Oligarki dan Demokrasi Indonesia[1]

Oleh Mahalli[2]

Demokrasi bukanlah barang mahal yang jarang didapatkan pada saat dibutuhkan. Demokrasi bukan pula barang antik nan unik. Banyak negara menggunakan demokrasi dalam sistem kenegaraannya. Mengapa demikian? Karena demokrasi menjanjikan kesejahteraan, keadilan, kemerataan kebijakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Termasuk juga Indonesia yang menggunakan ‘jasa’ demokrasi dalam sistem negara. Namun sungguh sayang, demokrasi di negara ini hanyalah wacana tanpa realita, kurang rasa, dan hampa makna. Demokrasi hanyalah bayang-bayang di balik hegemoni dan oligarki. Negara ini tak ubahnya kerajaan totaliter di tengah hingar-bingar negara-negara yang juga mengaku demokrasi.


Ketidakmerataan dan ketimpangan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengindikasikan hal itu. Kebijakan yang mengaku berasal dari rakyat, oleh dan untuk rakyat itu tak terbukti. Rakyat yang mana? Memihak rakyat bagaimana? Dapat dilihat, kebijakan dan apa pun itu namanya, mempunyai kecenderungan elitis dan antirakyat kelas bawah akar rumput (grass root). Antirakyat berarti pula antidemokrasi. Karena rakyat adalah elemen satu-satunya dalam demokrasi. Dan tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat itu sendiri. Ir. Soekrano menulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, “Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ‘pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah.”[3] Dalam hal ini, menjadi benar apa yang disebut dengan demokrasi formalistik oleh Marxian, rakyat hanya berpartisipasi pada saat pemilihan umum.[4] Setelah itu, eksistensi rakyat untuk turut mengontrol jalannya pemerintahan dipotong habis-habisan. Tidak lagi mendapatkan tempat untuk berpartisipasi membentuk negara sejahtera. Rakyat kecil hanya kembali menjadi mesin penghasilan di bawah tanpa tahu kehidupan negaranya.


Bila meruntut dan menelusuri sejarah, ketidakmerataan kebijakan dan ketimpangan itu akan banyak dijumpai. Setelah lepas dari penjajahan, Indonesia ternyata ditunggu oleh penjajah lainnya, penjajah yang berbeda; lebih cerdas, cerdik, halus dalam bermain, dan licin. Bagai lolos dari terkaman harimau, Indonesia jatuh dan disambut mulut besar buaya.


Krisis yang ditimbulkan akibat itu merembet ke mana-mana. Krisis multidimensi tidak hanya mencakup dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan etika. Tapi juga krisis simbol dan citra positif. Hingga muncul berbagai stigma negatif seperti lembaga perwakilan rakyat (legislatif) sebagai taman kanak-kanak; lembaga pemerintah (eksekutif) sebagai keranjang sampah; lembaga hukum (yudikatif) sebagai sarang tikus; lembaga keamanan (TNI dan Kepolisian) sebagai rumah tawuran; presiden sebagai si bisu, ketua DPR sebagai si penipu, ketua MPR sebagai si banyak omong, negara Indonesia sebagai sarang teroris; bangsa Indonesia sebagai negara terkorup atau pelanggar HAM terburuk di dunia[5] dan seterusnya masih banyak lagi. Citra-citra dan simbol baru itu menggeser kita dari baik menjadi buruk. Bahkan dipercaya, Pemerintahan Orde Baru telah membuat rakyat Indonesia sedemikian parahnya. Orde Baru menciptakan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang doyan korup dan buruk sangka.


Cidera dan penyakit akut yang diderita bangsa ini entah sampai kapan akan mendera. Sejarah bangsa ini bukan sejarah tentang pecundang yang selalu mencari rasa kalah di atas kekalahan nyata. Namun mungkin saja suatu saat, karena bangsa ini telah membaca sejarah tentang Majapahit, anak cucu kita akan menemukan sejarah tentang Indopahit. Karena memang setiap lapisan, struktur dan jabatan-jabatan baik dalam struktur sosial masyarakat bawah atau pun pemerintah mempunyai kecondongan korup akibat penyakit itu.


