Identitas
Mudik dan Identitas Orang Madura
(Diterbitkan di Radar Madura Jawa Pos Group pada Sabtu, 10 Agustus 2013)
"Tidak ada orang Madura yang udik, karena tidak ada orang Madura mudik saat Lebaran." Begitulah pernyataan sarkastik seorang teman ketika saya berbincang dengannya. Orang Madura memang tidak mudik, tapi yang pasti mereka pulang kampung saat Lebaran tiba. Kata lain Mudik dalam Bahasa Madura adalah Toron. Secara etimologis, Toron bisa diartikan Turun dalam Bahasa Indonesia. Namun secara terminologis, dalam momen pulang kampung seperti pada saat Lebaran, Toron adalah mudik itu sendiri.
Menariknya, balik dari kampung halaman ke perantauan setelah mudik disebut Ongghe (naik). Dalam imajinasi kolektif orang Madura, perantaun terkesan lebih tinggi posisinya dari kampung halaman. Mengapa bisa demikian? Saya akan menampilkan dua tafsiran tentang kata toron dan ongghe, pertama ada anggapan inferior dalam diri orang Madura, hingga kampung halaman lebih rendah tempatnya secara imajiner dalam benak mereka. Kedua, ungkapan toron dan ongghe sebagai penghormatan pada rantau karena rantau adalah ruang pertarungan dan pertaruhan hidup.
Kehadiran Suramadu sebagai jembatan penghubungan antara Surabaya dengan Madura tidak menghilangkan imajinasi kolektif itu. Jembatan Suramadu tidak mampu menghapus relasi vertikal antara rantau dengan kampung halaman. Sebagai jembatan yang menjembatani segalanya, dari ekonomi hingga kebudayaan, dari aspek politik hingga aspek sosial, Suramadu tidak terlalu memberikan sumbangsih positif pada dimensi kultural dan identitas. Jika diperhatikan, Suramadu hanya menyentuh percepatan laju lalu lintas antara Surabaya dan Madura, tidak lebih dari itu. Pasca jembatan ini dibangun, daya belanja orang Madura ke Surabaya meningkat, hingga yang ada hanya perputaran modal di satu ranah, tidak menyebar ke kedua arah jembatan. Apalagi secara geoekonomi, Suramadu hanya menyentuh bagian barat Pulau Madura. Selebihnya tidak.
Mengenai Identitas
Munculnya kata toron dan ongghe dalam tradisi pulang kampung orang Madura bukan berawal dari imajinasi inferior kolektif, namun dari penghormatan terhadap rantau yang oleh orang Madura dianggap sebagai ranah perjuangan. Sedangkan kampung halaman adalah tempat dimana harmoni hidup tumbuh bermula dan sebagai tempat kembali. Namun paradoks identitas dewasa ini tumbuh subur layaknya kecambah di lahan basah. Identitas tidak lagi jadikan modal kultural untuk menghadapi tantangan.
Sayangnya, toron dan ongghe saat ini berubah makna, terbayang berdasarkan makna literalnya yang menyimpan petanda (signified) vertikal, Madura berposisi di bawah dan rantau di atas. Problem utamanya tidak hanya pada persoalan cara berpikir ketika di rantau, tapi juga merembet ke ranah penghancuran atas kearifan lokal saat di kampung halaman. Seperti pulang kampung hanya untuk pamer pakaian dari sikap tidak menghargai kebudayaan lokal.
Jika merujuk karakter orang Madura yang abhantal ombak asapo' angin (berbantal ombak berselimut angin) dan ngambhang kanyot (mengambang terhanyut) atau ngamondhurannaghi (membunglon, fleksibel) sebagaimana keturunan Sang Segara, orang Madura memang pada dasarnya suka berlayar dan merantau, tidak sedikit kisah orang Madura sukses bidang pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan tentang orang Madura yang selama Perang Dunia II telah berkiprah di pihak sekutu dalam pertempuran di Papua atau di medan perang Italia (Rifai, 2007: 444). Kisah-kisah itu memberikan gambaran pada kita bahwa fleksibelitas dan ketangguhan orang Madura terbukti dapat diandalkan di banyak bidang.
