Catatan Harian
Meradang Kekuasaan
Mengapa orang yang merasa tertindas dan tersubordinasi, tak diberikan ruang untuk berpartisipasi, serta dialienasi dari kehidupan politisnya seakan lebih paham apa itu demokrasi? Inilah catatan atas sahabat-sahabat yang telah melaksanakan Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya.
Musyawarah tahunan ini menentukan ketua baru HIMAPOL setahun ke depannya. Tak ada yang beda. Meski hanya sekecil himpunan di dalam fakultas, mahasiswa politik ini cukup politis dalam menanggapinya. Bukan sekedar ajang menampakkan gigi di muka, menunjukkan eksistensi diri dan organisasinya, dan mengatakan 'Inilah aku dan kelompokku.'
Dua hari berturut-turut mereka memaknai berbagai ketegangan yang ada dengan saling sikut menyikut yang lain, dan sekaligus menyembunyikan 'borok' dirinya. Apa yang kurang benar? Sebab semua orang masih menganggap bahwa politik dan kekuasaan adalah entitas yang harus dimiliki. Meminjam bahasa dan ide Arendt, "Politik harus diletakkan sebagai sesuatu yang ada di antara manusia." Bukan milik siapa-siapa. Hanya ini.
Lalu di antara kita mengobrolkan soal ruang publik dalam demokrasi, sedangkan yang lainnya merasa tak mendapat jatah atas kedudukan di mana mereka hidup. Mahasiswa politik tidak paham ruang publik dan politik yang bukan milik siapa-siapa, ini ironi pendidikan. Sungguh. Jika pendidikan memang mengasah-kuatkan sikap dan meluaskan pemahaman, maka barometer pendidikan ini menemukan kendala abadinya. Boleh jika mengatakan kita semua adalah sophis. Khawatir memang tidak akan menyelesaikan gejala dan penyakit akut ini, tapi menuliskannya tak lain adalah pekikan keterbatasan bersuara.
Selamat menikmati ke-bullshit-an dan ke-ancuk-an demokrasi yang kau bicarakan.
Musyawarah tahunan ini menentukan ketua baru HIMAPOL setahun ke depannya. Tak ada yang beda. Meski hanya sekecil himpunan di dalam fakultas, mahasiswa politik ini cukup politis dalam menanggapinya. Bukan sekedar ajang menampakkan gigi di muka, menunjukkan eksistensi diri dan organisasinya, dan mengatakan 'Inilah aku dan kelompokku.'
Dua hari berturut-turut mereka memaknai berbagai ketegangan yang ada dengan saling sikut menyikut yang lain, dan sekaligus menyembunyikan 'borok' dirinya. Apa yang kurang benar? Sebab semua orang masih menganggap bahwa politik dan kekuasaan adalah entitas yang harus dimiliki. Meminjam bahasa dan ide Arendt, "Politik harus diletakkan sebagai sesuatu yang ada di antara manusia." Bukan milik siapa-siapa. Hanya ini.
Lalu di antara kita mengobrolkan soal ruang publik dalam demokrasi, sedangkan yang lainnya merasa tak mendapat jatah atas kedudukan di mana mereka hidup. Mahasiswa politik tidak paham ruang publik dan politik yang bukan milik siapa-siapa, ini ironi pendidikan. Sungguh. Jika pendidikan memang mengasah-kuatkan sikap dan meluaskan pemahaman, maka barometer pendidikan ini menemukan kendala abadinya. Boleh jika mengatakan kita semua adalah sophis. Khawatir memang tidak akan menyelesaikan gejala dan penyakit akut ini, tapi menuliskannya tak lain adalah pekikan keterbatasan bersuara.
Selamat menikmati ke-bullshit-an dan ke-ancuk-an demokrasi yang kau bicarakan.
Posting Komentar
0 Komentar