Pesantren dan Humanisasi Tafsir

Beberapa tahun terakhir, kita dihadapkan pada persoalan serius yang melanda Negara kita, di antaranya adalah aksi teror yang terus menerus merongrong keamanan dan menciptakan keresahan dalam kehidupan warga negara. Ada yang mensinyalir bahwa aksi teror tersebut didalangi oleh segenap pendukung Orde Baru yang telah lama guling, tentunya dengan dasar alasan bahwa terorisme mucul setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Sedikit dapat dibenarkan, tapi yang aneh, para pelaku teror atau yang kita kenal dengan sebutan teroris tersebut muncul dan lahir dari sebagian organisasi Islam baik yang bercakup nasional maupun transnasional. Itu masih contoh kecil, belum lagi ketimpangan yang terjadi di wilayah politik, sosial, budaya dan ekonomi.

Ada yang salah dengan Islam? Jelas tidak ada. Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana mereka memahami Islam. Karena Islam itu mempunyai buku (baca Kitab Suci) pedoman untuk dipahami dan dijadikan penuntun, yaitu al-Qurana. Maka bagaimana pula mereka mengambil suatu pemahaman yang tersurat ataupun yang tersirat di dalam al-Quran? Anggapan bahwa hasil interpretasi ulama terdahulu adalah penafsiran yang paten dan fixed menyebabkan al-Quran jauh dari perannya sebagai kitab suci suatu agama yang rahmatan lil alamin. Akibat dari anggapan inilah al-Quran belum bisa diturunkan dari ranah teosentris ke ranah antroposentrisnya sebagai penerang bagi umat. Lebih parahnya, al-Quran dijadikan alat untuk melegitimasi berbagai aksi terorisme dan tindakan kekerasan lainnya. Suatu hal yang sungguh keterlaluan, ini merupakan sebentuk tindakan aborsi terhadap kandungan kitab suci al-Quran.

Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya, Rethinking The Qur’an; Towards a Humanistic Hermeneutics, mengatakan bahwa sejatinya kita harus menafsir ulang al-Quran yang sesuai dengan konteks zaman sekarang, dengan tujuan dapat mengambil pemahaman yang utuh dan segar dari apa yang diajarkan Tuhan dalam al-Quran, bukan menafikan peran para ulama salaf yang telah lebih dahulu menafsirkan dan mempresentasikan hasil penafsiran mereka, tapi bagaimana hasil penafsiran tersebut bisa lebih sempurna untuk dipraktekkan sebelum dibentuk menjadi tindakan praksis. Penafsiran tersebut harus diubah dari ‘sekedar’ teks menjadi diskursus (wacana) yang kontekstual dengan keadaan sekarang. Ada empat metode yang dirumuskan Nasr Hamid Abu Zayd dalam memahami al-Quran, yaitu semantik, sanatik, kritik sejarah dan hermeneutik. Hal ini tak lepas dari misinya untuk memperkenalkan al-Quran sebagai fenomena yang hidup (a living phenomenon), bukan lagi kumpulan teks kosong yang enggan berbicara.


Seperti yang telah kita ketahui bahwa al-Quran yang diturunkan bila harfin wala shautin, telah ber(di)ubah menjadi teks untuk mempermudah dalam memahami dan menjaga keaslian al-Quran pada masa Khalifah Usman bin Affan yang mulai saat itu al-Quran terkesan semakin lama semakin menyempit untuk dipahami dan bukan lagi sebagai teks yang terbuka. Padahal menurut Imam Ali bin Abi Thalib, mushaf al-Quran itu tidak dapat berbicara, melainkan manusia yang membicarakannya. Lebih jauh dari sekadar membicarakan, manusia mendiskusikan, memperdebatkan, saling menambah pendapat yang dirasa kurang, menerima atau bahkan menolak pendapat lain. Tentunya dengan dialog yang tak memihak dan jauh dari kepentingan pribadi.

Sebagai a living phenomenon yang telah bebas dari reduksi hanya pada teks, maka saatnya al-Quran didekatkan dan dimasukkan pada dimensi horizontalnya setelah melalui dimensi vertical, dari Tuhan ke Muhammad via Jibril kemudian bermetamorfosis dari bila harfin wala shautin menjadi mushaf yang diperbincangkan. Maka lihatlah pada saat itu al-Quran lebih humanistik dan komunikatif. Karena sejatinya, dimensi tersebut merupakan bagian yang terstruktur di dalam al-Quran, bukan di luarnya. Tidak boleh hanya bermaksud meneruskan proses reinterpretasi ini, lebih jauh proses ini diharapkan berpindah pada metode berpikir yang konstruktif dalam diri umat Islam di manapun mereka berada, senantiasa mengajak mempondasikan arti hidup di dunia dengan pengembangan dimensi etika dan spiritual dalam tradisi mereka tanpa kehilangan power spiritualitasnya.

Penanggulangan atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi sangat mungkin bisa dilakukan, baik di sektor sosial, budaya, politik dan ekonomi. Manusia dapat melihat manusia lain juga sebagai manusia yang berhak mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan perlindungan hidup. Rahmatan lil alamin yang menjadi slogan Islam pun akan menjadi ruh yang hidup. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap intens dan sebagai miniatur kehidupan bermasyarakat, pesantren diharapkan benar-benar mampu mengatur dan memimpin tuntutan zaman.


Dimuat di Radar Madura (Jawa Pos Group) tanggal 08 Maret 2010 

Posting Komentar

0 Komentar