Buku
The Devil Wears Prada, Fashion, dan Mode
Menonton film itu, barangkali akan lebih menarik jika
diandaikan dengan membaca buku. Kita membaca tanda-tanda yang bersebaran dalam
setiap scene dan setting yang ditampilkan. Lalu menghimpunnya dalam sebuah
kesatuan yang menurut beberapa orang sebenarnya tidak berkaitan. Film
menampilkan juga apa yang tidak ada dalam tampilan. Inilah yang harus kita gali
sebagai pembaca film.
The Devil Wears Prada adalah film yang menarik bagi
penikmat fahsion dan media massa yang menyebarkan mode atau ukuran fashion itu.
Film ini diangkat dari novel Lauren Weisberger dengan judul yang sama. Setting,
plot, dan semua yang ditampilkan di film sama persis dengan yang digambarkan di
buku.
Coba kita asumsikan, bahwa selera kita tentang sepotong
pakaian adalah kehendak seseorang yang ingin agar dagangan pakaiannya laku. Ini
benar-benar terjadi. Desainer baik yang terkenal atau pun tidak telah melihat
lebih jauh laba dari karya yang diperolehnya. Ia lebih mengetahui selera
konsumennya daripada konsumen itu sendiri. Meski sebagai konsumen, kita memilih
sendiri yang kita suka, tapi sebenarnya kita dipilihkan oleh produsen dan
desainer tertentu.
Kapitalisme bermain di ranah ini. ranah yang kabur
antara selera, keinginan, dan kebutuhan. Tidak pernah ada selera yang purna,
kepunahan selera adalah keberlanjutan kapitalisme itu sendiri. Lalu Andrea
Sach, atau lebih akrab dipanggil Andy, yang diperankan oleh Anne Hathaway,
datang melamar untuk menjadi asisten Miranda Priestly di sebuah majalah fashion
terkenal, Runway. Andy yang tidak tahu sama sekali soal fashion, dan memang
tidak terlalu perhatian pada apa yang ia pakai, merasa sangat kesulitan ketika
harus mengikuti tren dan disiplin di redaksi majalah Runway. Apapun yang ia
lakukan rasanya serba salah. Meski pada akhirnya ia diterima menjadi asisten
yang katanya diperebutkan oleh jutaan gadis yang bergelut di bidang jurnalisme,
tapi Andy merupakan korban mode masa kini. Masa di mana ia hidup sebagai orang
yang tak tepat di tempat dan zamannya.
Andy yang lulusan fakultas hukum Universitas
Northwestern datang ke New York untuk menjadi jurnalis terkenal. Ia berani
mengorbankan beberapa peluang kerja di beberapa tempat hanya untuk merantau ke
NY dan menjadi jurnalis di kota tersebut. Runway, baginya tidak pernah ada dalam
benaknya. Ia hanya tahu kalau Runway butuh seorang jurnalis yang bisa bekerja
keras. Nyatanya tidak, selain bekerja keras dan pandai menulis, Runway juga
butuh perempuan yang mampu menata diri dari segi penampilan, mampu merias
sebaik mungkin layaknya seorang model. Konflik identitas inilah yang mungkin
membuat Andy pada awalnya tidak betah menjadi punggawa Runway.
Kritik Bisnis Majalah Fashion dan Persebaran Mode
Mari kita mulai dengan perkataan Miranda. Perkataan ini
muncul ketika Andy secara tidak sengaja tertawa dengan tindakan Miranda memilih
baju dan sampai pada dua ikat pinggangg yang berwarna sama. Hanya pengaitnya
yang beda bentuk. Merasa tersinggung dengan tawa kecil Andy, Miranda memulai
mempidatoi Andy, “Lucu sekali ketika kau kira tak ada hubungannya dengan
industri fashion padahal kau memakai baju yang dipilihmu oleh orang-orang di
ruangan ini dari tumpukan barang.” Di sinilah poin penting dimana memang tak
ada hak bagi konsumen untuk memilih sendiri apa yang mereka inginkan. Baju,
celana, topi, jaket, ikat pinggang, bahkan celana dalam yang kita pakai adalah
pilihan produsen yang berkepentingan pada laba. Majalah fashion merupakan
pemicu untuk memamerkan produk terbaru dan menjaga modenya agar tetap laku di
pasaran.
Pernahkah kita memperhatikan tiap kapan mode pakaian itu
berganti? Tiap desainer menemukan bentuk baru dari karyanya? Mungkin! Tiap
produsen ingin agar konsumen berganti selera? Mungkin! Tiap majalah fashion
menemukan kejenuhan konsumen? Mungkin! Dan akan banyak lagi jawaban pasti
mungkin dari pertanyaan yang beragam.
Andy adalah perwujudan dari kebimbangan dan kebingunan
estetik dimana ia pada akhirnya harus mengikuti pola pikir perempuan modern,
mengenakan pakaian yang massa mode inginkan, dan meninggalkan kebiasaan lamanya
dengan prinsip “yang penting rapi”. Lalu tak ada lagi hal yang prinsipil ketika
mode mengatur selera kita. Andy contohnya. Sampai-sampai ia nyaris putus dengan
Nate, lelaki yang mencintai dan dicintainya. Teman-temannya pun melihat Andy
telah berubah. Bukan Andy yang dulu yang mereka kenal.
Waktu berjalan begitu cepat, ia ditunjuk Miranda untuk
menemaninya ke pameran fashion di Paris. Dimana Runway, tempat Andy bekerja,
menjadi majalah fashion yang menyelenggarakan acara pameran itu. Berbagai
konflik terjadi, terutama soal kepemilikan Runway dari tangan Miranda Priestly.
Bisnis pers telah menjadikan mode sebagai salah satu indikator penting dimana
fashion tetap dilihat oleh banyak orang. Runway menjadi barometer dimana orang
tampil gaya dan mengikuti zaman. Konsumerisme mencapai puncaknya bilamana iklan
di majalah mengambil peran penyebarannya.
Pembaca tidak sekedar membaca, tapi menuranikan tawaran
iklan itu di bawah sadar mereka. Bagai kerbau yang dicunguk hidungnya, pembaca
akan secara otomatis mengikuti sabda-sabda majalah fashion. Jangan heran
bilamana banyak majalah fashion di sebuah salon kecantikan. Tidak hanya soal
penampilan baju yang mereka tentukan, tapi juga kecantikan seseorang. Pernahkah
kita berpikir bahwa kita akan merasa sakit hati ketika dianggap tidak termasuk
golongan orang cantik atau tampan? Di sinilah problem utamanya. Ukuran
kecantikan itu sebenarnya tidak ada. Sangat naif sekali bila banyak orang
melakukan operasi wajah, hidung, bibir, atau bahkan operasi alis hanya karena
ingin dikata cantik atau tampan.
Andy tidak menginginkan itu semua ketika ia sadar bahwa
ia yang otentik tidak ia dapatkan ketika menjadi bagian Runway. Ia adalah ia
yang nyata ketika ia mampu berinisiatif sendiri, menjadi diri yang eksistensial
tanpa kungkungan otoritarianisme media massa terutama majalah fashion.
Kesadaran selalu berpacu dengan ketidaksadaran, ketika seseorang berusaha
menyadari posisi dirinya yang ternyata berada di bawah kuasa modal produsen, ia
harus membikin kerajaan baru yang ia perintah sendiri. Andy keluar, menjadi
subjek bagi dirinya sendiri, dan ia menjadi Andy yang dulu yang mencintai Nate
dan kembali pada persahabatannya sebagaimana teman-temannya kenal dulu.
Posting Komentar
0 Komentar