Sekolah Menengah Kejuruan dan Pola Baru Kapitalisasi Pendidikan di Madura[1]


Oleh Mahalli[2]
Pendahuluan
            Menjamurnya sekolah kejuruan tidak hanya di perkotaan yang memang berupaya memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Perumpamaan dari tumbuh kembangnya sekolah kejuruan tidak cuma bisa dianalogikan dengan jamur di musim penghujan, tapi sama halnya juga dengan virus dan wabah yang tanpa hambatan apapun dapat menular ke mana-mana. Begitu pula dengan perkembangan pembangunan sekolah menengah kejuruan.
            Potensi besar pada sekolah kejuruan sangat menarik untuk dikerjakan dengan serius. Hingga tanpa pikir panjang (mungkin) pembangunan sekolah kejuruan dilakukan di mana-mana. Bahkan sekolah menengah atas yang setara dengannya pun dipermak ulang dan diganti nama dengan SMK. Tak hanya pemerintah, pihak swasta pun membuka diri untuk bisa meramaikan pembangunan sekolah kejuruan. Tak terkecuali di Madura yang belakangan cukup ini diperhitungkan di Indonesia.
Mei 2010 yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mendukung rencana Pemerintah Kabupaten Pamekasan Madura, membangun Sekolah Menengah Kejuruan Kelautan. Pernyataan Mendiknas itu menanggapi rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelautan di wilayah Kecamatan Tlanakan. Warga kecamatan itu sebagian besar nelayan, dan tingkat APK masyarakat setempat di bidang pendidikan tergolong rendah. Diagnosa Mendiknas, keberadaan SMK (yang memang sudah ada sebelum Mendiknas menyatakan dukungan) itu akan meningkatkan kualitas pendidikan dan penyerapan tenaga kerja. Bahkan untuk menggalakkan rencana itu, prosentase SMK direncanakan akan mencapai 70% dibanding sekolah umum dari prosentase jumlah sekolah secara keseluruhan, Sekolah umum 30% sedangkan SMK 70%.[3]
Kebijakan ini sangat optimis dan wajar, apalagi di pulau yang merindukan kesejahteraan dan demi menyambut industrialisasi pasca-Suramadu. Namun menjadi amat menyedihkan bila pada saat ini kebijakan yang dirancang berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Demi tercapainya lulusan yang dapat bersaing di tingkat lokal dan internasional,[4] disediakanlah beragam jurusan. Mulai pariwisata, perhotelan, kelautan, komputer dan sebagainya. Namun ternyata, banyaknya pendaftar di salah satu jurusan menyebabkan bergesernya idealisme pengelola sekolah kejuruan. Peminat yang banyak itu pun ditampung tanpa pengarahan yang jelas. Jurusan yang asalnya berkuota dua kelas dibuka selebar-lebarnya tanpa kuota. Mulailah hukum pasar di sini.
            Pendidikan adalah salah satu komoditi paling laku untuk diperdagangkan. Sama dengan seni dan sastra, politisasi ekonomi (baca: kapitalisme) terhadap pendidikan secara tidak sadar sekarang sedang mencapai masanya. Hingga muncullah yang disebut oleh Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Ki Supriyoko, dengan pendidikan transaksional.[5] Dimana pendidikan bukan lagi ajang untuk mengabdi pada masyarakat, namun sebagai lahan kepentingan sesaat, hubungan dan interaksi antara guru dan murid lebih tampak seperti penjual dan pembeli.
            Pada saat seperti itu, hukum pasar berlaku semakin menjadi-jadi. Apalagi pasar yang sudah terkendali dengan keinginan, bukan kebutuhan. Apa saja yang diinginkan oleh pembeli pasti disediakan oleh si penjual, dan penjual pun demikian, menyediakan apa yang diinginkan pembeli demi memaksimalkan keuntungan. Bahkan penjual mendahului maksud pembeli dengan menghadirkan komoditas baru tapi kualitasnya sama saja dengan yang sebelum-sebelumnya tidak laku, atau sudah terlampau basi. Bedanya cuma pada warna yang beragam dan bentuk baru yang menipu. Akhirnya, sampai pada jurusan yang tak layak jual pun dipromosikan. Asalkan ada promosi dan iklan yang menarik komoditas akan laku keras.
            Mendengarkan perkataan Jean François Lyotard bahwa, “Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong peningkatan kemampuan teknologi dan relasi produksinya,” sangat relevan sekali dengan keadaan sekarang. Yasraf Amir Piliang mengutip pernyataan Theodor Adorno dan Max Hokheimer bahwa ketika segala sesuatu (termasuk pendidikan) terperangkap di dalam sistem komersial, maka ia akan terpenjara pula di dalam apa yang disebut industri kebudayaan.[6]


