Artikel
Pesantren, Bank dan Masyarakat
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dikejutkan dengan sejumlah kenaikan harga barang baik yang sifatnya primer maupun sekunder, tak terkecuali di Madura. Masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, semakin merasakan hal itu ketika yang keluar dari sumber penghasilan mereka tak sebanding dengan apa yang harus mereka keluarkan untuk membiayai hidup mereka. Berbagai jalan keluar mereka upayakan ‘hanya’ sekedar untuk bertahan hidup. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga barang dinilai sebagai sesuatu yang niscaya, tentunya dengan tanpa persetujuan rakyat. Kedemokrasian negara ini patut segera dipertanyakan ketika suara rintihan rakyat tak lagi didengarkan, kesejahteraan mereka dikesampingkan dan kepentingan pengusaha menjadi prioritas utama.
Belum lama ini ada fakta yang menujukkan bahwa jumlah rakyat miskin yang berpendapatan di bawah Rp. 18.000 per hari masih sekitar 109 juta orang, sedangkan jumlah penganggur sekitar 49 juta orang. Jika perekonomian masyarakat tak segera teratasi, maka angka di atas akan selalu terdinamisir secara otomatis terus menerus.
Apa yang dialami masyarakat malah semakin parah ketika jalan keluar yang mereka upayakan berakhir di tangan rentener. Yang dipersoalkan bukan hanya karena status hukum riba itu haram, tetapi juga tekanan yang diperoleh ketika mengembalikan pinjaman berlipat ganda dan beranak pinak itu melahirkan budaya yang tak baik bagi masyarakat.
Bank, baik syari’ah maupun yang konvensional, sama sekali kurang manfaat yang bisa dirasakan masyarakat akar rumput (grass root). Antara masyarakat dan bank masih ada jarak cukup jauh yang membuat keduanya saling merasa sungkan untuk bekerja sama. Atau bahkan salah satu dari keduanya sama-sama su’uddhan sebelum mencoba bekerja sama; pihak bank takut masyarakat tak mampu membayar pinjaman yang mereka berikan, sedangkan di mata masyarakat, bank lebih cenderung mencari bunga daripada membantu mereka. Atau pada kejadian yang lain, buat masyarakat, bank syariah terlalu elit untuk mereka ajak bekerja sama. Jika memang berkomitmen membantu meningkatkan ekonomi, bank harus segera menghapus elitisme dan citra kurang baik yang kadung melekat. Tak hanya aksi satu arah, masyarakat juga harus lebih memberanikan diri berhadapan dengan bank. Alternatif lainnya, pesantren bisa dijadikan penghubung antara bank dengan masyarakat dalam usaha mengentaskan problem ekonomi. Ini didasarkan pada pengaruh dan kharisma pesantren yang masih mendarah-danging dalam kehidupan masyarakat. Daripada terus-terusan menunggu bantuan dana pengembangan ekonomi dari pemerintah, lebih baik masyarakat berjalan secara mandiri mengembangkan ekonominya.
Anggapan kuno tentang keterbatasan pesantren dalam pengelolaan ekonomi bukan halangan. Terbukti dengan makin maraknya BMT (Baitul Mâl Wattamwîl) atau koperasi pesantren yang tersebar di daerah-daerah jauh dari pesantren.
Intervensi pesantren dalam hal ini sangat penting. Dengan kata lain, pesantren boleh saja memonopoli sistem ekonomi dengan catatan dapat menjadi pengayom masyarakat yang memang sudah menjadi komitmen pesantren. Hal ini bukan menafikan peran pemerintah yang telah mengalirkan bantuan ‘energi’ secara struktural dari pusat hingga tingkat desa, tapi sifat mendidik pesantren lebih baik daripada aparat pemerintah (yang katanya mau mengangkat harkat hidup dan martabat orang banyak) yang cenderung mengeruk keuntungan. Bukan bantuan yang murni dan bersih sepi pamrih, atau bahkan aparat yang lebih senang menjadi penumpang gratis (free-rider) daripada sebagai pendukung dan pembantu masyarakat.
Dimuat di Radar Madura (Jawa Pos Group) tanggal 29 Mei 2010
Dimuat di Radar Madura (Jawa Pos Group) tanggal 29 Mei 2010
Posting Komentar
0 Komentar