Persoalan penting yang sebenarnya ada pada identitas orang Madura di tengah persilangan budaya rantau yang antah berantah itu. Apakah di rantau yang jauh dari kampung halaman itu orang Madura bisa survive dengan kemaduraannya, atau bahkan telah hilang ditabrak berbagai macam tendensi etnis yang memang rentan terjadi di Indonesia? Bila asumsi tentang manusia sebagai makhluk peniru dikedepankan, maka meniru adalah proses pertama terciptanya budaya.
Rantau adalah tempat yang berbeda dengan kampung halaman, dari segi geopolitik dan sosial. Menempatkan diri sebagai orang asing di tanah rantau bisa saja menjadi bumerang bagi diri sendiri dan orang lain. Untungnya, karakter orang Madura sebenarnya yang mampu fleksibel di mana pun dapat dipertanggung jawabkan dan tidak mengecewakan. Jika ada yang keluar dari frame karakter asli ini, maka bisa dipastikan bahwa kemaduraannya telah hilang digerus persilangan budaya yang tak jelas akarnya.
Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity (1997), menyatakan bahwa "(pandangan hidup) dunia kita adalah hidup kita". Pandangan hidup lokal yang berpijak pada identitas inilah yang menyemburatkan makna cara bersikap dan pengalaman. Lokalitas memang menyimpan banyak pandangan hidup yang bijak, namun kita harus ingat bahwa pandangan bijak itu harus digali sambil lalu dijaga kelestariannya.
Madura adalah representasi dari sekian banyak daerah yang belum sepenuhnya terbangun, dan pembangun selalu membutuhkan jangka waktu yang cukup untuk benar-benar mencapai kepurnaannya. Jika solusi untuk menghilangkan akibat negatif mudik adalah dengan menghilangkan tradisi mudik, maka yang perlu diatasi pertama kali adalah menghilangkan 'tradisi' merantau dengan pemerataan pembangunan dan tidak melupakan kearifan lokal.
"Tidak ada orang Madura yang udik, karena tidak ada orang Madura mudik saat Lebaran." Begitulah pernyataan sarkastik seorang teman ketika saya berbincang dengannya. Orang Madura memang tidak mudik, tapi yang pasti mereka pulang kampung saat Lebaran tiba. Kata lain Mudik dalam Bahasa Madura adalah Toron. Secara etimologis, Toron bisa diartikan Turun dalam Bahasa Indonesia. Namun secara terminologis, dalam momen pulang kampung seperti pada saat Lebaran, Toron adalah mudik itu sendiri.
Menariknya, balik dari kampung halaman ke perantauan setelah mudik disebut Ongghe (naik). Dalam imajinasi kolektif orang Madura, perantaun terkesan lebih tinggi posisinya dari kampung halaman. Mengapa bisa demikian? Saya akan menampilkan dua tafsiran tentang kata toron dan ongghe, pertama ada anggapan inferior dalam diri orang Madura, hingga kampung halaman lebih rendah tempatnya secara imajiner dalam benak mereka. Kedua, ungkapan toron dan ongghe sebagai penghormatan pada rantau karena rantau adalah ruang pertarungan dan pertaruhan hidup.
Kehadiran Suramadu sebagai jembatan penghubungan antara Surabaya dengan Madura tidak menghilangkan imajinasi kolektif itu. Jembatan Suramadu tidak mampu menghapus relasi vertikal antara rantau dengan kampung halaman. Sebagai jembatan yang menjembatani segalanya, dari ekonomi hingga kebudayaan, dari aspek politik hingga aspek sosial, Suramadu tidak terlalu memberikan sumbangsih positif pada dimensi kultural dan identitas. Jika diperhatikan, Suramadu hanya menyentuh percepatan laju lalu lintas antara Surabaya dan Madura, tidak lebih dari itu. Pasca jembatan ini dibangun, daya belanja orang Madura ke Surabaya meningkat, hingga yang ada hanya perputaran modal di satu ranah, tidak menyebar ke kedua arah jembatan. Apalagi secara geoekonomi, Suramadu hanya menyentuh bagian barat Pulau Madura. Selebihnya tidak.
