Catatan Harian
Selamat Toilet Baru 2013!
Hari
itu tanggal 31 Desember 2012, saya hendak kembali ke Kota Malang untuk
melaksanakan UAS semester 5. Saya menunggu bis ke Malang di pinggir
jalan, bis yang biasanya lewat di Prenduan pada jam 11.30an ini langsung
ke Malang dengan ongkos transportasi ‘hanya’ Rp. 40.000,-. Tidak
seperti biasanya pada bis patas ber-AC yang dua kali lipat dari harga
ekonomi.
Saudari saya menggendong anaknya, dan ibu saya yang turut mengantarkan saya sabar menunggu hingga saya naik ke bis. Meski berjam-jam lamanya, mereka masih saja menemani saya menunggu bis datang. Ternyata bis yang saya tunggu tidak lewat-lewat hingga jam 13.00. saya pun frustasi dan memilih ikut bis Akas ekonomi. Biasanya bis Akas ekonomi lewat di Pelabuhan Kamal, bukan di Jembatan Suramadu hingga membutuhkan waktu 2 jam lebih lama ketimbang bis patas Damri atau Akas patas.
Hujan pun turun berinai-rinai, pelan, dan jalanan basah. Saya kepikiran pada ibu dan saudari saya dan keponakan kecil saya. Sambil mengkhawatirkan mereka kena hujan di perjalanan pulang ke rumah dari pinggir jalan raya, saya mulai tertidur hingga Terminal Sampang. Ternyata Blega hampir. Sebentar lagi sampai di tempat dimana ada tangis di ujung jalan. Hem... ini kenangan rasa manis campur pahit. Sudahlah. Saya lanjutkan cerita.
Tangkel lewat, Pelabuhan Kamal bersambut. Benar tidak lewat Suramadu. Alamat perjalanan akan 2 jam lebih lama dari perkiraan. Mungkin saya akan sampai di Malang pada jam 8 malam. Di Pelabuhan Kamal tepat pada jam 15.14 WIB. Saya men-shoot pelabuhan dari atas kapal bertuliskan We Bridge The Nation. Di kejauhan, kapal Potre Koneng tampak menepi dengan angkutan penuh sepeda motor di bagian depan. Pelabuhan mendung, hujan baru saja turun, dan sejuk.
Saya tahu malam ini adalah perayaan (isu) pergantian tahun. Saya sudah mengira Surabaya akan lebih sesak di malam ini dan saya tidak mau terjebak di tengah kota yang pengap ini. Tahun baru, bagi saya nampak absurd. Apa bukti pergantian tahun? Jangan-jangan pergantian tahun atau tahun baru hanya mitos. Tahun baru, selain menyebabkan jalanan semakin macet juga mengakibatkan antrean di toilet pom bensin. Menyebabkan pemakaian gas yang melebihi hari biasa, dsb. Bahasa mudahnya: Tahun baru adalah puncak pemborosan. Mitos tahun baru mengundang keriuhan massal, simulasi kegembiraan, dan ... entah! Mungkin saya yang terlalu sinis pada kebahagiaan sebagian orang sedangkan di sisi lain saya melihat kesengsaraan lebih banyak orang.
Di Terminal Purabaya Bungurasih, saya mencari bis lanjutan ke Malang. Saya temukan Tentrem berwarna hijau. Bis langsung berangkat saat saya baru naik. Melenggang pelan menembus senja yang basah, tol berlalu, Lumpur Porong terlewati, Pasuruan, hingga di ujung selatan Pasuruan tepat di Purwosari macet total karena ada saudara bis yang saya tumpanggi, Tentrem, mengalami kecelakaan dan masuk kali. Dari maghrib hingga jam 9 malam pun saya hanya bisa baca buku di dalam bis sambil lalu menunggu kapan macet akan berakhir dan bis ini melaju lancar kembali.
Sampai di Terminal Arjosari pada jam 22.30, angkutan kota nyaris habis. Trayek ADL tinggal satu. Saya bergegas masuk karena sudah hampir penuh. Sopir angkot mengisyaratkan kalau angkot tak lewat Tugu karena jalan dialihkan demi kelancaran (isu) malam pergantian tahun. Tinggal beberapa jam lagi, tapi kembang api dan bunyi terompet mulai terdengar.
