Hijabers (?)



Seorang teman bercerita tentang hobinya berdandan dan keluyuran di mall. Bersama teman-temanya yang sama-sama penyuka mode, ia tidak kurang tiga kali dalam seminggu untuk mengunjungi mall terdekat. Entah untuk berbelanja, nonton, atau hanya sekedar menghilangkan jenuh dan stress. Baginya, mall adalah tempat menegak candu yang selalu ia butuhkan. Tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi pada kebanyakan orang yang sering ke mall hanya untuk melihat-melihat tanpa berbelanja. Saat ini, mall tak ubahnya tempat pertunjukan seni berpakaian dan catwalk gratis. Teman saya itu mendapatkan referensi mode terbaru dari tampilan-tampilan di mall. Karena teman saya ini berkerudung, atau dengan bahasa lain hijab, maka ia pun memburu hijab terbaru dan bagaimana cara mengenakannya.
Terlepas dari perdebatan tentang wajib dan tidaknya hijab bagi seorang muslimah, saat ini hijab memang telah menjadi komoditas terbaru dan sangat laku untuk diperdagangkan. Kenapa harus hijab? Jawabannya sederhana, karena perempuan mudah tergoda dengan mode pakaian, dan karena hijab adalah pakaian yang dikenakan di kepala dan menjadi unsur penting dari tampilan wajah. Sehingga dengan seketika, hijab menentukan cantik dan tidaknya seorang perempuan. Sedangkan bagi banyak perempuan, cantik bukanlah kesederhanaan berpakaian.
Perempuan pengena hijab pengikut mode mempunyai komunitas-komunitas baik yang berskala nasional sampai komunitas kecil yang beranggotakan hanya sedikit orang. Yang didengungkan oleh komunitas hhijaber adalah hijab sebagai kewajiban agama. Sejak dulu sebelum masuk dalam agenda desain untuk diperdagangkan dan dijadikan mode, hijab tampak terlihat sangat kaku dan perempuan yang mengenakannya pun sering dirundung rasa tidak percaya diri.

Di Balik Kewajiban
Dengan didukung oleh kewajiban syariah Islam, hijab berdesain menarik dan up to date sangat laku keras dipasaran. Muslimah tidak ingin dianggap tidak cantik hanya karena memakai hijab yang tidak mengikuti mode. Pada akhirnya, kewajiban syariah yang esensial hilang diakarenakan tuntutan desain hijab yang melanggar syariah itu sendiri. Dapat dilihat bagaimana desain hijab pengikut mode tidak lagi memperhatikan syarat-syarat menutup aurat. Jadinya, hijab sebagai mode dan hijab sebagai kewajiban syariah tidak ada hubungannya sama sekali.
Komunitas-komunitas hijaberslah yang bergerak mengkampanyekan kewajiban berhijab bagi muslimah, sekaligus mereka ikut andil menjadi alat agenda kapitalis untuk mensukseskan lonjakan nilai lebih pemodal. Hasrat konsumsi, dalam hal ini konsumsi hijab, secara faktual adalah hasrat sosial (W.F. Haug, 1986). Tumbuhnya komunitas hijab inilah representasi dari hasrat sosial itu. Komunitas-komunitas ini pun menerbitkan majalah dan buletin-buletin untuk mengkampanyekan kewajiban berhijab dan memassalkan hasrat konsumsi bagi muslimah. Secara langsung komunitas-komunitas hijabers telah menjadi institusi konsumsi kepanjangan tangan kapitalisme, komunitas itu juga menjadi kontrol atas laku atau tidaknya komoditas.
Di tangan yang salah, syariah akan menjadi alat paling efektif mensimulasi komoditas demi kepentingan modal. Hijabers atau konsumen hijab tidak melihat hijab sebagai komoditas dan hasil produksi, tapi sebagai kewajiban yang datang dari syariah. Ketika hijabers juga ingin agar hijab tidak mengganggu penampilan mereka, maka mereka pun memilih hijab yang sesuai dengan tren waktu itu. Fetisisme komoditas pun secara disengaja telah mampu didukung oleh fetisisme syariah.
Selain ada tonjolan nilai lebih dan nihilnya nilai guna—hijab sebagai syariah, juga ada ketertukaran simbol (Baudillard, 1976) yang tak dirasakan oleh hijabers. Nilai lebih yang menjadi rasionalitas produksi telah menghilangkan nilai guna yang dimaksudkan syariah. Simpelnya, hijab bukan lagi penutup aurat, tapi realitas mode dan produksi.
Untuk melanggengkan daya konsumtif, hijabers dibuat bosan dalam waktu yang singkat dengan cara ditawari dengan desain-desain hijab terbaru yang selalu berubah-ubah. Akibat mode, hijab pun mengidentifikasi kelas-kelas sosial tertentu, serta menciptakan distingsi-distingsi baru berdasarkan mode dan selera hijab.
Hijab harus dikembalikan pada gunanya yang esensial sebagai penutup aurat muslimah. Jika hijab tetap dianggap bagian dari seni yang bisa diperjualbelikan, maka ia akan tetap menjadi komoditas pelipatgandaan modal dan lambat laun esensinya hilang tergerus kepentingan ekonomi.

Posting Komentar

0 Komentar