Mengenai Identitas
Munculnya kata toron dan ongghe dalam tradisi pulang kampung orang Madura bukan berawal dari imajinasi inferior kolektif, namun dari penghormatan terhadap rantau yang oleh orang Madura dianggap sebagai ranah perjuangan. Sedangkan kampung halaman adalah tempat dimana harmoni hidup tumbuh bermula dan sebagai tempat kembali. Namun paradoks identitas dewasa ini tumbuh subur layaknya kecambah di lahan basah. Identitas tidak lagi jadikan modal kultural untuk menghadapi tantangan.
Sayangnya, toron dan ongghe saat ini berubah makna, terbayang berdasarkan makna literalnya yang menyimpan petanda (signified) vertikal, Madura berposisi di bawah dan rantau di atas. Problem utamanya tidak hanya pada persoalan cara berpikir ketika di rantau, tapi juga merembet ke ranah penghancuran atas kearifan lokal saat di kampung halaman. Seperti pulang kampung hanya untuk pamer pakaian dari sikap tidak menghargai kebudayaan lokal.
Jika merujuk karakter orang Madura yang abhantal ombak asapo' angin (berbantal ombak berselimut angin) dan ngambhang kanyot (mengambang terhanyut) atau ngamondhurannaghi (membunglon, fleksibel) sebagaimana keturunan Sang Segara, orang Madura memang pada dasarnya suka berlayar dan merantau, tidak sedikit kisah orang Madura sukses bidang pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan tentang orang Madura yang selama Perang Dunia II telah berkiprah di pihak sekutu dalam pertempuran di Papua atau di medan perang Italia (Rifai, 2007: 444). Kisah-kisah itu memberikan gambaran pada kita bahwa fleksibelitas dan ketangguhan orang Madura terbukti dapat diandalkan di banyak bidang.
Persoalan penting yang sebenarnya ada pada identitas orang Madura di tengah persilangan budaya rantau yang antah berantah itu. Apakah di rantau yang jauh dari kampung halaman itu orang Madura bisa survive dengan kemaduraannya, atau bahkan telah hilang ditabrak berbagai macam tendensi etnis yang memang rentan terjadi di Indonesia? Bila asumsi tentang manusia sebagai makhluk peniru dikedepankan, maka meniru adalah proses pertama terciptanya budaya.
Rantau adalah tempat yang berbeda dengan kampung halaman, dari segi geopolitik dan sosial. Menempatkan diri sebagai orang asing di tanah rantau bisa saja menjadi bumerang bagi diri sendiri dan orang lain. Untungnya, karakter orang Madura sebenarnya yang mampu fleksibel di mana pun dapat dipertanggung jawabkan dan tidak mengecewakan. Jika ada yang keluar dari frame karakter asli ini, maka bisa dipastikan bahwa kemaduraannya telah hilang digerus persilangan budaya yang tak jelas akarnya.
Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity (1997), menyatakan bahwa "(pandangan hidup) dunia kita adalah hidup kita". Pandangan hidup lokal yang berpijak pada identitas inilah yang menyemburatkan makna cara bersikap dan pengalaman. Lokalitas memang menyimpan banyak pandangan hidup yang bijak, namun kita harus ingat bahwa pandangan bijak itu harus digali sambil lalu dijaga kelestariannya.
Madura adalah representasi dari sekian banyak daerah yang belum sepenuhnya terbangun, dan pembangun selalu membutuhkan jangka waktu yang cukup untuk benar-benar mencapai kepurnaannya. Jika solusi untuk menghilangkan akibat negatif mudik adalah dengan menghilangkan tradisi mudik, maka yang perlu diatasi pertama kali adalah menghilangkan 'tradisi' merantau dengan pemerataan pembangunan dan tidak melupakan kearifan lokal.
Posting Komentar
0 Komentar