Siraman Munarman, Barthes, dan Mitos
Judul ini bukanlah nama
seseorang yang tadi pagi (tulisan ini ditulis pada siang hari tanggal 28 Juni
2013) menyiram Sosiolog UI, Pak Tamrin, dalam acara di TVOne. Si penyiram
adalah Munarman, bukan Siraman Munarman. Meski kedengaran paduan kata ini unik
karena sama-sama berakhiran Man, tapi dua-duanya tidak berarti “manusia”,
karena ternyata tindakan Munarman tidak manusiawi. Lewati saja Munarman, mari
kita bahas siram menyiram.
Barangkali petani sangat akrab dengan kata Siram, seperti menyiram tembakau, bunga, dsb. Dulu seringkali kita mendengar kalimat “siraman rohani”, semacam tuangan kata-kata yang dapat menyejukkan hati agar tetap semangat menuju jalan spiritual. Pagi ini, ternyata siram menyiram begitu sangat identik dengan tindakan asosial di sebuah stasiun televisi berskala nasional. Rakyat pun menghujat, dari Twitter hingga Facebook. Barangkali hanya rakyat di Friendster yang telat mendengar kabar, dan petani yang rajin menyiram tembakau di Madura tidak sama sekali tahu bahwa yang mereka lakukan tiap pagi telah dipraktekkan Munarman di layar televisi, siram menyiram. Karena petani di pagi hari pasti sibuk bekerja dan tidak sempat menonton TVOne yang jarang memberitakan Lapindo.
Hujatan di Facebook dan Twitter serta media sosial lain beragam bentuknya, ada yang guyon dan ada yang serius hingga menggunakan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penganiayaan untuk membuktikan bahwa tindakan Munarman salah. Ada yang sangat respek sekali dan bahkan mendukung Munarman. Ada yang sampai-sampai hendak merencanakan diadakannya Hari Siraman Nasional. Ya, gara-gara pagi ini. Luar biasanya peran media dalam persebaran informasi ternyata berdampat penting bagi pemahaman masyarakat. Berita saat ini bukanlah hal yang patut dicurigai lagi bahwa isi berita menyimpan ide dan kepentingan tertentu. Lumrahnya, simak dan baca berita itu lalu tinggalkan saja.
Sekali lagi, soal siram menyiram, Pak Tamrin sebagai orang yang tertimpa siraman Munarman hanya menanggapi dengan santai. Tentunya, ia tidak akan melawan tindakan anarkis dengan anarkis pula. Meski Pak Tamrin santai, orang-orang yang respek padanya lah yang grudukan. Karena siraman Munarman akan berdampak pada opini massa tentang FPI, organisasi di mana Munarman adalah juru bicaranya. Hingga ada yang bilang, bahwa Munarman adalah representasi dari FPI.
Petani adalah penyiram sejati, menumbuhkan dan merawat tumbuhan untuk berbuah hingga bisa dipanen. Itulah makna siram yang dilakukan petani. Pagi ini siram menyiram sedang dipinjam Munarman, bukan menumbuhkan dan merawat tumbuhan, tapi untuk menciderai etika diskusi dan dialog. Petani adalah pemilik sah “Siraman” dalam makna denotatifnya. Sedangkan Munarman mencuri siraman dan mengubah kata siraman pada konotasinya (Barker, 2011: 74; 2004: 129). Karena Munarman adalah jubir FPI dan dianggap representasi FPI, maka semakin kuatlah persepsi orang tentang FPI yang anarkis melalui siraman pagi Munarman hari ini. Lalu media berupa TVOne menyebarkan makna konotatif “Siraman”, akibat ulah Munarman. Barthes membahas soal ini dalam pembicaraan tentang semiotika. “Siraman” di media telah membentuk maknanya sendiri. Bersama Munarman, tindakan menyiram bukanlah hal yang biasa, tapi bersifat ideologis. Operasi ideologis makna konotatif inilah yang Barthes maksud dengan Mitos.
Meskipun mitos adalah konstruksi kultural, tapi ia bisa menjadi tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudia mirip ideologi karena sama-sama bekerja pada level konotasi. Bahkan menurut Volosinov (dalam Barker, 2011: 74), bahwa ranah ideologi berkorespondensi dengan arena tanda, dimana ada tanda di sana ada ideologi. Ideologi sejak dulu soal siram menyiram adalah pekerjaan petani sehari-hari telah berganti pada tindakan asosial yang tidak layak dilakukan seorang bernurani. Siram menyiram untuk menumbuhkan dan merawat tumbuhan agar produktif telah berganti menjadi pencideraan pada etika diskusi publik.
