Surat Cinta buat Kekerasan

Aku baru mengenalmu, kau datang sebelum kutahu bahwa kau ada. Aku tak bermaksud mencintaimu tapi aku jatuh terlalu dalam di kenyataan adamu. Benar, aku dilahirkan untukmu dan aku lahir karenamu. Kuucap salam. Kau menjawab dengan, ”Wa’alaykum salam.” Aku terkejut. Bukankah kau tak beragama. Mengapa kau jawab dengan khas muslim? Aku tidak peduli, mungkin kau mendasarkan pada lingkungan di mana aku terlahir, dilahirkan olehmu.

Telah terlalu banyak hukum moral. Mengekang dan memenjarakan. Produk kebohongan manusia. Sok lembut tapi mencintai kekerasan. Manusia berselingkuh dengan ucapakan tentang kebaikan. Aku tidak paham, aku mendatangimu. Berusaha mengenalmu, melebur bersamamu, dan jujur bahwa tanpa adamu aku juga tidak akan pernah ada.

Sejarah manusia adalah sejarah tentangmu, Kekerasan. Bagaimana aku mengelak? Ruang sosial menempatkanku di lubang paling hitam kehidupan ini. Kau datang mengangkat dan memindahkanku di tempat terhormat, tempat segala cinta Kekerasan bersemayam.

Kau ingat, di kelas itu aku duduk di samping kananmu. Mungkin kau sudah pernah melihatku di kelas semester sebelumnya. Tapi aku baru sadar bahwa cinta ini baru bersemi di semester ini. Di saat aku sadar bahwa kelembutan bukan milik kehidupan sejati. Moral bukan selalu identik dengan kelembutan. Sebab kelembutan, lagi pula telah menduakan jalan hidup sejati. Manusia mendengar dan tunduk pada moralitas sebatas untuk menjalani galaunya ke-cemen-an.

Sejarah hidupku, negeri ini, bangsa besar ini, dan negeri-negeri seberang sana, adalah sejarah kekerasan. Turun temurun, menjadi watak, warna lingkungan, dan habitus. Bila aku menghindari cintamu, seumur-umur aku munafik pada kelahiranku yang penuh cinta kekerasan.

Aku ingin hidup bersamamu. Sepanjang hembusan nafasku yang berulang-ulang tak henti kecuali dengan kematian. Sesetia langit hujan pada awan. Seperti persandingan indahnya mawar dengan tajamnya duri di dahan. Indah, bukan?

Posting Komentar

0 Komentar