kita.
Tikus sekarang memang hebat-hebat. Habitatnya bukan lagi di goron-gorong atau tempat-tempat jorok lainnya. Hotel bintang
Teman-temanku berebutan masuk ke perpustakaan yang baru saja diperluas itu untuk membaca koran terbaru hari ini. Pak Amar, guru pengajar sosiologi di kelasku tadi keluar lebih dulu dari biasanya, tidak tahu mengapa, padahal beliau tak pernah keluar sebelum bel dibunyikan.
Di perpustakaan, teman-temanku bergantian membaca halaman utama koran yang memuat berita tentang tikus, buaya dan lawan main mereka yang kuceritakan tadi, cicak. Tentu saja berita ini tidak hanya apa saja yang mereka pertentangkan, tetapi apa saja yang telah mereka makan, siapa saja yang mereka rugikan, dan di mana saja mereka telah membuat kegaduhan. Di pengadilan, tak jelas apakah mereka itu untuk diadili atau cuma untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kotor dengan para hakim, tentu saja hakim yang juga perlu dihakimi. Pesakitan dan mafia hukum itu biasa-biasa saja, seakan bukan dalam suatu persidangan yang akan menentukan nasib mereka nanti. Mereka tetap necis bak selebriti, bukan seperti maling yang biasa kita lihat ketika tertangkap basah langsung mendapat hadiah amukan
Hujan deras tadi lambat-lambat berubah rintik-rintik, menggoda daun pisang dan rumput hijau yang baru tumbuh di depan sekolah. Aku berdiri di beranda kelasku yang terletak di lantai dua sehingga lebih leluasa menikmati pemandangan, tanah tegalan, jalan raya, selokan, dan petani yang baru saja keluar dari tempat persembunyian mereka menghindari guyuran hujan. Perhatianku teralih ketika temanku, Miftah, memanggilku dari pintu perpustakaan yang memang bersebelahan dengan kelasku.
“Boy, kamu tak tertarik baca koran hari ini? Seru tuh, tapi ada yang aku tidak mengerti sedikit. Artinya bailout itu apa ya?” sambil memperbaiki kaca mata yang melorot hampir ke lubang hidungnya.
“Aku juga tidak mengerti. Cari saja di kamus, mungkin ada.”
Dia kembali masuk ke perpustakaan dan aku mengikuti di belakangnya. Teman-temanku yang telah selesai membaca berita di halaman utama kini membaca berita di halaman lain.
Miftah yang dari tadi kesuliatan memahami kata-kata yang baru ia temukan sekarang pusing mencari arti kata-kata tersebut di dalam kamus. Maklum, sebelum-sebelumnya ia memang tidak terbiasa membaca koran apalagi buku ilmiah.
“Boy, saling tuduh-menuduh antara buaya dan cicak belum selesai-selesai dan sampai sekarang… ah pokoknya lah, eh ternyata disuguhi kasus baru, meskipun sejenis, apa tak muak kita? Untung saja tidak sampai muntah. Mana yang salah mana yang benar masih kurang jelas. Sebenarnya dana Century itu dimakan siapa menurutmu, Boy?” ia bicara sambil membuang ingus. Ia memang sering flu saat cuaca dingin.
“Aku juga tidak tahu, yang jelas Century itu lumbung uang yang sangat besar, dan tikus yang keluar masuk di
“Itu masih membutuhkan bukti-bukti konkret, tapi proses penyelidikan sudah dihentikan. Apa maunya hukum di negara ini? Jalan menuju keadilan memang lebar, tapi jika tutupnya juga lebar dan tidak ada sedikitpun sekadar lubang angin saja bagaimana? Keadilan akan menjadi ilusi yang tak akan pernah muncul menjadi suatu hal yang nyata keberadaan dan kebenarannya. Sebenaranya ada isu lain yang sangat menarik untuk diketengahkan menjadi sebuah polemik.” Miftah mengalihkan perhatiannya dari tampang para tikus di halaman utama ke halaman selanjutnya.
“Apa itu Mif?” aku tertarik bicara.
“Perdebatan tentang lebih baik dihapus atau tidaknya UU Penodaan Agama. Kemarin dua sesepuh dari satu ormas saja kontradiktif, saling menyerang dan melancarkan pendapatnya. Itu
Aku melihat sekeliling, ke seluruh teman-teman sekelas yang akan menjadi penerus para pemimpin bangsa ini. Wajah mereka yang tanpa topeng masih bersih alami. Entah mereka akan menjadi pemimpin yang bertanggung jawab atau tidak, menjadi para penerus tikus dan buaya yang akan selalu mengusik ketenangan dan merongrong keadilan di negeri yang masih labil ini. Naudzubillahi min tilka.
“O yang itu! Itu baru seru kalau keduanya rukun. Ngomong-ngomong cita-cita kamu itu apa?” aku menanggapi dan mengalihkan pembicaraannya setelah diam tanpa mendengarkan.
“Kamu sendiri?” dia balik nanya.
“Sepertinya aku tak pernah punya cita-cita, paling-paling takkan jauh dari profesi turun-temurun kita, yaitu petani. Setiap hari hanya menjadi penunggu sawah. Kalau cita-cita kamu?”
“Menjadi koruptor!” Jawabnya seakan tanpa dosa. Tak pernah kusangka jawaban seperti itu muncul dari seorang teman yang kukenal jarang bicara. Bayangkan saja jika cita-cita semua anak negeri ini sama dengan cita-citanya, menjadi aktor dan aktris komedi kehidupan berbahaya. Seperti apakah jadinya negeri ini nanti? Kita tunggu episode selanjutnya.
Posting Komentar
0 Komentar