Mitos ini suatu saat memang akan terbongkar, atau dibongkar dengan sengaja, didekonstruksi sesuai perbaikannya pada yang asali. Namun butuh waktu lama, sebagaimana kelupaan pada yang telah ada sebelumnya.
Barangkali petani sangat akrab dengan kata Siram, seperti menyiram tembakau, bunga, dsb. Dulu seringkali kita mendengar kalimat “siraman rohani”, semacam tuangan kata-kata yang dapat menyejukkan hati agar tetap semangat menuju jalan spiritual. Pagi ini, ternyata siram menyiram begitu sangat identik dengan tindakan asosial di sebuah stasiun televisi berskala nasional. Rakyat pun menghujat, dari Twitter hingga Facebook. Barangkali hanya rakyat di Friendster yang telat mendengar kabar, dan petani yang rajin menyiram tembakau di Madura tidak sama sekali tahu bahwa yang mereka lakukan tiap pagi telah dipraktekkan Munarman di layar televisi, siram menyiram. Karena petani di pagi hari pasti sibuk bekerja dan tidak sempat menonton TVOne yang jarang memberitakan Lapindo.
Hujatan di Facebook dan Twitter serta media sosial lain beragam bentuknya, ada yang guyon dan ada yang serius hingga menggunakan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penganiayaan untuk membuktikan bahwa tindakan Munarman salah. Ada yang sangat respek sekali dan bahkan mendukung Munarman. Ada yang sampai-sampai hendak merencanakan diadakannya Hari Siraman Nasional. Ya, gara-gara pagi ini. Luar biasanya peran media dalam persebaran informasi ternyata berdampat penting bagi pemahaman masyarakat. Berita saat ini bukanlah hal yang patut dicurigai lagi bahwa isi berita menyimpan ide dan kepentingan tertentu. Lumrahnya, simak dan baca berita itu lalu tinggalkan saja.
Sekali lagi, soal siram menyiram, Pak Tamrin sebagai orang yang tertimpa siraman Munarman hanya menanggapi dengan santai. Tentunya, ia tidak akan melawan tindakan anarkis dengan anarkis pula. Meski Pak Tamrin santai, orang-orang yang respek padanya lah yang grudukan. Karena siraman Munarman akan berdampak pada opini massa tentang FPI, organisasi di mana Munarman adalah juru bicaranya. Hingga ada yang bilang, bahwa Munarman adalah representasi dari FPI.
Petani adalah penyiram sejati, menumbuhkan dan merawat tumbuhan untuk berbuah hingga bisa dipanen. Itulah makna siram yang dilakukan petani. Pagi ini siram menyiram sedang dipinjam Munarman, bukan menumbuhkan dan merawat tumbuhan, tapi untuk menciderai etika diskusi dan dialog. Petani adalah pemilik sah “Siraman” dalam makna denotatifnya. Sedangkan Munarman mencuri siraman dan mengubah kata siraman pada konotasinya (Barker, 2011: 74; 2004: 129). Karena Munarman adalah jubir FPI dan dianggap representasi FPI, maka semakin kuatlah persepsi orang tentang FPI yang anarkis melalui siraman pagi Munarman hari ini. Lalu media berupa TVOne menyebarkan makna konotatif “Siraman”, akibat ulah Munarman. Barthes membahas soal ini dalam pembicaraan tentang semiotika. “Siraman” di media telah membentuk maknanya sendiri. Bersama Munarman, tindakan menyiram bukanlah hal yang biasa, tapi bersifat ideologis. Operasi ideologis makna konotatif inilah yang Barthes maksud dengan Mitos.
Meskipun mitos adalah konstruksi kultural, tapi ia bisa menjadi tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudia mirip ideologi karena sama-sama bekerja pada level konotasi. Bahkan menurut Volosinov (dalam Barker, 2011: 74), bahwa ranah ideologi berkorespondensi dengan arena tanda, dimana ada tanda di sana ada ideologi. Ideologi sejak dulu soal siram menyiram adalah pekerjaan petani sehari-hari telah berganti pada tindakan asosial yang tidak layak dilakukan seorang bernurani. Siram menyiram untuk menumbuhkan dan merawat tumbuhan agar produktif telah berganti menjadi pencideraan pada etika diskusi publik.
Mitos ini suatu saat memang akan terbongkar, atau dibongkar dengan sengaja, didekonstruksi sesuai perbaikannya pada yang asali. Namun butuh waktu lama, sebagaimana kelupaan pada yang telah ada sebelumnya.
Posting Komentar
0 Komentar