Pendidikan dan Pembelajaran sebagai Kebutuhan
            Idealnya, pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia seutuhnya. Bila pendidikan bertolak belakang dari idealisme tersebut, maka pendidikan sangat perlu dipertanyakan keberadaannya. Apalagi jika pendidikan itu menghancurkan. Bila dekonstruksi menjadi jalan utama yang harus dilalui, maka tak jadi masalah.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Bab I, Pasal 1, Ayat 1 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan didefinisikan dengan: usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.[7] Didukung juga dengan pada ucapan Romo Mangunwijaya, bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu memberi apa yang dibutuhkan. Meskipun keragaman kebutuhan menuntut ketidaksamaan pemberian itu, tapi minimal dapat membangun dan mensejahterakan. Pada kenyataannya, sekolah kejuruan tak memberi apa yang dibutuhkan oleh Madura. Yang diminta adalah petani dan nelayan yang baik, malah diberi resepsionis hotel dan lulusan dari jurusan pariwisata. Ketidaksingkronan antara kebutuhan dan penyediaan ini sangat ironis sekali. Karena yang ada adalah pemaksaan kebutuhan.
            Pendidikan tidak lagi disesuaikan dengan kebutuhan. Apa saja yang layak dijual dan menjadi trend pada saat itu pasti dikerjakan oleh para praktisi pendidikan. Hasrat menjual ini yang perlu dihilangkan dan didekonstruksi sampai ke akar-akarnya. Atau minimal dapat mengurangi hasrat memperjual-belikan itu. Celakanya, masyarakat yang menjadi “konsumen” sekolah dan “pembeli” lainnya, sangat tertarik dengan yang dijual pada mereka. Padahal masyarakat tak pernah berpikir panjang dengan yang mereka ambil. Ketidaksesuaian inilah yang memperlebar jarak antara kesejahteraan dan penderitaan yang mereka alami, memperbanyak jumlah pengangguran yang ada, dan memperparah ketimpangan yang mereka rasakan. Ditambah lagi dengan adagium baru di kalangan masyarakat bawah Madura: asalkan bisa sekolah. Mengikuti arus dan tren menyebabkan mereka bukan lagi ‘asalkan bisa sekolah’, namun sekolah asal-asalan.
            Peserta didik berbondong-bondong mememilih jurusan pariwisata dan perhotelan tanpa tujuan dan alasan yang jelas mengapa mereka memilih jurusan itu. Seperti hanya sekedar sok dan gengsi. Selaras dengan hal ini, pihak sekolah melihat pergeseran paradigma berpikir masyarakat adalah sasaran empuk untuk dimanfaatkan. Padahal sebagai praktisi pendidikan yang baik, mereka mampu mengarahkan perkembangan suatu daerah di mana mereka mengelola. Pedalaman Madura tak pernah membutuhkan resepsionis dan pemandu wisata, tapi di sana bercokol beberapa sekolah kejuruan yang menyediakan jurusan itu.

