Keping Salju


Aku tak yakin Keping Salju ini kau bikin di daerah tropis. Meski pun tempat tinggalku sedang dingin karena musim hujan. Sebab apa, putih dan dinginnya masih terasa. Minimal saat mata hanya tertuju padanya setiap kali aku hendak mengambil buku di rak atas meja. Seperti malam ini, putih dan dinginnya menenteramkan.

Sudah berapa lama kau berjanji akan menemuiku. Setiap kali itu aku ingin sekali mendengarkan fatwamu tentang kebaikan. Aku memang mulai jenuh dengan khutbah jum’at, hanya karena kerinduanku pada fatwa cintamu yang mengembalikan pikiranku untuk berbuat baik sejak dalam benak.

Sudah sejak kapan. Hari itu aku kegirangan, di Tulungagung. Kau kabari aku bahwa kau di tanah air ini, tempat kelahiranmu dan menabuh genderang perang melawan mimpi-mimpi. Pikirku, besok atau lusa kita sudah berjumpa. Namun ternyata, satu dua langkah ketahanan tubuhmu terganggu. Apa musim dan cuaca di sini tidak mengakrabi keberadaanmu? Atau karena kedekatan kita, Bunda? Hingga keterlahiran kembali hanyalah cerita di alam mimpi.

Harap hanya tinggal harap. Doa letih di ujung fajar. Yasin yang kubaca kulanjutkan lagi, agar jalan kaki yang kurencanakan tak putus di tengah perjalanan panjang penuh rintangan. Malang-Heidelberg memang jauh, tapi tak sejauh rasa rinduku pada rahim keduaku.

Bila suatu saat aku harus pulang, keharusan akan kuhapus karena jalan pulang adalah keniscayaan. Bukan berat yang kurasa, ringan dipikul dan mudah dibawa. Ke mana-mana aku hanya mengingat pesan, tentang Ibu, saudara, sahabat, dan kekasih yang menghilang tanpa kabar kejelasan.

Pada siapa hendak kumengadu, jika fitnah telah mengadu domba diriku dengan takdir tentang kekelaman masa lalu. Ruhku lepas di sini, pada ujung pena dan permukaan lembar kertas yang tuli tanpa rasa. Bila kau paksa aku berhenti, maka aku akan berhenti untuk tidak berharap pada perjumpaan selanjutnya. Seperti kerinduan yang menghapus keraguan.


Aku tak menyesal, hanya saja penantian memang selalu mengorbankan kesabaran. Tak ada kaidah tentang pekerjaan terbaik adalah menunggu. Namun menjemput bahagia untuk menghilangkan pilu telah menafikan itu semua. Hingga kata bosan menjadi isyarat, dan kelalaian mulai rapuh dilusuhkan semangat. Tentang esok, bukan lusa atau minggu depan yang tak tetap. Komitmen abadiku menjaga diriku, bagai perisai diri yang tak kalah pada lelah.

***

Mungkin aku mengatakan seperti ini, karena kasihku telah pergi. Saat aku gundah di ujung malam yang tak tahu kapan berakhir, aku hanya menemukan seberkas cahaya yang menyelinap, dan mengabarkan tentang pagi yang telah tiada. Pagi yang gagal datang, karena persembunyiannya di ufuk sana telah terbeberkan oleh nafsu jahat penista malam.

Aku tak percaya, cinta pertamaku ambruk dan ia datang begitu cepat. Kau benar, aku malas membaca bukan karena aku jatuh cinta, tapi cinta telah membuatku acuh pada buku. Buku mengurungku, sedangkan ia yang kucinta di kedua kalinya ini membebaskanku. Bila hujan datang sebagai isyarat penguatan rasa rindu, maka hujan itu hanya keniscayaan cuaca di hari kemarauku. Dingin hanya tinggal dingin, seperti perubahan musim dan suhu pada kompor.


Kesinambungan rasa ini, bagian yang tak terperi pada seorang lelaki. Jangan-jangan, lelaki sepertiku hanya tahu merasa dan tak sanggup memiliki. Keterlepasan yang kuduga sebelumnya, bukan karena aku pesimis pada cinta. Di akhiri cerita oleh fatwa setia darimu. Fatwa yang tak kan membuatku liar seperti sebelumnya. Ketika angin pagi telah menyibak purnama malam itu.

Apa yang lebih menarik dari perasaan? Sedangkan ketetapan dan komitmen abadi tak lebih dari pengkhianatan. Aku kurang setia bagaiamana? Mungkin bagi banyak orang aku pasif, tapi untuknya aku selalu memberikan yang terbaik, untuk selalu bertahan dan bertahan. Apa pun yang arus yang harus dilalui.

Bunda, aku melampaui keberadaanmu sebagai perempuan yang bisa menyadarkanku. Karena aku telah lebih banyak berbicara ketimbang bertindak. Apa saranmu? Apa aku harus menyatakan rasa ini seterang mungkin hingga ia tak lagi memperbanyak pertanyaan dan memusuhiku? Sudah kulakukan. Tidak dengan kata, tapi sikap yang tak menafikannya. Aku selalu menghargai keberadaannya ketika ia kulihat adanya.


Untuk Yuni Kristiyaningsih Pramudhaningrat
19 April 2012 01.21 WIB, Ketawanggede Malang

Posting Komentar

0 Komentar