Peran Elit dalam Pendidikan

Diterbitkan di Radar Madura, 12 Maret 2011

Perkembangan pendidikan patut diacungi jempol dalam usaha pencerdasan dan penyisihan buta pengetahuan. Tolok ukurnya bukan hanya pada profesionalitas lembaga pendidikan dalam segi akademik adminstratif, namun juga dapat menghasilkan lulusan yang baik, berprestasi dan diterima oleh semua. Profesionalitas lembaga juga tak dapat disingkirkan begitu saja tentunya, tanpa lembaga dan oknum profesional sebuah lembaga pendidikan tak ada artinya. Banyak lembaga pendidikan profesional tapi siswanya tak begitu mendukung untuk dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang baik dan berprestasi. Tak jarang pula lembaga pendidikan yang memiliki siswa-siswa berkemampuan di atas rata-rata tapi tak dibarengi dengan profesionalitas kerja lembaga.


Belakangan ini, sudah ada sinergi antara pengelolaan dengan kualitas yang dikelola—bila kita mau melihat anak didik sebagai objek produksi seperti kebanyakan pendidikan di Madura saat ini. Yang namanya kepitalisme pendidikan itu bukan entitas tak berwujud, hanya menakutkan dan kadang-kadang hilang ditelan gelapnya isu-isu lain yang terus berkembang tanpa henti. Bahkan bila mau menyebut, ada semacam pesugihan gaya baru berkedok lembaga pendidikan. Banyak penilapan data yang diajukan oleh lembaga pendidikan kepada pemerintah yang mengurusi hal itu. Contohnya adalah siswa-siswa siluman yang fiktif terdata dalam absen dan data siswa selama proses akreditasi. Dengan menonjol-nonjolkan profesionalitas kerja lembaga dalam pengelolaan lembaga pendidikan, mereka yang bersiswa fiktif pun lolos begitu saja. Padahal masih banyak lembaga lain yang juga butuh dan lebih layak mendapat perhatian dari pemerintah.

Bila bertanya mengapa dan ada apa di balik itu semua, akan sangat lucu kedengarannya di telinga kita. Soalnya, hal seperti ini menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, tak tabu, dan menjadi kebiasaan. Namun di balik itu semua, banyak tanggung jawab sosial yang perlu diperhatikan.

Dalam sebuah desa, jumlah lembaga pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hingga jangan heran bila di Desa Pragaan Daya ada dua lembaga pendidikan yang jaraknya tidak jauh. Bukan dekatnya yang jadi masalah, namun pada ketidaksesuaian jumlah masyarakat dengan lembaga pendidikan yang ada itu. Coba saja seandainya lembaga pendidikan itu tak mendapatkan apa-apa, niscaya tak kan ada usaha dari mereka yang tak bertanggung jawab untuk mendirikan lembaga pendidikan. Penulis di sini tak bermaksud menggeneralisasi fenomena yang ada, karena pasti tak kan semuanya demikian.

Persaingan yang dilancarkan tak lagi menjurus pada pencerdasan masyarakat, tapi pada pengerukan keuntungan dan perebutan pengaruh dari lembaga yang ada oleh pihak tak bertanggung jawab. Beginilah jadinya bila pendidikan dilihat sebagai lapangan kerja dan ajang aktualisasi diri. Masyarakat dirusak dari dalam oleh pihak-pihak yang memang bisa mengendalikan arah masyarakat.

Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi hal ini ada pada Departemen Pendidikan, meskipun sebenarnya mereka juga acapkali dikelabuhi oleh data-data fiktif. Bila Departemen Pendidikan dapat mengukur dan menjajaki populasi individu dalam masyarakat, maka hendaknya dapat disesuaikan dengan populasi lembaga pendidikan yang ada. Membatasi adanya lembaga pendidikan dalam sebuah komunitas masyarakat bukan bermaksud untuk menghambat berkembangnya masyarakat, tapi untuk mengantisipasi terjadinya persaingan yang tak diinginkan dan dapat membentuk kemandirian lembaga lain yang tak bergantung pada perhatian pemerintah.

Individu berpengaruh dalam masyarakat bisa juga diajak bekerja sama dalam upaya perbaikan pendidikan, yang tak lagi mengesankan pendidikan sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan dan panggung aktualisasi diri. Ini sangat menguntungkan, apalagi masyarakat Madura punya kecenderungan menggantungkan semua kebijakan pada seseorang yang dianggap mempunyai karisma dan kebijakan-kebijakan tiada duanya. Elit feodal dalam masyarakat Madura, dalam hal ini Para Kiai, harus menggunakan kediktatoran mereka yang cakap. Mereka yang cakap ini adalah mereka yang mempunyai jiwa ilmiah untuk membangun dan menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Yang menjadi catatan, mengembalikan kebijakan kepada mereka yang cakap ini tak menafikan musyawarah.

*Alumni PP. Annuqayah Sumenep, Mahasiswa FISIP Univ. Brawijaya Malang

Posting Komentar

0 Komentar