Angkot yang saya tumpangi berjalan pelan karena macet. Car Free Night. Entah apa itu, yang jelas saya lihat macet. Manusia modern hobi membuat sesuatu yang tak penting dan ruwet. Di malam itu, manusia dan mesin tak ada bedanya. Semua berarakan menuju satu huru hara besar, asap, bunyi terompet dan klakson, deru gas, dan teriakan tak jelas di telinga. Angkot yang penuh sesak sampai kaki tak bisa bergerak membuat saya makin malas melihat ke laur jendela. Saya tundukkan kepala, hingga tikungan dekat pom bensin Jalan Veteran. Hampir sampai di Ketawanggede, berarti sebentar lagi saya turun dan istirahat.
Jalan MT. Haryono yang biasanya sibuk pada sore hari, malam itu lenggang. Karena semua orang sedang terpusat di Alun-Alun Kota Malang dan beberapa tempat selain di sini. Turun di gerbang Ketawanggede, Jalan Kertorahayu sepi sekali. Hanya beberapa anak kecil berkeliaran dengan terompet di tangannya. Mereka mencoba menjadi Isrofil, siapa tahu malaikat peniup terompet ini nanti absen menjelang kiamat, mereka bisa menggantikan. Alhamdulillah.
Saya sudah menebak, kontrakan akan sepi juga. Ternyata dugaan saya betul sekali. Tak ada sebatang sandal pun, apalagi kaki. Beberapa ekor kecoa terbang, karena manusianya pada pergi. Perut yang lapar dan capai karena seharian duduk cantik di bis akhirnya menggerakkan saya ke Tenggang Rasa, warung si akang dari Jawa Barat. Dari arah UB, terdengar bunyi petasan. Maklum, jam sudah menunjuk nyaris tengah malam. (Isu) pergantian tahun dekat sekali. Berapa uang yang UB habiskan untuk acara hura-hura semacam itu? Entah (lagi). Saya hanya bisa menebak kalau itu dana kemahasiswaan. Tak masalah, mahasiswanya yang menikmati kok. Santai saja. Saya hanya menghitung sambil lalu tak peduli.
Teh hangat sajian akang siap. Saya mulai bercengkerama dengan hangat, beberapa pisang doreng terlahap elegan sekali. Buku yang tadi tak habis di bis saya lanjutkan hingga satu bab pendek selesai.
Menjelang empat menit (isu) pergantian tahun, akang tanya, “Kau tak jalan ke mana kah?”
“Males, kang.” Saya jawab dengan senyum mengalir.
“Bilang saja kau tak laku dan tak ada yang mengajak tahun baruan.” Senyumnya sambil mengoceh santai.
Saya yang kebelet ingin nongkrong di toilet akhirnya keluar tanpa bayar duluan. Menuju Masjid Rois Dahlan di Jalan Kertopamuji. Masjid yang sepi dan toilet di sebelahnya diam saja tanpa sapa, saya masuk tenang seperti hendak shalat. Ya, di menit-menit itu, (isu) pergantian tahun berlalu. Saya bertahun baru di toilet masjid paling besar kelurahan ini. Mungkin kalian baru tahu, ini perayaan tahun baru paling mambogela di dunia.
Hari itu, perayaan tahun baru akan menjadi headline banyak media massa, dari berita yang luar biasa hingga yang paling tak menarik sekalipun. Karena jurnalis dan koran pun ingin berikut-ikut dalam tahun baru, mengikuti satu pokok pemberitaan yang biasa dan ah...
Sekitar setengah jam di dalam toilet, saya keluar dengan lega. Kembali ke akang, bayar teh hangat yang tadi saya candai dan 3 pisang goreng yang mungkin sudah berakhir di toilet pergantian tahun. 2013 bagi saya adalah tahun toilet, yang padanya semua anak adam membutuhkan dan bertapa saat kebelet beol. Di toilet lah remahan-remahan kebencian manusia berakhir, ditutupi kejaiman dan kuasa moral yang menyatakan bahwa tahi itu menjijikkan.
