Catatan Harian
Perpustakaan Annuqayah, Keberadaan yang Tak Disoal
2007 lalu, saat saya masih belum tahu apa-apa soal perpustakaan kecuali bagaimana cara meminjam, saya tertarik dengan kesempatan untuk magang di Perpustakaan Annuqayah. Kesempatan itu berupa undangan. Sebelum undangan tersebut saya baca sampai selesai, saya mengira saya adalah pilihan, tanpa melalui proses pelatihan atau uji coba untuk menjadi seorang pustakawan. Namun nyatanya tidak, proses demi proses diberikan, dinilai dari tingkat keaktifan hingga rajinnya mereview buku baru untuk diklasifikasi dan diinventaris. Mulai saat itu saya merasakan bagaimana sebenarnya menjadi seorang pustakawan bukan sekedar nampang saat piket di perpustakaan dan menikmati fasilitas yang ada.
Seperti halnya perpustakaan di Annuqayah pada umumnya waktu itu, Perpustakaan Annuqayah mandiri dari segi pendanaan. Pengadaan buku mengandalkan pengajuan proposal kepada penerbit,iuran tahunan anggota, pembagian hasil dengan penerbit ketika bazar buku HIMA,dan dari hasil penjualan koran bekas sisa kliping. Perpustakaan memang tidak bisa begitu saja mengesampingkan pendanaan. Selain dari pengembangan dana yangada, juga harus ada monitoring dari Yayasan Annuqayah utamanya yang bersangkutan dengan pembayaran listrik dan perawatan gedung. Karena soal penerangan dan kelayakpakaian gedung inilah yang dulu sempat menjadi kendala utama keberadaan Perpustakaan Annuqayah pada pertengahan 2009.
Sebelum dipindah entah ke mana,letak Perpustakaan Annuqayah begitu strategis, tepat di kanan depan Masjid Jami’ Annuqayah. Pada awal 2008 ada rencana untuk dipindahkan, tapi gagal karena beberapa pertimbangan. Padahal bangunan perpustakaan sudah tidak layak.Selain ada kebocoran atap yang berbahaya bagi keberadaan buku dan rencana renovasi gedung, tujuan dari rencana pemindahan adalah peningkatkan disiplin pengurus Perpustakaan Annuqayah, yang juga harus saya akui beberapa orang dari kami seringkali indisipliner dan acap menggunakan fasilitas perpustakaan di luar ketentuan.
Bermula dari Taman Baca
Rasa-rasanya, tidak ada perpustakaan atau pusat buku lainnya yang tidak berdiri berdasar semangat membaca. Begitu juga dengan Perpustakaan Annuqayah. Disebutkan oleh K. Warits Anwar, alumni dan mantan pengurus, berdirinya Perpustakaan Annuqayah tak lepas dari fakta tingginya minat baca santri pada kitab dan buku, serta semangat santri untuk terus mengetahui informasi terbaru. Awalnya, minat baca ini disiasati dengan pendirian taman baca sederhana. Dan pada awal 1980 Perpustakaan Annuqayah berdiri, pasca adanya penataran mengenai perpustakaan yang dilaksanakan oleh LP3ES dan Pondok Pesantren Tebuireng di PP. Annuqayah sendiri.
Sejak berdirinya, tahun 1970,Perpustakaan Annuqayah dapat merealisasikan berbagai program yang tidak hanya bertumpu pada satu mata program dalam batas kepustakaan, tapi juga berkembang ke beberapa program lainnya yang masih berkaitan erat dengan posisi perpustakaan sebagai lembaga edukatif, seperti kegaiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah melalui diskusi rutin, dialog, seminar, dan kegaiatan-kegiatan lainnya.
Menurut cerita yang berkembang antara kami sebagai pengurus dulu, Perpustakaan Annuqayah memiliki sejarah pergualatan panjang, jatuh bangun, hingga akhirnya susah bangkit lagi seperti sekarang. Efek terburuk dari hal itu adalah kevakuman, akibat kaderisasi yang tidak maksimal dalam mendidik calon pustakawan. Pengurus yang berhenti mondok tidak meninggalkan pengganti yang sama kredibelnya di bidang kepustakaan dan pengembangan pendidikan berbasis perpustakaan. Bagi saya, awal mula bubarnya perpustakaan bukan karena sedikitnya bahan bacaan, tapi karena buruknya pengelolaan. Perpustakaan adalah benda mati. Pengelola dan pembacanya lah yang menghidupinya.
Kita tidak sedang menjaga papirus perpustakaan Alexanderia. Kita sedang menjaga kesehatan berpikir dengan membaca. Saya teringat penjelasan Báez tentang perpustakaan yang hancur karena rezim dan perpustakaan yang dihanguskan akibat perang. Báez menyebutnya librisida atau bibliosida. Kita tidak mengalami hal-hal yang telah terlintas dalam sejarah semacam itu. Yang kita hadapi sekarang adalah ketidakpedulian pada buku, yang muncul dari keengganan untuk tahu. Perpustakaan hadir di tengah-tengah kita bukan sekedar program kerja formal pesantren saja. Dan perpustakaan bukan sama sekali bangunan, namun pendidikan yang tidak di batasi kelas-kelas seperti sekolahan. Di sinilah unggulnya keberadaan perpustakaan.
Seringkali kita gagal paham,perpustakaan dianggap sebagai penyelesai kebutuhan untuk menulis tugas kuliah atau tugas sekolah saja. Setelah itu tak ada. Pada akhirnya, perpustakaan tak lebih mirip pegadaian. ‘Masalah’ selesai, lalu kita tak balik lagi untuk membaca. Masih terlihat lebih bagus santri-santri kecil yang aktif pinjam komik daripada mereka yang hanya satu dua kali datang lalu tak kembali lagi. Entah koleksi buku yang tak menarik minat atau memang tak ada keingintahuan yang hendak dipenuhi.
Dulu, sebelum saya nonaktif di Perpustakaan Annuqayah pertengahan 2010, koleksi bahan bacaan mencapai 5.533eksemplar. Dengan rincian: 540 kitab, 2.135 buku ilmiah, 1.581 buku fiksi, dan1.277 majalah. Ini belum termasuk klipingan koran. Catatan inventarisnya jelas. Klasifikasinya menggunakan Klasifikasi Desimal Dewey sehingga buku mudah dicari dan diidentifikasi. Saat ini, saya belum tahu ribuan bahan bacaan ini dipindah ke mana. Alhamdulillah jika masih dibaca dan dirawat.
Tiada batas tanggung jawab antara pengelola dengan anggota perpustakaan yang tiap hari membutuhkan bahan bacaan. Semuanya berkewajiban menjaga buku dengan membacanya, menghargai buku dengan cara menghormatinya, mencintai pengetahuan beserta memahami isinya. Ada musuh alami buku, yaitu serangga dan manusia yang tak peduli. Yang pertama hanya menggerogoti buku untuk makan, kecuali buku digital. Yang kedua lebih kejam, menghancurkan buku dan perpustakaan untuk menumpulkan pikiran.
Posting Komentar
0 Komentar