Buku
Masa Depan Humanisme
Judul:
Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia
Penulis: F. Budi Hardiman
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: xi + 90 hlm.
Belakangan ini semakin banyak
radikalisme dan eksklusifisme berbasis agama, bahkan muncul gerakan-gerakan
yang menghalalkan pembunuhan atas nama Allah. Manusia dan kemanusiaan telah
tersisih dari dunianya, terganti kebertuhanan dengan pemahaman yang sempit.
Meski ada banyak tinjauan bahwa terorisme, anarkisme, dan antihumanisme adalah
salah satu bentuk dari perlawanan terhadap dominasi barat pada daerah tertentu,
tapi alasan apa yang sekiranya membuat teror sah-sah saja dilakukan? Apakah
agama selalu bersinggungan dengan humanisme? Jika dalam pertarungan ini agama
unggul karena keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat, apakah humanisme akan
mati?
Dahulu kala, ketika manusia
lahir tidak ada bantahan bahwa ia adalah bagian dari diri dan ruang sosial
tempatnya hidup. Karena melihat orang lain yang sepenuhnya sama dengannya, maka
ia mulai berpikir tentang kemanusiaan. Dalam tinjauan agama, ajaran tentang
kemanusiaan atau humanisme ada sejak kitab suci diturunkan. Allah tidak pernah
mereduksi makna manusia dalam ketuhananNya. Namun tafsiran terhadap teks kitab
suci itulah yang kemudian menjadi rancu, karena mendasarkan pada kuasa
pengetahuan si penafsir. Ketika menyebut kata ‘kafir’, penafsir seakan tidak
memposisikan si kafir dalam frame kemanusiaan universal, si kafir dianggap
hewan (hal. ), Yang Lain dari manusia. Padahal nyatanya, kafir atau pun tidak,
semua manusia adalah manusia. Yang tidak memanusiakan manusia lah yang bukan
manusia.
Humanisme menjadi pandangan
yang hangat tatkala orang sadar akan perselingkuhan najis antara agama dan
negara, di Eropa pada abad 18 dulu. Kemanusiaan dikebiri atas nama Allah,
terlalu banyak ketakutan-ketakutan perkara di dalam kubur, tapi terlalu sedikit
perhatian dan pengahargaan atas kehidupan yang nyata ini (hal. 8). Eksploitasi
terjadi di mana-mana dan semua itu dianggap takdir semesta. Lalu atas kejadian
ini, humanisme lahir atas dasar ingin memposisikan manusia di dalam kodrat
kemanusiaannya. Bukan dari sudut pandang agama yang waktu itu penuh dengan
intrik kuasa. Oleh humanisme, manusia dimengerti dari kemampuan-kemampuan
alamiahnya, seperti minat intelektual, pembentukan karakter, dan apresiasi
estetisnya (hal. 9). Dalam hal ini manusia diposisikan sebagai subjek. Mencuat
dalam ide Descartes, “Je pense donc je suis.” Aku berpikir maka aku ada. Ciri
ini lalu disebut antroposentrisme, untuk menegaskan sikap kritisnya terhadap
teosentrisme Abad Pertengahan (hal. 10).
Yang menarik dari ide
Descartes adalah ketika meletakkan manusia dan rasionya sebagai pusat segala
sesuatu. Semisal Isaac Newton (1643-1727) dengan fisikanya memberi kita suatu
keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis. Secara tidak langsung
keduanya memberi gambaran tentang ketersisihan agama yang cenderung reduksionis
pada manusia. Dalam rangka meradikalkan posisi manusia itu, Nietzsche datang
dengan seperangkat nalar sebagai alat untuk membunuh Tuhan. Karena Tuhan ada,
maka Ia harus dibunuh. Kalau Tuhan tidak ada, maka Ia tidak perlu dibunuh.
Menurut nalar humanisme ateis, meniadakan eksistensi Tuhan adalah satu-satunya cara
untuk merebut peranan Tuhan yang bagi ateisme telah memenggal kemanusiaan.
Proyek pemikiran Nietzsche
dilanjutkan oleh Sartre. Bagi pembuang esensialisme ini, eksistensi manusia
adalah segalanya. Eksistensi mendahului esensi, kata Sartre (hal. 23). Kelanjutan
dari humanisme ini berujung pada posisi moral dalam rasionalitas yang sepi dari
pengaruh agama dan kebudayaan, itulah moral humanis yang murni. Yang jelas
ide-ide semacam ini tak lain sebagai ungkapan dari orang-orang yang kecewa pada
keimanan.
Namun dalam perkembangannya
yang sangat cepat dalam pencarian bentuk final pembelaan terhadap manusia,
humanisme pernah mengalami kegagalannya sebagai pembebas manusia. karena
ternyata di Eropa pada akhir abad 17, humanisme dijadikan legitimasi mutlak kolonialisme.
Eropa menilai non-Eropa tidak manusiawi sehingga patut dimanusiakan. Apa yang
mereka temui ternyata penjajahan. Sebab, humanisme yang dianggap bebas dari
kepentingan nyatanya telah membawa kepentingan ekonomi politik yang naif. Sama
halnya dengan nasionalisme ala Eropa yang lebih mirip kolonialisme daripada
pengahargaan terhadap kebernegaraan. Atau kemanusiaan yang dipenuhi teror dan
struktur ketakutan yang dijalankan. Inilah yang dimaksud oleh Budi Hardiman
dengan Kemanusiaan tanpa Manusia di Bab 3 buku ini.
Budi Hardiman mengakhiri
buku ini dengan penjelasan tentang humanisme lentur, dimana gagasannya hendak
melampaui ide humanisme sekular yang cenderung menafikan agama. Menurutnya,
dengan meminjam Derrida, agama dan nalar saling mengkontaminasi untuk membangun
kemanusiaan utuh demi perbaikan kehidupan. Budi Hardiman mengakhiri bukunya
dengan bait puisi, “Kepercayaan mencari pengetahuan, dan pengetahuan
mengokohkan kepercayaan.”
Posting Komentar
0 Komentar