Le September



Lucu ya kalau menjelang pertengahan September. Orang itu, seorang ibu itu, mungkin saja tidak begitu bahagia dengan kelahiran anaknya yang keempat, bayi lelaki yang sangat tidak tahu malu menampakkan hitam rambutnya yang terurai seperti habis disisir tiap pagi, cerita ibunya sih yang begitu.

Ada seorang ibu yang pernah berkata ketidaktegaannya pada anak itu hingga ia nyaris memasukkannya ke dalam perutnya lagi. Ada! Ada seorang ibu yang dari saking tak tega pada anaknya yang harus menghadapi kerasnya dunia ini nyaris enggan melahirkan bayinya. Ada!
Bukan begitu, Kasih. Bayi itu terlahir, akibat cinta dan barangkali campur benci, lalu mukanya menghitam akibat ia terlalu banyak main di bawah terik matahari pantai dan sering lompat dari perigi sungai ke aliran banjir di saat hujan baru saja reda. Lalu ibu itu memanggil anak kecil yang dulu pernah jadi bayinya itu, dengan sapa hangat tapi di tangan sang ibu itu ada bambu seukurang lengan sebagai ancaman agar anaknya yang nakal itu berhenti main di banjir sungai.

Ada seorang ibu, yang dari saking tak teganya si anak harus menghadapi kerasnya dunia, si ibu enggan memondokkannya di seberang lautan, di Nurul Jadid, agar ia dekat saja di Annuqayah Guluk-Guluk itu. Ada! Ada seorang ibu yang tidak ingin anaknya jauh, saat sudah nyaris dewasa dilarang kuliah di Jakarta. Karena menurutnya itu hanya membuat si anak pulang dua tahun sekali. Ada!

Tidak ada ibu yang tidak sayang anaknya. Apabila sore itu ia pulang dari kerjanya yang serabutan, si anak sudah menunggu kepulangan ibu itu, di depan pintu dapur tempat ia makan. Barangkali ia lapar, karena seharian itu tak ada sesuap nasi pun masuk ke rongga lehernya. Dalam hitungan waktu, ternyata masa telah berlalu, mengibarkan telapak tangan, agar muka anak muda yang dulu pernah jadi bayi itu merasa bahwa tangannya telah terbuka untuk takluk pada dunia.

Pada puisi-puisi anak muda yang pernah jadi bayi itu menumpahkan rasa sayang yang jauh dari ibunya, kadang juga bercampur dengan banyak orang yang ia kagumi, dari guru hingga saudara dekatnya, dari sahabat hingga musuhnya. Anak muda itu, tidak terpesona selebih keterpesonaannya pada manusia yang unik bagi dunia dan akhiratnya nanti. Entah baginya, ada iman pada diri, juga pada tuhannya yang kekal abadi. Percaya atau tidak, shalat hanyalah selingan baginya, selang-seling di antara cinta yang memuncak dan benci yang berdecak.

Tengah bulan ini anak muda itu ulang tahun, kata orang kota. Sebagaimana sang nabi juga dipuja puji dengan berbagai syair tentang kebaikannya, bukan tentang keburukannya. Tapi apa yang akan dipuja puji di hari yang nista, saat hina lahir, ketika najis mengalir. Tak ada. Apa perlu seorang sahabat datang dengan tangan beronggok kue dengan angka sejumlah tahun lahir agar si najis ingat lagi kapan ia terlempar ke dunia. Tak perlu! Apapun yang dibutuhkan oleh najis bukanlah doa, tapi tindakan membuang. Bunuh anak muda itu, pada hari dimana ia dilahirkan, di waktu ia tidak memiliki apapun kecuali kehinaan.

Saat lahir, anak muda itu telah mati. Bermandi najis yang murni, hina yang abadi, lelehan api sunyi di ruang penjara sang penjudi. Kalau ada makhluk yang musnah sebelum ia diciptakan, maka ialah anak muda itu. Jangan ragu untuk mengusirnya, jika ia berkehendak menjejakkan kaki di pintu rumahmu, Sahabat.

Posting Komentar

0 Komentar