Matematika, Poskolonialisme, dan Inferioritas
Judul : The Man Who
Knew Infinity
Produser : Edward R. Pressman
Pemain : Dev Patel, Jeremy Irons, Devika Bhise, Toby Jones
Produksi : Pressman Film
Rilis : 17 September 2015
Produser : Edward R. Pressman
Pemain : Dev Patel, Jeremy Irons, Devika Bhise, Toby Jones
Produksi : Pressman Film
Rilis : 17 September 2015
Srinivasa Ramanujan. Begitulah ia dikenal.
Matematikawan otodidak ini sangat tradisional. Ia lahir di Madras, India dan
menganggap lompatan menuju seberang dengan tujuan apapun adalah satu hal yang
harus dihindari. Namun, ia nekat, meninggalkan istrinya untuk sementara waktu.
Atas dukungan atasannya yang sangat mengapresiasi kemampuan Ramanujan di bidang
matematika, ia memberanikan diri mengirim surat kepada G. H. Hardy, seorang
profesor matematika di Universitas Cambridge saat itu. Surat permohonan untuk
menjadi mahasiswa bimbingan itu ia lampiri dengan beberapa hasil hitungannya.
Dari sinilah Hardy yakin bahwa Ramanujan memiliki kemampuan yang tidak banyak
dimiliki orang lain, bahkan dirinya sendiri.
Proses perjalanan akademik Ramanujan bukan jalan yang mulus. Ada gap kultural, kebangsaan, ras, agama, formasi pengakuan akademik, dan segala sesuatu yang dianggap oleh Barat sebagai “kemalasan” dan “keberbedaan” Timur. Ramanujan ditolak oleh banyak orang, Hardy ditentang atas keputusannya mengundang orang India ini. Film ini, dalam beberapa hal yang mengesampingkan heroisme temuan dalam matematika, memuat contoh-contoh riil bias pandangan orientalisme. Ramanujan datang ke Cambridge atas nama ilmu pengetahuan, tapi banyak orang menganggap kehadirannya sebagai ancaman terhadap superioritas Barat. Berbagai stereotip pun ditempelkan kepadanya.
Film yang diangkat dari sebuah buku birografi dengan judul yang sama dan ditulis oleh Robert Kanigel ini cukup banyak memuat kisah inspiratif dan nilai-nilai hidup Ramanujan. Perjalanan intelektualnya tertangkap dengan baik dan menyeluruh. Ramanujan ditampilkan sebagai sosok yang relijius, percaya pada nilai-nilai India yang merepresentasikan adab dunia timur, dan mempercayai intuisi sebagai hal-hal yang ada di luar kemampuan dan ekspektasi nalar. Gambaran ini memberi warna yang kontras terhadap kondisi akademik Cambridge waktu itu, dan menjadi tantangan tersendiri bagi Hardy yang ateis sebagai pembimbingnya.
Kekerasan identitas yang dialami Ramanujan berbentuk fisik dan psikis. Beberapa kali ia dianggap sentimental dalam menyampaikan pendapatnya, padahal ia bermaksud menyampaikan apa yang benar dalam temuannya. Temuan-temuan itu, yang bagi Ramanujan sudah cukup bukti dan validitas melalui rumus-rumus, tak membuat Hardy bergeming dari caranya mendidik Ramanujan. Bagi Hardy, apa yang dialami Ramanujan secara otodidak dalam belajar matematika perlu dimaterialisasikan dalam bentuk dan aturan akademik yang diakui oleh banyak ilmuan. Di samping itu, dia pernah dipukuli oleh tentara Inggris hanya karena ia adalah orang yang datang dari negeri jajahan mereka.
