Dekonstruksi Kelamin Bahasa

Oleh: Mahalli[1]
Pendahuluan
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk berbahasa. Bahasa merupakan segmen penting komunikasi manusia. Manusia bisa saling paham dan mengerti karena adanya bahasa. Bahkan, Bertrand Russel menyebut bahasa memiliki kesesuaian dengan struktur dan realitas sosial masyarakat.[2] Struktur sosial masyarakat membentuk pola pikir individu, anggapan, dan wacana (discourse) dalam struktur itu.
Bertolak dari pendapat Russel inilah dapat disadari bahwa konstruk sosial masyarakat yang menganggap perempuan ada di bawah lelaki bisa direkonstruksi. Dekonstruksi bahasa dirasa penting untuk menghilangkan oposisi biner[3] kata lelaki-perempuan yang diucapkan, direproduksi, dan ditindakkan setiap waktu oleh manusia. Kondisi yang demikian ini bisa dilihat dalam beberapa kata yang mengidentikkan kata tertentu bernilai maskulin dan di sisi lain bernilai feminim.
Dalam bahasa Arab misalnya, “kelamin” bahasa cukup kentara antara kata yang mudzakkar (maskulin) dan muannats (feminim). Hingga ada perdebatan sengit tentang kata Allah yang identik dengan maskulinitas. Di beberapa bahasa lain seperti Bahasa Perancis dan Jerman juga berlaku demikian.[4] Secara literal, bahasa Indonesia memang tidak menyatakan secara tersurat tentang kelamin bahasa ini, tapi patut dilihat lebih lanjut misalnya dalam iklan yang merupakan aplikasi pertarungan tanda dan tinanda pada aspek praktiknya, perempuan diidentikkan dengan iklan kosmetik, peralatan dapur dan rumah tangga, serta iklan lain yang dianggap dekat dengan perempuan.
Reproduksi bahasa inilah—dengan diucapkan, diungkapkan, dan dinyatakan dalam bentuk apapun—yang menyebabkan kesadaran manusia sedikit demi sedikit terbangun untuk menganggap bahwa lelaki dan perempuan berbeda. Bahasa memberi penilaian identitas tertentu sehingga berakar dalam benak manusia tentang siapa itu perempuan dan siapa itu lelaki.
Mengapa bahasa sedemikian kuatnya mempengaruhi sturktur sosial masyarakat dan menancapkan kuku kuasanya hingga mempengaruhi tindakan manusia? Lalu bagaimana membedah kuasa pengidentikkan identitas (baca: kelamin sosial) yang dikerjakan bahasa? Dua pertanyaan inilah berusaha dijawab oleh penulis dalam esai ini.

