Artikel
Seksualitas dan Dominasi Maskulin
Dalam
bukunya, Dominasi Maskulin, Pierre Bourdieu menunjukkan bagaimana gender
di-seks-kan (It legitimates a relationship of domination by embedding it in
a biological nature that is itself a naturalized social construction
[Bourdieu, tp, p. 23]). Sesuatu yang sifatnya terbentuk karena konstruksi
sosial telah dianggap takdir begitu saja oleh orang. Dalam narasinya yang
dikutip dari Yacine-Titouh pada halaman 18-19, Bourdieu hendak menggambarkan
bagaimana dominasi maskulin terbentuk bermula dari interaksi antar dua orang.
Hingga hal itu terbentuk secara sosial menjadi pemahaman umum bahwa lelaki
superior dan perempuan superior. Ortodoxa tentang ini akhirnya menelusup ke
semua dimensi sosial, termasuk pembagian kerja, status sosial, disiplin tubuh,
dan ritual-ritual keagamaan. Foucault memperjelas bagaimana pendisiplinan
tubuh, berbasis gender atau tidak, dilanggengkan oleh tiga lembaga sosial,
yaitu keluarga, gereja (lembaga keagamaan), dan sekolah.
Kembali
pada Pierre Bourdieu, dominasi maskulin ditunjang secara kuat oleh virilitas
(kejantanan) yang selalu ditunjukkan lelaki dalam field untuk tetap menguasai
dan dominasinya tidak diambil alih oleh perempuan. Penglihatan terhadap yang
lain kadang memang menimbulkan ketakutan pada diri, ancaman psikis yang
berkaitan dengan identitas. Makanya dalam kondisi umum, lelaki tidak ingin
keperempuanan-keperempuanan. Sebagaimana di Madura ada sebutan ora’ bini’ untuk
lelaki yang tidak jantan dan tidak kuat bekerja. Kasus ini adalah kebalikan
dari gender yang di-seks-kan, kasus ini adalah seks yang
di-gender-kan. Dominasi maskulin ternyata tidak hanya menyiksa keberadaan
perempuan, tapi juga lelaki, karena banyak sekali lelaki yang terpaksa harus
menunjukkan virilitasnya untuk bisa eksis di ruang sosialnya. Mereka hendak
mendulang modal simbolik untuk tetap bisa bertarung dalam arena sosial.
Jadi,
kekerasan simbolik yang terjadi di ruang sosial yang terdominasi oleh
maskulinitas sendiri telah menyiksa perempuan dan lelaki sekaligus. Eksploitasi
besar-besaran dalam dominasi maskulin menunjukkan bahwa dominasi maskulin bukan
serta merta diterima oleh semua lelaki, ada kecenderungan juga ditolak oleh
lelaki karena sifatnya terlalu memaksa. Di sini terlihat gagasan Bourdieu
tentang Structuring structure dan structured structure. Kita
dapat melihat pula bagaimana dahulu perempuan menjadi bulan-bulanan terutama di
bidang ekonomi. Mereka ditempatkan di ruang yang tidak bisa menghasilkan banyak
uang. Di Madura dulu, perempuan yang bekerja dianggap tidak memenuhi kewajiban
keluarganya untuk merawat rumah tangga dan anak-anaknya. Ini adalah salah satu
cara bagaimana dominasi maskulin telah memotong eksistensi perempuan dengan
sadis untuk masuk dan aktif di ruang publik. Hal semacam ini seakan menjadi
konsepsi mayoritas yang tidak bisa diganggu gugat.
Padahal
apapun yang diproduksi oleh kehidupan sosial bisa saja direproduksi atau bahkan
dihentikan produktifitasnya. Dengan kata lain, konstruksi sosial semisal gender
bisa didekonstruksi untuk mencapai kesetimbangan kehidupan sosial dan tidak ada
lagi dominasi maskulin atas feminim. Bila ini bisa diatasi dengan kesadaran
mayoritas yang telah mengamini itu, maka realitas sosial akan berubah sesuai
perjuangan demi keadilan. Tidak akan ada lagi superioritas lelaki dan
inferioritas perempuan. Perempuan akan mencapai kemanusiaannya dengan tidak
selalu disubordinasi ke tingkat yang tidak manusiawi.
Dalam
pandangan Foucault, seksualitas adalah nama yang dapat diberikan pada suatu
sistem historis: bukan realitas bawahan yang sulit ditangkap, melainkan
jaringan luas di permukaan tempat rangsangan badaniah., intensifikasi
kenikmatan, dorongan terbentuknya wacana, pembentukan pengetahuan, pengokohan
pengawasan dan tantangan, saling berkait sesuai dengan strategi besar
pengetahuan dan kekuasaan. Foucault melihat setiap sesuatu mengandung kuasa dan
pengetahuan yang bermula dari rasa ingin tahu. Kelamin hanyalah konstruksi
biologis yang dipersepsi secara sosial sebagai indikator pembedaan tentang Kau
yang Lelaki dan Kau yang Perempuan.
Kondisi
biologis bukanlah titik awal untuk menentukan identitas seseorang. Ketika
dilegitimasi dengan konstruksi sosial, maka ia akan menjadi kuasa atas yang
lain melalui pengetahuan yang dominan. Pendisiplinan semacam ini adalah bentuk
yang paling awal dari pendisiplinan yang lain. Karena manusia mudah sekali
diidentikkan dengan identitas tertentu melalui klasifikasi biologis yang diakui
secara sosial.
Untuk
mengatasi dominasi maskulin yang bersikap keras simbolis ini, Bourdieu berharap
pada cinta untuk mengatasi kesenjangan gender antara lelaki dan perempuan.
Karena dalam cinta dominasi maskulin luruh dalam relasi lelaki dan perempuan. Tapi
juga harus berhati-hati, karena cinta kadang kala menjadi pisau bermata dua:
meluruhkan dominasi maskulin dan menegaskan relasi dominan seorang lelaki. Apa
sebabnya? Perempuan masih dianggap sebagai objek, sebagaimana kala seorang
lelaki menyuruh perempuannya terlentang dan ia mendominasi di atasnya dengan
kenikmatan. Efeknya, banyak lelaki hanya mementingkan diri sendiri untuk
mencapai orgasme ketika berhubungan seks.
Posting Komentar
0 Komentar