Eksotisme, Kekerasan, dan Bias Pandangan
Dalam film ini, kolonialisme bukan sekedar relasi politik dan ekonomi, tapi juga tentang struktur kebudayaan yang menguatkan persepsi apapun yang dihasilkan oleh kolonialisme (Huddart, 2006). Ramanujan dianggap datang dari negara terbelakang. India waktu itu adalah negara jajahan Inggris. Bagaimana bisa ia dianggap perlu untuk didatangkan ke Cambridge, berkolaborasi dengan Hardy dalam bidang pengembangan matematika, dan menjadi anggota Royal Fellow Society yang sangat prestisius itu?
Pandangan Barat, sebagaimana lumrah diketahui dari paparan Edward W. Said, adalah objektifikasi struktural terhadap Timur; mengandung kekuasaan yang mengingat dan cenderung tidak adil dalam memberikan narasi. Meski Barat cenderung menganggap Timur sebagai lahan terbesar eksotisme dari nilai-nilai yang ditampilkannya, tapi ia juga mengandung kemalasan, kelembekan, dan objek yang layak menerima perlakuan keras. Payahnya, Timur mengalami objektifikasi itu sebagaimana mereka percaya pada takdir. Istri dan ibu Ramanujan dalam film ini merupakan contoh paling kaku dari objektifikasi itu. Objektifikasi meniadakan subjektifitas. Runtutannya pun adalah sikap inferior yang mereka tampilkan dan pengakuan mereka terhadap superioritas Barat.
Melihat latar belakang kenegaraan Ramanujan memang penting dalam membaca diskursus dan pergulatan identitas ini, tapi yang tampil dalam film tersebut adalah apa yang dimaksud oleh Homi K. Bhaba dengan “menggeser narasi kebangsaan (narration of nation) menuju trans-nation atau inter-nation.” Afiliasi Ramanujan dengan para ilmuan adalah cara-cara halus untuk meraih perhatian dunia internasional demi menghapus sekat-sekat kabangsaan, sebagaimana dicontohkan Bhaba (1994) dalam DissemiNation mengenai Diana, Ratu Wales. Capaian Ramanujan dalam bidang matematika, seperti temuan unggulnya yang membantu banyak kemajuan bidang ini di Abad 21, menahbiskannya sebagai anggota masyarakat internasional yang banyak berkontrikusi dalam ilmu pengetahuan. Kondisi ini menciptakan otomat baru untuk menaikkan kepercayaan diri Timur, khususnya India, di hadapan Inggris.
Di tangan Ramanujan, eksotisme Timur terbentuk seperti percampuran sempurna antara mistik, kepercayaan, dan nalar. Di tangan Ramanujan pula, matematika adalah alat perlawanan. Untuk itulah, Hardy yang tak percaya Tuhan pun percaya pada pernyataan Ramanujan, “An equation means nothing to me unless it expresses a thought of God.”
Proses perjalanan akademik Ramanujan bukan jalan yang mulus. Ada gap kultural, kebangsaan, ras, agama, formasi pengakuan akademik, dan segala sesuatu yang dianggap oleh Barat sebagai “kemalasan” dan “keberbedaan” Timur. Ramanujan ditolak oleh banyak orang, Hardy ditentang atas keputusannya mengundang orang India ini. Film ini, dalam beberapa hal yang mengesampingkan heroisme temuan dalam matematika, memuat contoh-contoh riil bias pandangan orientalisme. Ramanujan datang ke Cambridge atas nama ilmu pengetahuan, tapi banyak orang menganggap kehadirannya sebagai ancaman terhadap superioritas Barat. Berbagai stereotip pun ditempelkan kepadanya.
Film yang diangkat dari sebuah buku birografi dengan judul yang sama dan ditulis oleh Robert Kanigel ini cukup banyak memuat kisah inspiratif dan nilai-nilai hidup Ramanujan. Perjalanan intelektualnya tertangkap dengan baik dan menyeluruh. Ramanujan ditampilkan sebagai sosok yang relijius, percaya pada nilai-nilai India yang merepresentasikan adab dunia timur, dan mempercayai intuisi sebagai hal-hal yang ada di luar kemampuan dan ekspektasi nalar. Gambaran ini memberi warna yang kontras terhadap kondisi akademik Cambridge waktu itu, dan menjadi tantangan tersendiri bagi Hardy yang ateis sebagai pembimbingnya.
