Mengamati Kondisi Global dan Kemiskinan Bersama Fritjof Capra

"Kuli itu lokal, modal itu global." (Fritjof Capra)
Menjadi pertanyaan umum bahwa apa yang menyebabkan kemiskinan. Ada pula yang menyebut sebenarnya bukan kemiskinan tapi pemiskinan. Apa sebenarnya yang orang lihat dari perbedaan kata antara kemiskinan dan pemiskinan? Padahal kata ini mempunya kata dasar yang sama yaitu miskin? Kemiskinan terkait dengan ketiada-sengaja-an pada kondisi yang orang katakan itu kondisi miskin. Sedangkan pemiskinan dilihat sebagai cara struktural yang menyebabkan kemiskinan itu. Sederhananya seperti itu. Lalu setelah mampu melihat adanya praktik-praktik struktural yang menyebabkan kemiskinan, apa yang mampu kita lakukan? Pepatah mengatakan, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.

Coba kita rentang lebih luas apa yang menjadi persoalan utama masyarakat. Bukan sekedar dalam lingkup kebangsaan yang hanya akan membicarakan Indonesia, tapi lebih luas lagi, meski kita punya sedikit referensi, informasi, dan kabar berita tentang luar negeri yang sulit kita akses. Beberapa bulan yang lalu kita pasti pernah mendengar tentang bajak laut Somalia, tentang kemiskinan di beberapa negara di Afrika, dan masih banyak lagi. Kondisi itu pula yang terjadi di pedalaman Indonesia. Apakah masyarakat dunia mengalami hal yang sama? Tentang pemiskinan struktural? Tentu. Karena asumsi pertama kita adalah kesenjangan yang begitu nampak sangat terlihat. Negara atau kota tertentu masyarakatnya makmur, tapi di sisi lain, di beberapa lokasi lain tidak seperti itu.

Apa persoalannya? Apakah ada keterhubungan antara penjual soto di terminal, orang yang lalu lalang membawa koper besar, mahasiswa yang hendak kembali untuk belajar di rantau, dan pengamen jalanan yang tidak henti mengetuk alat musik sederhanya untuk menghibur pendatang? Ada. Urat nadi kita digerakkan oleh beberapa organ yang saling terhubung, dan semua anggota tubuh kita saling berpengaruh, begitu pula dengan kondisi kehidupan di dalam masyarakat. Fritjof Capra (2009. p. 83) membuktikan itu dengan apa yang ia sebut Teori Kompleksitas. Dalam amatannya tentang kondisi global, ia menelisik asal usul persoalan yang dialami manusia modern bermula dari metabolisme tubuh hingga hubungan dalam kehidupan sosial (Capra, 2009, p. 87). Yang sangat menarik dalam amatan dan analisis Capra adalah dia tidak melupakan analisis komprehensif tentang agen dan struktur, meski ia sendiri merupakan seorang ilmuan fisika.

Jika meminjam Teori Kompleksitas-nya Capra untuk menganalisis pemiskinan struktural, kita akan melihat demikian: Materi berupa Kemiskinan global; Bentuk berupa jaringan global perekonomian dunia; Proses berupa komunikasi antar elemen yang berkepentingan dalam ekonomi global yang tertutup dan tidak mudah diakses oleh orang tanpa modal; dan Makna yang dihasilkan oleh Proses dan Bentuk yang berupa pemahaman bahwa jaringan perekonomian global telah menciptakan kesenjangan di beberap sisi di dunia ini. apa yang kita lihar dalam Teori Kompleksitas sebenarnya tidak sesederhana ini, karena jaringan yang tercipta berupa Bentuk perekonomian global ini telah menyebar dan sulit diidentifikasi wujudnya berupa apa saja. Namun kita harap mengetahui, bahwa ada keterhubungan yang sulit dijelaskan dan sebenarnya sangat tampak, ada hubungan antara petani yang bekerja di sawah seharian dengan manajer perusahaan terkenal yang mengatur distribusi dan produksi pangan dunia. Kita juga akan melihat bagaimana sebenarnya keterhubungan yang ter-hidden antara akademisi dengan konflik etnis dan agama.