Atau mungkin dunia akan melihat bangsa ini sebagai bangsa yang penyakitan. Dan sarang penyakit etika terbesar di dunia. Hingga Indonesia pun dijadikan tempat pembuangan akhir. Semacam lokalisasi bagi para pesakitan. Menaktukan, bukan? Tentunya semua orang berakal sehat tak menginginkan hal itu terjadi. Tapi tanpa sadar seluruh elemen negara ini menjalankannya. Banyak yang mengetahui tapi sangat jarang yang bisa menyadari.


Demokrasi Oligarkis
Terpotongnya eksistensi rakyat dalam hak partisipasi untuk menetukan kebijakan negara sangat ironis sekali. Kenyataan dari pernyataan bahwa mereka ada hanya pada saat pemilihan umum adalah benar. Tanpa bisa ditolak sedikitpun. Sosialisasi politik tak pernah menemukan bentuknya yang benar. Setiap gerak untuk mendapatkan suara sama kadarnya dengan menjual produk baru yang sebenarnya sudah basi. Bungkus yang apik dan terlihat baru mudah saja menipu siapa pun yang mau tertipu. Tak jarang iklan politik yang ditampilkan tersebut merusak pohon-pohon di pinggir jalan akibat paku banner yang digunakan.


Pada saat setelah pemilihan umum, rakyat kembali ke habitatnya semula, yaitu area kerja yang terasing dari kabar tentang kebijakan yang dibuat pemerintah. Mereka tak diberi tempat lagi untuk melihat, apalagi ikut campur. Padahal dalam konteks ke-Indonesia-an sendiri, Indonesia mempunyai konsep musyawarah dan mufakat yang mensyaratkan keterbukaan dan public sphere yang tak mengenal sekat-sekat. Dalam pembahasan yang lebih ilmiah tentang ini, Habermas menyebutnya dengan demokrasi deliberatif.[6] Kaum muslim mengenalnya dengan musyawarah atau syura.[7]


Terpesona dengan pemilihan umum yang merupakan partisipasi semu (pseudo-partisipation), rakyat tak sadar bahwa setelah itu suara mereka hanyalah alat bagi mereka yang berkepentingan sepihak tanpa melihat siapa yang telah memberi suara. Di sinilah demokrasi patut sekali dipertanyakan. Bukan persoalan siapa yang mewakili rakyat di parlemen, namun kebijakan yang dibuat itu memihak rakyat apa tidak. Kebijakan hanya memihak sebagian rakyat yang sanggup membayar. Konglomerat dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam me(mper)mainkan kebijakan. Elitisme kebijakan terjadi karena memang rakyat tidak lagi dilihat sebagai manusia yang juga merasakan nikmatnya rasa sejahtera yang ditimbulkan kebijakan itu. Adagium tentang manusia adalah serigala bagi manusia yang lain seringkali benar. Diskursus tak lagi diberlakukan. Ruang publik yang seharusnya dibuka untuk siapa saja yang mau bersuara dikunci rapat-rapat tanpa bisa diintip sedikitpun.


Permainan kebijakan oleh elit politik yang berkolaborasi dengan konglomerat dan para pengusaha menimbulkan yang namanya oligarki secara tidak langsung. Oligarki yang dipoles dengan bahasa dan wacana demokrasi, menipu sekian banyak orang dan memakan banyak korban. Demokrasi yang beraroma oligarki ini adalah hasil dari kerja pemerintah yang berkonspirasi dengan pengusaha atau kelompok kepentingan sepihak yang tak peduli rakyat. Kecenderungan oligarki seperti ini acapkali terjadi pada negara berpenduduk kurang berpendidikan. Bila dilihat lebih lanjut, oligarki yang kebijakan negaranya dipegang beberapa orang[8] adalah negasi mutlak dari demokrasi yang kebijakannya dipegang rakyat secara penuh[9].