Selamat toilet baru 2013!
(Ditulis dalam jangka waktu yang lama, akhir 2012 hingga awal 2013. Awalnya tulisan serius tentang perjalanan pulang, tapi menjadi sampah saat perut mulai kenyang)
Saudari saya menggendong anaknya, dan ibu saya yang turut mengantarkan saya sabar menunggu hingga saya naik ke bis. Meski berjam-jam lamanya, mereka masih saja menemani saya menunggu bis datang. Ternyata bis yang saya tunggu tidak lewat-lewat hingga jam 13.00. saya pun frustasi dan memilih ikut bis Akas ekonomi. Biasanya bis Akas ekonomi lewat di Pelabuhan Kamal, bukan di Jembatan Suramadu hingga membutuhkan waktu 2 jam lebih lama ketimbang bis patas Damri atau Akas patas.
Hujan pun turun berinai-rinai, pelan, dan jalanan basah. Saya kepikiran pada ibu dan saudari saya dan keponakan kecil saya. Sambil mengkhawatirkan mereka kena hujan di perjalanan pulang ke rumah dari pinggir jalan raya, saya mulai tertidur hingga Terminal Sampang. Ternyata Blega hampir. Sebentar lagi sampai di tempat dimana ada tangis di ujung jalan. Hem... ini kenangan rasa manis campur pahit. Sudahlah. Saya lanjutkan cerita.
Tangkel lewat, Pelabuhan Kamal bersambut. Benar tidak lewat Suramadu. Alamat perjalanan akan 2 jam lebih lama dari perkiraan. Mungkin saya akan sampai di Malang pada jam 8 malam. Di Pelabuhan Kamal tepat pada jam 15.14 WIB. Saya men-shoot pelabuhan dari atas kapal bertuliskan We Bridge The Nation. Di kejauhan, kapal Potre Koneng tampak menepi dengan angkutan penuh sepeda motor di bagian depan. Pelabuhan mendung, hujan baru saja turun, dan sejuk.
Saya tahu malam ini adalah perayaan (isu) pergantian tahun. Saya sudah mengira Surabaya akan lebih sesak di malam ini dan saya tidak mau terjebak di tengah kota yang pengap ini. Tahun baru, bagi saya nampak absurd. Apa bukti pergantian tahun? Jangan-jangan pergantian tahun atau tahun baru hanya mitos. Tahun baru, selain menyebabkan jalanan semakin macet juga mengakibatkan antrean di toilet pom bensin. Menyebabkan pemakaian gas yang melebihi hari biasa, dsb. Bahasa mudahnya: Tahun baru adalah puncak pemborosan. Mitos tahun baru mengundang keriuhan massal, simulasi kegembiraan, dan ... entah! Mungkin saya yang terlalu sinis pada kebahagiaan sebagian orang sedangkan di sisi lain saya melihat kesengsaraan lebih banyak orang.
Di Terminal Purabaya Bungurasih, saya mencari bis lanjutan ke Malang. Saya temukan Tentrem berwarna hijau. Bis langsung berangkat saat saya baru naik. Melenggang pelan menembus senja yang basah, tol berlalu, Lumpur Porong terlewati, Pasuruan, hingga di ujung selatan Pasuruan tepat di Purwosari macet total karena ada saudara bis yang saya tumpanggi, Tentrem, mengalami kecelakaan dan masuk kali. Dari maghrib hingga jam 9 malam pun saya hanya bisa baca buku di dalam bis sambil lalu menunggu kapan macet akan berakhir dan bis ini melaju lancar kembali.
Sampai di Terminal Arjosari pada jam 22.30, angkutan kota nyaris habis. Trayek ADL tinggal satu. Saya bergegas masuk karena sudah hampir penuh. Sopir angkot mengisyaratkan kalau angkot tak lewat Tugu karena jalan dialihkan demi kelancaran (isu) malam pergantian tahun. Tinggal beberapa jam lagi, tapi kembang api dan bunyi terompet mulai terdengar.