Kekuatan global tidak hanya mengawang dalam pikiran setiap orang. Ada yang menyadari bahwa sebenarnya demikian inilah yang terjadi, relasi ekonomi makro mempengaruhi yang mikro, industri besar mempengaruhi industri rumahan. Produksi rengginang di Desa Prenduan, desa saya, dipengaruhi oleh kecepatan produksi beras ketan yang dikerjakan petani, produksi sarden perusahaan multinasional terbantu berkat kerja keras nelayan lokal yang sehari semalam kerja di laut. Namun apa yang kita lihat, jam kerja yang banyak tidak menjamin kesejahteraan yang berkecukupan pula. Inilah yang kita maksud dengan kesenjangan. Belum lagi jika memikirkan negara secara struktural yang dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan politis, pekerja dan masyarakat bawah tidak mau disibukkan dengan kabar miring tentang menteri olahraga yang korupsi proyek pembangunan, dan lainnya. Tutupnya beberapa toko kelontong di Prenduan adalah akibat dari kalah bersaing dengan penguasaan Indomart dan Alfamart.

Kita mungkin akan terkaget-kaget kenapa perusahaan atau koorporasi asing secara tidak langsung punya pengaruh signifikan dalam pembentukan kondisi ekonomi di berbagai negara termasuk negara kita sendiri. Menurut saya, ada relasi kuasa yang salit bertaut antarmodal dan pemodal. Ketika mata uang seluruh dunia mengacu pada Dolar, maka di sanalah AS memegang peranan penting dalam mengendalikan ekonomi dunia. Naiknya nilai tukar Dolar dengan Rupiah saja dalam satu jam bisa memporak-porandakan ekonomi Indonesia, contoh lainnya bisa kita lihat ketika AS mengalami krisis ekonomi, negara-negara lainnya yang sering berhubungan ekonomi politik dengan AS pun terkena imbasnya, dari ekonomi makro hingga mikro, sektor ekspor-impor menjadi sasaran utama ketika ekonomi dunia sedang bergejolak. Lalu di AS krisis moneter, kenapa di pinggiran Somalia anak kecil semakin tidak menemukan sesuap roti pun untuk dijadikan sarapan, dan bapak-bapak mereka memegang senjata menjadi bajak laut di tengah samudera. Inilah sistem dunia di mana kesenjangan akibat keterkaitan global dan tidak adanya pilihan sendiri untuk mengatur perekonomian suatu negara secara berdaulat. Dalam kondisi ekonomi politik global, modal ekonomi negara secara umum menjadi penentu arah kebijakan ekonomi sebuah negara.

Kemudian kita patut berkaca pada setia zaman di Indonesia, apa yang dimaksud dengan kemiskinan? Barangkali tidak perlu lagi mendefinisikan kemiskinan jika kita tahu ada pemiskinan struktural. Tidak perlu definisi bilamana permasalahannya terlihat jelas. Sektor mana di Indonesia ini yang menjadi pemiskinan struktural? Jika mengacu pada Capra, maka persoalannya ada pada Bentuk proses hubungan antarjaringan modal yang ada di dunia. Dunia global tidak mengandaikan negara dalam persoalan ekonomi makro, negara hanya dijadikan alat legislasi untuk berdagang, tidak dijadikan simbol kedaulatan. Pada akhirnya, kita hanya bisa melihat Indonesia sebagai garis teritorial di perbatasan, barangkali komoditas blackmarket malah lebih baik untuk memajukan ekonomi nasional. Bukan saya mengesahkan kriminalitas, namun pihak yang berwajib bertindak kriminal ketika membiarkan banyak transaksi yang tidak wajar antara asing dengan pihak dalam negeri. Jika dibiarkan dan jaringan global itu tidak diputus kecurangannya, tidak mungkin tidak generasi penerus bangsa ini kita lihat di jalanan dengan wajah suram mewakili Indonesia di tingkat internasional.

Posting Komentar

0 Komentar