Obrolan Imajiner dengan Seorang Teroris

Fulanah: Selamat sore, Tuan! Saya bisa minta waktu Anda sebentar?

Teroris: Boleh. Asal tidak mengganggu aktifitas saya mengebom, silakan saja.

Fulanah: Ngomong-ngomong, belakangan negara ini disebut sebagai sarang teroris. Apa yang Anda pikirkan?

Teroris: Oh... itu pernyataan lebay. Nyatanya, negara ini lebih banyak orang baik seperti Anda daripada teroris seperti saya. Kalau mereka menyebut negara ini sarang teroris, berarti hanya kami yang diperhitungkan. Mahasiswa macam Anda ini tidak mereka perhatikan. Barangkali hanya dianggap angin lalu, atau semacam anjing bagi para kafilah.

Fulanah: Bagi Anda, sebenarnya apa itu teror?

Teroris: Teror itu tindakan mengacau dengan kekerasan agar semua orang merasa takut, ngeri, selalu siaga, dan seakan tiada tempat dan waktu selain waspada. Tentu dengan pikiran negatif dan naif. Bukan hanya dalam bentuk pengeboman dan lainnya. Anda bisa dianggap meneror seseorang ketika SMS tak jelas dengan nada menakut-nakuti, kan? Itu bagian dari teror. Anda merasa bahwa Anda sangat inferior dan seakan ada banyak elemen yang mengatasi eksistensi Anda, itu juga termasuk teror bagi Anda.

Fulanah: Maksud saya seperti ini, belakangan ini kan sering ada pengeboman tempat ibadah. Bagaimana Anda bersikap dengan hal semacam itu?

Teroris: Itu hal yang biasa. Sama dengan SMS gelap, tak ada bedanya dengan ekspansi modal asing agar para petani tidak lagi mendapatkan lahannya, sama juga dengan ketika negara tidak bertanggung jawab atas kesehatan dan kecerdasan rakyatnya.

Fulanah: Saya pikir Anda terlalu luas membicarakan teror. Coba dipersempit lagi.

Teroris: Saya rasa sudah sesempit mungkin. Bahkan lebih sempit dari kapasitas celana dalam Anda. Yang Anda inginkan pembicaraan macam apa sebenarnya? Teror itu ya tindakan menakut-nakuti. Kalau Anda tidak merasa takut dengan teror, atau Anda menganggapnya lelucon, itu bukan teror. Lalu apakah Anda tidak berpikir bahwa negara yang menyebut negara ini sarang teroris itu justru adalah dedengkot terorisme?

Fulanah: Iya itu pikiran Anda. Okey saya dapatkan. Lalu apakah yang mengebom Vihara kemarin itu teman-teman seperjuangan Anda?

Teroris: Seperjuangan mungkin iya. Tapi belum tentu sealiran. Saya ini teroris romantis. Mana mungkin saya mengebom Vihara. Nanti bisa kualat sama Budha. Itu tempat suci, disucikan oleh banyak orang, oleh ummat Budha. Saya berdosa jika mengebomnya.

Fulanah: Apakah Anda tahu siapa dalang pengeboman vihara kemarin?

Teroris: Mana saya tahu. Yang jelas itu bukan orang Indonesia. Apalagi orang Islam. Orang Indonesia itu objek terorisme, kita ini bangsa banci. Makanya terus-terusan ditakut-takuti. Sedangkan orang Islam yang kaffah tidak mungkin melakukan pengeboman, apalagi di tempat ibadah. Itu namanya mendahului kehendak Tuhan. Bisa disebut syirik dan kufur, masuk neraka.

Fulanah: Setujukah Anda jika teroris dihukum mati?

Teroris: Lho, umur saya tinggal sebentar lagi dong! Saya tidak setuju. Itu menyangkut kedewasaan berpikir dan bersikap bangsa ini. Teroris juga manusia. Yang salah dengan tindakan adalah cara berpikirnya. Penggal terorismenya, maka mereka akan mati dengan sendirinya. Tanpa terorisme, pelaku teror bukanlah seorang teroris. Kalau mereka memang mendapatkan tutorial cuci otak hingga menjadi seorang teroris, kotorin lagi dong otaknya. Kotorin sekotor kotornya hingga menjadi manusia biasa lagi seperti Anda.

Fulanah: Apakah teror ada hubungannya dengan yang lain? Misalnya kepentingan global?

Teroris: Jelas ada. Apa sih yang tak ada hubungannya dengan agenda setting politik internasional? Kakek Anda bertani pohong mencangkul di tengah sawah hingga punggungnya licin karena panas matahari itu ada hubungannya dengan manajer perusahaan biskuit yang menjadikan pohong sebagai bahan baku utamanya. Nelayan yang bekerja di laut tak mikir waktu itu ada hubungannya dengan tukang masak di pabrik sarden. Pekerja serabutan itu ada hubungannya dengan perputaran keuangan internasional. Siapa yang dirugikan? Ya yang lokal seperti pekerja, petani, dan nelayan.

Soal teror ada kepentingannya atau tidak dengan agenda ekonomi politik itu ada. Contoh kecil, Metallica gagal konser di Jakarta karena ada bom meledak di vihara. Itu siapa yang mengebom? Tender saingan yang mendapatkan proyek konser Metallica? Mungkin. Perusahaan musik yang takut tersaingi? Mungkin.

Eh iya. Maaf waktu saya sudah habis. Kita lanjutkan nanti jika ada waktu ngobrol lagi soal terorisme. Saya buru-buru berangkat merakit bom untuk diledakkan di Jawa Timur saat Pilkada Jatim nanti.

Posting Komentar

1 Komentar

Anonim mengatakan…
mantap pak...hahaha