Angkot yang saya tumpangi berjalan pelan karena macet. Car Free Night. Entah apa itu, yang jelas saya lihat macet. Manusia modern hobi membuat sesuatu yang tak penting dan ruwet. Di malam itu, manusia dan mesin tak ada bedanya. Semua berarakan menuju satu huru hara besar, asap, bunyi terompet dan klakson, deru gas, dan teriakan tak jelas di telinga. Angkot yang penuh sesak sampai kaki tak bisa bergerak membuat saya makin malas melihat ke laur jendela. Saya tundukkan kepala, hingga tikungan dekat pom bensin Jalan Veteran. Hampir sampai di Ketawanggede, berarti sebentar lagi saya turun dan istirahat.
Jalan MT. Haryono yang biasanya sibuk pada sore hari, malam itu lenggang. Karena semua orang sedang terpusat di Alun-Alun Kota Malang dan beberapa tempat selain di sini. Turun di gerbang Ketawanggede, Jalan Kertorahayu sepi sekali. Hanya beberapa anak kecil berkeliaran dengan terompet di tangannya. Mereka mencoba menjadi Isrofil, siapa tahu malaikat peniup terompet ini nanti absen menjelang kiamat, mereka bisa menggantikan. Alhamdulillah.
Saya sudah menebak, kontrakan akan sepi juga. Ternyata dugaan saya betul sekali. Tak ada sebatang sandal pun, apalagi kaki. Beberapa ekor kecoa terbang, karena manusianya pada pergi. Perut yang lapar dan capai karena seharian duduk cantik di bis akhirnya menggerakkan saya ke Tenggang Rasa, warung si akang dari Jawa Barat. Dari arah UB, terdengar bunyi petasan. Maklum, jam sudah menunjuk nyaris tengah malam. (Isu) pergantian tahun dekat sekali. Berapa uang yang UB habiskan untuk acara hura-hura semacam itu? Entah (lagi). Saya hanya bisa menebak kalau itu dana kemahasiswaan. Tak masalah, mahasiswanya yang menikmati kok. Santai saja. Saya hanya menghitung sambil lalu tak peduli.
Teh hangat sajian akang siap. Saya mulai bercengkerama dengan hangat, beberapa pisang doreng terlahap elegan sekali. Buku yang tadi tak habis di bis saya lanjutkan hingga satu bab pendek selesai.
Menjelang empat menit (isu) pergantian tahun, akang tanya, “Kau tak jalan ke mana kah?”
“Males, kang.” Saya jawab dengan senyum mengalir.
“Bilang saja kau tak laku dan tak ada yang mengajak tahun baruan.” Senyumnya sambil mengoceh santai.
Saya yang kebelet ingin nongkrong di toilet akhirnya keluar tanpa bayar duluan. Menuju Masjid Rois Dahlan di Jalan Kertopamuji. Masjid yang sepi dan toilet di sebelahnya diam saja tanpa sapa, saya masuk tenang seperti hendak shalat. Ya, di menit-menit itu, (isu) pergantian tahun berlalu. Saya bertahun baru di toilet masjid paling besar kelurahan ini. Mungkin kalian baru tahu, ini perayaan tahun baru paling mambogela di dunia.
Hari itu, perayaan tahun baru akan menjadi headline banyak media massa, dari berita yang luar biasa hingga yang paling tak menarik sekalipun. Karena jurnalis dan koran pun ingin berikut-ikut dalam tahun baru, mengikuti satu pokok pemberitaan yang biasa dan ah...
Sekitar setengah jam di dalam toilet, saya keluar dengan lega. Kembali ke akang, bayar teh hangat yang tadi saya candai dan 3 pisang goreng yang mungkin sudah berakhir di toilet pergantian tahun. 2013 bagi saya adalah tahun toilet, yang padanya semua anak adam membutuhkan dan bertapa saat kebelet beol. Di toilet lah remahan-remahan kebencian manusia berakhir, ditutupi kejaiman dan kuasa moral yang menyatakan bahwa tahi itu menjijikkan.
Selamat toilet baru 2013!
(Ditulis dalam jangka waktu yang lama, akhir 2012 hingga awal 2013. Awalnya tulisan serius tentang perjalanan pulang, tapi menjadi sampah saat perut mulai kenyang)
Posting Komentar
0 Komentar