Surat Cinta buat Kekerasan (2)


Aku ingin meringkas hari libur, atau mengumpulkan semuanya ke dalam satu paket, hingga dapat kulalui hari libur itu setelah aku mati. Sebab aku tidak menginginkan hari libur, agar aku bisa berjumpa denganmu di kelas perkulihanku yang menjemukan. Ingat, Cinta, dimana keseharian adalah kebersamaan yang tak terkata. Padamu, kasih sayang meruang di kelas enam kali enam meter di gedung berwarna orange itu.

Malam pun hanya akan menjadi waktu yang menyiksa. Pembacaanku pada buku, tak lain adalah pelarianku dari segalanya, menuju dirimu, wahai Cintaku Kekerasan!

Semua orang berlalu, aspal hitam menjadi karpet merah di kala aku jalan kaki dari tempatku tinggal menuju kampus. Tempat kita berkumpul. Tempat dimana aku bisa melihatmu dari dekat dan mengatakan pada dunia bahwa hanya kelembutan dan morallah yang bakat mendua. Cinta kekerasan tidak.

Kekerasan, kau adalah cintaku yang paling mulia. Tuhan menamaimu sesuai dengan kebijaksanaanmu menghadapi hidup. Tak menjungkirbalikkan fakta, dan tidak menerima hidup begitu saja.

Adakah kau merasa, hai Kekerasan. Ketika aku malu berjumpa denganmu di lantai dua, aku melarikan raga ini ke lantai tiga. Namun ternyata jiwaku yang mencintaimu, mengharap hadirmu setia waktu, masih tertinggal di tempat kita berjumpa. Layaknya jejak sepatu di keramik cokelat bersih itu. Andai ada jendela besar yang bisa mengeluarkan jiwa ini, aku akan membuangnya dari lantai tiga, seperti sampah bungkusan jajan mahasiswa. Karena jiwaku ini, yang membuatku selalu ingin merayu. Padahal rayuan adalah pembohongan yang tak sengaja terbiasakan.

Besok, aku akan kirim lagi surat cinta untukmu, Kekerasan. Jangan risih dengan keterusterangan yang kuungkapkan.

Posting Komentar

0 Komentar