Pohon Tak Berakar Tak Berdahan



Beberapa hari terakhir ini ada saja yang membuat rasa bergetar begitu kuat. Entah sunyi sepi yang tampak seperti di pusara itu, atau senyap cacian bermuara (yang katanya) dari rasa sayang. Pohon tanpa akar dan dahan ini pun berlari, ingin menjauh tapi tak bisa. Karena selalu ingat kata-kata seorang sahabat di daerah istimewa sana, “Jika kau tidak bisa menyelesaikan permasalahan, maka kau adalah permasalahan itu sendiri.” Barangkali sesederhana itu saja redaksi bahasanya. Yang jelas pohon itu sudah sering diterpa angin, meski tanpa dahan dan akar. Lalu angin mana yang hendak menerpa lagi jika daun-daunnya dulu berguguran hanya karena kicau indah burung di pagi yang berembun lebat.

Di suatu kemarau yang panas, pohon itu mulai berkeinginan untuk punya akar, dahan, daun, dan bahkan bunga. Tapi tak ada semi di musim yang tetap. Gugur daun yang dulu tidak pernah menjadi pupuk baginya, ia hanya bergeming ketika banyak burung hinggap menanam benih parasit di tubuh keringnya. Tak pernah mencapai hati pohon itu, lalu benih parasit itu mati begitu saja. Sangat elegan, tapi tak begitu menarik bagi hujan, musim dingin, dan salju pun turun dengan dinginnya. Flu lagi. Dan lagi.

Hingga pada suatu ketika ada senyum cemara di jauh sana, di hutan yang berbeda. Berjarak. Berbatas sungai tanpa hulu dan muara. Lalu di mana ia akan menyeberang tanpa harus berenang dan berbasah-basahan keringat. Pucatlah tubuhnya. Lalu rasa getir untuk tumbuh itu ada lagi. Jangankan buah, bunga sekelopak pun tak ada. Inikah yang tidak membuat kumbang tergoda untuk mencumbui mahkota bunga impiannya?

Lalu pada musim yang lain, jauh setelah musim yang berlalu seperti lamanya masa jeda terutusnya para Nabi, hutan-hutan di sekitarnya kering. Tapi di jauh sana angin memberi kabar, bahwa di belahan alam yang lain, hutan tropis sedang menghijau. Ia pun mengharu biru, di pucuknya itu ada burung pemburu bangkai. Namun si burung salah terbang dan hinggap, yang burung temui hanya bunga bangkai mati suri. Bau bunga itu, ada di antara memuakkan dan menggembirakan.

Pada suatu ketika yang dingin, di awal musim baru yang tidak satu cacing pun tahu itu musim apa, ada berulangkali tetes embun jatuh di kulit pohon tanpa dahan dan tanpa akar yang mengeras itu. Harap cemas pun ada. Bukan cemasnya harapan. Tidaklah ia pikir berarti baginya. tetes itu membuatnya berbuah atau pun tidak, yang terpenting adalah berakar kuat dan berdahan sehat terlebih dahulu. Embun pun kian hari kian lebat di pagi yang tak bermusim. Sebagaimana kicau burung juga mengiringi, bunga pun tumbuh berkali-kali. Saat kelopaknya menguat di dahan kecilnya, ia dusta dengan serap air dari akarnya. Seperti manusia, ia melupakan asal di mana ia tumbuh: menjulang ke atas tapi tidak menghunjam ke bawah. Karena kesalahan ia sendiri pula, kelopak itu gugur perlahan. Tak sempat berbunga. Tak sempat berbuah. Yang ada hanya janji awan pada hujan, bahwa air akan turun lebih segar dari musim-musim sebelumnya. Begitulah perubahan musim, dan setiap waktu yang berlalu membawa dinamika pertumbuhan yang berbeda.

Salahkah pohon itu? Jelas salah. Mana ada pohon yang bisa tumbuh di lahan yang pada awalnya bagian dari surga namun ditanam di neraka? Pohon itu ingkar, seberkhianat burung hantu pada rembulan.

Saat malam tiba, ada bocor ceret kecil di bawahnya. Menetes. Lalu besoknya pohon itu sadar. Ketika ceret kecil itu ditemukan tergeletak begitu saja, ia berkasihani. Tiba-tiba ia temukan cincin di pegangan ceret mungil itu. Indah. Secantik ketiadaan alasan untuk mengatakan buruk. Pohon itu tahu, tak ada air dalam bejana yang abadi, suatu ketika isinya akan habis juga. Namun segaris waktu yang panjang, ia yakin satu hal: akarnya sudah ada, dahannya tumbuh sejak musim sebelumnya, apa tak ada sedikit pun air yang ia simpan untuk waktu-waktu berikutnya ketika hujan telat turun dan kemarau panjang melanda lahan. Ceret mungil itu tergantung di dahan terkecil paling dekat dengan tanah. Terindangi daun saat matahari menerpa, terlindung dari air hujan pula. Teduh.

Dua bait nyanyi sendu pun dialunkan seekor burung liar tapi cantik sayapnya:
“Daun-daun telah bersemi
Indah nian kuhinggapi
Seperti andai yang tak selesai
Di harimu, Impian!

Lalu kutatap waktu
Linang air mata inilah wajahku
Tanpa mata air kecuali mata sayu
Kau yang kuhinggapi,
Semoga tetap segar di pagi hari.”

Posting Komentar

0 Komentar