Politisasi Demokrasi: Pola Baru Antidemokrasi
Selama Orde Baru masih berkuasa, kita semua disuguhi dengan buku sejarah yang mengerikan. Salah satunya adalah sejarah kelam G30SPKI. Ideologi “enyahkan PKI” seakan melekat bagai kewajiban beribadah dalam diri kita. Padahal bila ditilik lebih lanjut, itu hanyalah alat Orde Baru dalam usaha menghegemoni—meminjam terori Gramsci—Indonesia. Tercekoki dengan developmentalism a la Orde Baru, kita tak sadar sedang menuju kehancuran demokrasi. Sejarah yang diformat sedemikian rupa itu adalah bagian kecil dari ademokrasi. Yang lainnya belum tampak, terutama bias dari antikomunis itu sendiri. Banyak kekerasan didasarkan pada itu. Hingga apa pun bentuknya yang bisa mengancam pemerintahan Orde Baru akan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Efek lainnya, bangsa Indonesia diajari eksklusif dan penakut.


Orde Baru benar-benar bisa menutup ruang publik. Padahal ruang publik adalah tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[10]


Ruang publik sebagai sarana komunikasi warga negara dengan pemerintahan itu tertutup tidak hanya satu arah belaka, namun dua arah sekaligus: pemerintah enggan mendengarkan suara rakyat dan rakyat ‘sungkan’ menyampaikan aspirasinya. Beragam problema muncul sebab diskomunikasi ini. Mulai dari yang sifatnya sistemik sampai praktis.


Ide apa pun yang ditawarkan tak kan pernah bisa dicerna dengan baik bila tidak dilahirkan dari diskursus musyawarah (untuk mencapai mufakat dalam bahasa kita). Dialog dibutuhkan untuk di-share ke ranah publik. Dialog ini akan melahirkan perbincangan mana yang baik dan mana yang tidak, sebelah mana yang patut diperbaiki dan sebelah mana yang layak mengisi kekosongan.


Kesadaran akan kembalinya esensi demokrasi ke tempatnya semula sangatlah dibutuhkan. Bukan suatu hal yang tidak mungkin harapan tersebut akan menjadi kenyataan apabila ruang publik benar-benar bisa dibuka selebar-lebarnya. Dan juga, penghapusan sekat antara penguasa-pengusaha-rakyat kecil bisa digalakkan, karena saat ini pun penghapusan sekat ini sudah di ambang pintu, semakin dekat dengan dan suatu saat tak kan ada lagi jarak. Wallahu a’lamu!

Daftar Pustaka
Ahmad Rafsanjani, Partisipasi Politik Rakyat, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 April 2009.
Alamsyah, Menanti Demokrasi Deliberatif, Lampung Post, Selasa, 12 Mei 2009.
Budiman Tanurejo, Melongok Demokrasi Indonesia, Kompas, 16 Agustus 2007.
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
Muhammad Syahrur, Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri & Badrus Syamsul Fata dari Dirâsât Islâmiyah fi ad-Daulah wa al-Mujtamâ’. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik  di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006.



[1] Ditulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester 1 yang diasuh oleh Bandiyah, S.Fil., MA. di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang tahun 2010.
[2] Mahasiswa Semester 1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.
[3] Dikutip dari Budiman Tanurejo, Melongok Demokrasi Indonesia, Kompas, 16Agustus 2007.
[4] Ahmad Rafsanjani, Partisipasi Politik Rakyat, Pikiran Rakyat, Sabtu, 11 April 2009.
[5] Yasraf A. Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik  di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006, hal. 121-122.
[6] Istilah ini diperkenalkan Jürgen Habermas. Francisco Budi Hardiman, dosen Universitas Paramadina dan STF Driyarkara, mengeksplorasi lebih jauh dalam Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009. Banyak tulisan pendek mengenai topik ini, salah satunya yaitu tulisan Alamsyah, Menanti Demokrasi Deliberatif, dimuat di Lampung Post pada Selasa, 12 Mei 2009.
[7] Muhammad Syahrur, Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri & Badrus Syamsul Fata dari Dirâsât Islâmiyah fi ad-Daulah wa al-Mujtamâ’. Yogyakarta: LKiS, 1994, hal. 149.
[8] Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 749.
[9] Ibid, hal. 154.
[10] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009, hal. 133.

Posting Komentar

0 Komentar