Kekerasan identitas yang dialami Ramanujan berbentuk fisik dan psikis. Beberapa kali ia dianggap sentimental dalam menyampaikan pendapatnya, padahal ia bermaksud menyampaikan apa yang benar dalam temuannya. Temuan-temuan itu, yang bagi Ramanujan sudah cukup bukti dan validitas melalui rumus-rumus, tak membuat Hardy bergeming dari caranya mendidik Ramanujan. Bagi Hardy, apa yang dialami Ramanujan secara otodidak dalam belajar matematika perlu dimaterialisasikan dalam bentuk dan aturan akademik yang diakui oleh banyak ilmuan. Di samping itu, dia pernah dipukuli oleh tentara Inggris hanya karena ia adalah orang yang datang dari negeri jajahan mereka.
Eksotisme, Kekerasan, dan Bias Pandangan
Dalam film ini, kolonialisme bukan sekedar relasi politik dan ekonomi, tapi juga tentang struktur kebudayaan yang menguatkan persepsi apapun yang dihasilkan oleh kolonialisme (Huddart, 2006). Ramanujan dianggap datang dari negara terbelakang. India waktu itu adalah negara jajahan Inggris. Bagaimana bisa ia dianggap perlu untuk didatangkan ke Cambridge, berkolaborasi dengan Hardy dalam bidang pengembangan matematika, dan menjadi anggota Royal Fellow Society yang sangat prestisius itu?
Pandangan Barat, sebagaimana lumrah diketahui dari paparan Edward W. Said, adalah objektifikasi struktural terhadap Timur; mengandung kekuasaan yang mengingat dan cenderung tidak adil dalam memberikan narasi. Meski Barat cenderung menganggap Timur sebagai lahan terbesar eksotisme dari nilai-nilai yang ditampilkannya, tapi ia juga mengandung kemalasan, kelembekan, dan objek yang layak menerima perlakuan keras. Payahnya, Timur mengalami objektifikasi itu sebagaimana mereka percaya pada takdir. Istri dan ibu Ramanujan dalam film ini merupakan contoh paling kaku dari objektifikasi itu. Objektifikasi meniadakan subjektifitas. Runtutannya pun adalah sikap inferior yang mereka tampilkan dan pengakuan mereka terhadap superioritas Barat.
Melihat latar belakang kenegaraan Ramanujan memang penting dalam membaca diskursus dan pergulatan identitas ini, tapi yang tampil dalam film tersebut adalah apa yang dimaksud oleh Homi K. Bhaba dengan “menggeser narasi kebangsaan (narration of nation) menuju trans-nation atau inter-nation.” Afiliasi Ramanujan dengan para ilmuan adalah cara-cara halus untuk meraih perhatian dunia internasional demi menghapus sekat-sekat kabangsaan, sebagaimana dicontohkan Bhaba (1994) dalam DissemiNation mengenai Diana, Ratu Wales. Capaian Ramanujan dalam bidang matematika, seperti temuan unggulnya yang membantu banyak kemajuan bidang ini di Abad 21, menahbiskannya sebagai anggota masyarakat internasional yang banyak berkontrikusi dalam ilmu pengetahuan. Kondisi ini menciptakan otomat baru untuk menaikkan kepercayaan diri Timur, khususnya India, di hadapan Inggris.
Di tangan Ramanujan, eksotisme Timur terbentuk seperti percampuran sempurna antara mistik, kepercayaan, dan nalar. Di tangan Ramanujan pula, matematika adalah alat perlawanan. Untuk itulah, Hardy yang tak percaya Tuhan pun percaya pada pernyataan Ramanujan, “An equation means nothing to me unless it expresses a thought of God.”
Posting Komentar
0 Komentar