Dekonstruksi Oposisi Biner Lelaki-Perempuan
Durkheim menyatakan bahwa tindakan sosial dipengaruhi suatu hal objektif yang berada di luar manusia.[5] Beranjak beberapa tahun lamanya, Saussure membayangkan sesuatu yang objektif mengatur struktur kehidupan manusia seperti dikatakan Durkheim adalah bahasa.[6] Dari pernyataan ini cukup bisa dipahami dan dilegitimasi, sulit dibantah. Apalagi menjelang akhir abad lalu, Habermas menekankan bahwa yang menjadi inti kehidupan manusia adalah komunikasi.[7] Bukan lagi kerja seperti yang dinyatakan Marx.[8] Dari runtutan sejarah pemikiran ini dapat dilihat bagaimana bahasa berusaha dijelaskan sebagai salah satu struktur kehidupan manusia. Dari yang teoritis hingga yang praktis.
Mengacu pada sejarah tentang strukturalisme Saussurian dimana oposisi biner dalam bahasa dipertahankan sedemikian rupa hingga salah satu dari yang berlawanan berada dalam relasi subordinat. Kata yang satu mereduksi kata yang lain, lelaki mereduksi perempuan. Ketergantungan dan daya reduksi inilah yang penulis lihat akan adanya sistem subordinat dalam relasi oposisi biner lelaki-perempuan. Hingga kemungkinan terakhir yang harus dilalui adalah melampaui anggapan bahwa lelaki dan perempuan berlawanan. Usaha untuk melampaui ini merupakan salah satu semangat dekonstruksi.
Bagaimana usaha melampaui oposisi biner itu ada? Yang pertama, menghilangkan oposisi biner dengan menghentikan reproduksi bahasa yang menyatakan kelamin tertentu. Misalnya tidak menjadikan perempuan sebagai bintang iklan perabotan dapur, bahwa lelaki bukan pemegang asas utama heroisme seperti dalam sejarah kenegaraan yang cenderung mengunggulkan peran pejuang berjenis kelamin lelaki. Atau ketika ada anak lelaki kecil menangis, jangan sampai keluar pernyataan, ”Menangis itu kerjaan perempuan.” Lebih baik diganti dengan yang cukup rasional misalnya, ”Kalau menangis wajahmu jelek.” Atau kata lain yang sejenis.
Tindakan lain yang patut diacungi jempol dalam usaha mendekonstruksi adanya kelamin dalam bahasa adalah tindakan penyerupaan (hasrat mimetik) perempuan pada lelaki. Tetapi harus dipahami, penyerupaan ini tidak di wilayah yang melanggar norma dan aturan setempat. Keluarnya perempuan dari ranah privat ke ranah publik adalah contoh kecilnya. Penampilan Rieke Dyah Pitaloka ketika di depan publik, bercelana panjang dan rambut terurai menyiratkan adanya pelampauan posisi perempuan pada umumnya. Dari penampilan Rieke bisa dibaca bagaimana identifikasi nilai feminim diseret pada ambang maskulinitas.
Kedua, selain dari arah preventif, ada juga dari sisi represif. Seperti menggalakkan wacana tentang kesetaraan perempuan dengan lelaki. Tentunya dengan bahasa pula. Kesadaran yang dimulai dengan bahasa memang sangat efektif untuk menghancurkan ketidaksadaran akan adanya sistem subordinasi pada perempuan. ‘Memprovokasi’ perempuan dengan mengadvokasi kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, sedikit banyak akan membangkitkan anggapan tentang kebenaran adanya ketidakadilan bagi perempuan. Seperti yang dilakukan Rieke Diah Pitaloka ketika mengadvokasi Sumiati, korban kekerasan oleh majikannya di Arab Saudi. Setidaknya ketika kasus ini diekspos dan mendapat sorotan media, mayoritas perempuan Indonesia dan seluruh dunia paham bahwa perempuan dapat bangkit membela dirinya.
Ketiga, pewacanaan gender hendaknya menghindari kritik yang berlebihan melalui bahasa atas maskulinitas. Dalam proses dialektika gender seperti ini, menyerang maskulinitas secara berlebihan ternyata sama sekali tidak efektif. Banyak kasus negatif berasal dari tindakan feminis karena terlalu radikal mewacanakan kesetaraan gender. Wacana gender harus tahu konteks dimana ia disuarakan. Ketika pewacanaan gender ahistoris dan tidak kontekstual, wacana gender hanya akan menjadi pelengkap polemik di media, tidak memberikan apapun kecuali kekacauan pemahaman dan omongan yang sama sekali tidak membumi. Bukan bermaksud menumpulkan tajamnya muatan kritis wacana feminisme dan gender, tapi lebih mengarahkan bagaimana wacana feminisme tepat sasaran dan menghindari kesalahan metodiknya. Hal seperti ini kerapkali dilupakan ketika emosi tentang keadilan lebih menonjol daripada rasionalitas keadilan. Acapkali terjadi pada feminis yang cenderung radikal di AS, namun AS kemungkinan besar memang butuh yang lebih keras sesuai dengan wacana yang menjadi lawannya. Beda dengan Timur yang cenderung memang memberikan peluang besar bagi perempuan untuk berkarya dan jauh dari kasus kekerasan perempuan sebagaimana terjadi di Barat dahulu.

Penutup
Ketika sistem komunikasi mencapai puncak klimaks kecanggihannya, kecepatan menjadi andalan arus komunikasi dan informasi. Jika perempuan tetap lambat mengakses informasi dan wacana media akibat dari mengakarnya anggapan terhadap posisinya, maka ketenggelaman perempuan di lautan subordinasi tidak pernah akan menemukan solusinya. Karena salah satu cara mengubah wacana media, yang merupakan kepanjangan tangan bahasa, adalah mengikuti dan melawan dengan bersikap negatif serta kritis untuk cepat bisa melampaui wacana itu.
Tidak setiap kritik membawa dampak negatif pada tatanan sosial yang ada. Tapi justru kritik adalah proses rekonstruksi tatanan sosial yang tidak seimbang dan cenderung timpang. Jika dengan bahasa saja konstruksi sosial bisa diubah, tentu saja jalan lain menuju kesadaran perempuan akan juga terangkat. Bahasa di sini bukan satu-satunya cara mengubah mind set perempuan (juga laki-laki), namun salah satu dari banyak solusi yang mempunyai arah sasaran pada struktur sosial masyarakat.
_______________
Daftar Pustaka
Agger, Ben. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Santoso, Listiyono (ed.). Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Veeger, K.J. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia, 1986.


[1] Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
[2] Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 24.
[3] Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 151.
[4] Misalnya dalam bahasa Perancis, matahari (soleil) yang bernilai maskulin, bumi (terre) adalah perempuan, kotoran (souillure) bernilai perempuan, sedangkan sepatu (suolier) bernilai lelaki.
[5] K.J. Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 142.
[6] Muhammad Al-Fayyadl, Derrida,... hlm. 31.
[7] F. Budi Hariman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hlm. 96.
[8] Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hlm. 191-192.

Posting Komentar

0 Komentar