Penghapusan Etika dan Kearifan Lokal
            Terlepas dari misi arif pendidikan, apapun bentuknya pendidikan itu hendaknya tidak sampai menghapus kearifan lokal (local wisdom) seperti di beberapa tempat. Terhapusnya kearifan lokal yang terjadi secara tidak sengaja adalah bentuk pengaruh negatif dari kapitalisme. Gerusan kapital yang tak memandang apapun pengaruh yang terjadi merupakan akibat dari hasrat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
            Orientasinya bukan lagi perbaikan, tapi asal bisa memproduksi dan menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Termasuk kearifan lokal yang ada dalam suatu daerah pun dihilangkan, yang pada kenyataannya memang cenderung menahan laju kebijakan.
Pelajaran muatan lokal yang diberikan oleh sekolah tak lagi diperhitungkan dan bahkan dihapus tanpa pikir panjang. Padahal etika lokal Madura (termasuk pula peribahasa dan folklor) berisikan etika kemanusiaan global yang cukup bagus. Jangan tanya lagi bila suatu saat rasa ke-Madura-an dan ke-Indonesia-an hilang dan berganti identitas tak beridentitas. Contohnya adalah dihapusnya muatan lokal Bahasa Madura menjadi pemicu tidak kenalnya generasi sekarang—dan mungkin juga yang akan datang—dengan pribahasa-pribahasa dan etika Madura. Penghapusan muatan lokal ini terjadi karena tuntutan pasar yang semakin membabi buta.
Selain untuk menjaga identitas kedaerahan suatu daerah, kearifan lokal juga berfungsi menjaga kekayaan daerah itu. Kearifan lokal tak seperti yang dikesankan mereka yang berpendapat bahwa ia adalah faktor utama penghambat kemajuan, padahal sejatinya kearifan lokal tak pernah antikemodernan.
Penutup: Sebelum Terlambat
            Sebelum terlambat dan mungkin saja juga tidak terhambat, reformasi pendidikan sangatlah penting dalam rangka menjalankan idealisme dan misi arif pendidikan itu sendiri. Langkah-langkah itu di antaranya, pertama, pendidikan seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah. Bila dalam penduduk agraris, maka dibutuhkan petani yang baik. Dalam sebuah masyarakat nelayan, maka diperlukan nelayan yang mampu mengembangkan daerah dimana nelayan tersebut tinggal. Jangan lantas menyediakan jurusan yang tak berbanding lurus dengan kebutuhan suatu daerah, agar masyarakat yang sudah terlanjur sengsara tidak semakin menikmati ketidaksejahteraan yang berkepanjangan.
            Kedua, Dinas pendidikan setempat seharusnya tegas dengan pembangunan sekolah menengah kejuruan. Jangan sampai sekolah menjadi semacam pesugihan gaya baru. Peninjauan ke setiap sekolah menjadi sangat dibutuhkan untuk menghindari penipuan yang acap kali terjadi. Memang pada kenyataannya, ada banyak sekolah yang tak memperhatikan jumlah penduduk di sekitarnya. Dalam satu daerah kecil dengan penduduk yang sedikit bisa terdapat tiga sekolah yang berdekatan. Seperti terjadi di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep, yang ada adalah persaingan tak sehat antarsekolah. Perlu dibuat peraturan tegas dalam kesesuaian jumlah penduduk dan daerah dengan sekolah yang ada.
            Ketiga, penempatan kembali mata pelajaran muatan lokal ke dalam mata pelajaran wajib di setiap sekolah. Agar visi misi pendidikan kejuruan tentang kemampuan mengembangkan keunggulan lokal untuk bersaing di tingkat global benar-benar bisa terealisasi. Perlu diingat pula, bukan kearifan lokal yang menghambat kemajuan, namun sikap eksklusif masyarakatlah yang menjadi penghambat. Penanaman sikap inklusif dan tanggap pada kebudayaan baru dalam hal ini sangat penting. Sekaligus tak dapat dilupakan filter yang baik bagi kebudayaan baru itu. Untuk dapat memilah dan memilih mana kebudayaan yang layak dipakai dan mana yang tidak layak.
            Keempat, peran serta masyarakat dan semua lapisan untuk mengontrol kebijakan dan gerak perubahan. Biar pendidikan bisa membentuk pemahaman dan kepekaan terhadap norma-norma sosial.[8] Karena bagaimana pun sekolah hanya sebagian kecil pembentuk kepribadian masyarakat. Perlu nafas positif nan mendidik antara sekolah dengan lembaga sosial lainnya, begitu pula dengan masyarakat luas.
            Untuk memaksimalkan harapan itu, butuh perubahan sikap dan cara berpikir yang radikal di dalam diri kita semua mengenai masyarakat yang kita dambakan dan cara-cara mencapainya. Wallahu a’lam!
Daftar Pustaka
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. http://www.ditpsmk.net/?page=content;3 diakses pada 06 Januari 2011.
Ki Supriyoko, Pendidikan Transaksional, Kompas, Rabu, 5 Januari 2011.
Yasraf A. Piliang. 2006. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra).
Ary H. Gunawan. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problema Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta).
Mochtar Buchori, Pendidikan dan Kesadaran Politik, Kompas, Kamis, 13 Januari 2011.



[1] Tulisan ini diajukan ke Sociology Summit Universitas Indonesia 2011 untuk mewakili Sosiologi Universitas Brawijaya Malang.
[2] Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
[4] Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. http://www.ditpsmk.net/?page=content;3 diakses pada 06 Januari 2011.
[5]  Ki Supriyoko, Pendidikan Transaksional, Kompas, Rabu, 5 Januari 2011.
[6] Yasraf A. Piliang. 2006. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra) hal. 270.
[7] Ary H. Gunawan. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problema Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), hal 107.
[8] Mochtar Buchori, Pendidikan dan Kesadaran Politik, Kompas, Kamis, 13 Januari 2011.

Posting Komentar

0 Komentar