Keterlemparan


Apakah perlu kita mempertanyakan bagaimana kita ada? Apakah kita ada terlahir di dunia ini didahului oleh keinginan diri kita sendiri? Logikanya, kalau kita tidak pernah punya keinginan untuk Ada, bisa disimpulkan bahwa takdir kelahiran kita adalah keterpaksaan yang tak disadari.
 
Andai sebelum lahir manusia ditanya apakah ia menginginkan kehidupan dunianya atau tidak, tentu ia akan mempertimbangkan kehidupan dan kelahiran itu baik atau tidak bagi dirinya. Karena tidak bisa memilih untuk tidak lahirpun akhirnya manusia hidup awut-awutan, tak jelas, hampa makna, dan bahkan kadang ada yang tidak punya tujuan.

Persoalan sebenarnya bukan hanya kita terpaksa Ada, namun setelah terwujud pun bagaimana kita meng-Ada. Mari kita hentikan bagaimana nanti setelah mati, kita dilempar ke neraka atau diantar bidadari ke surga. Karena sebenarnya yang kita anggap Pencipta pun harus bertanggung jawab atas kelahiran kita yang terpaksa.

Saya pernah bertemu dengan seseorang ketika dalam perjalanan untuk tes masuk kuliah di rantau. Orang itu naik di Sampang dan turun di Bangkalan. Sangat sebentar sekali jika dibanding dengan kesempatan untuk ngobrol lebih lama. Di salah satu cuplikan perkataannya itu, “Kita ini hidup menantang yang tidak kita inginkan.” Udara dingin malam, deru bis dan hembus nafasnya tak imbang, lalu sayup-sayup nan pelan ia pun menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia rupanya melepas ketegangan.

“Siap atau tidak menghadapinya, tidak pernah ada kata mundur bahkan sebelum kamu melangkah.” Katanya lebih lanjut. Lelaki tua yang sudah bercerita bahwa ia punya dua anak gadis kecil itu lalu tersenyum dalam keremangan ruangan bis dengan sedikit bias cahaya dari luar, sesekali lampu-lampu kendaraan dari berlawanan arah kadang menyinari tempat batang hidungnya bercokol. Wajahnya keras. Ia lebih tampak seperti lelaki yang di masa mudanya pernah mengalami keputus-asaan yang tak bisa ditolerir. Barangkali karena hidupnya terlalu melarat. Mungkin saja ia tak laku hingga menikah dan punya anak pada usia yang sudah mulai senja ini.

Dari banyak ucapan dan renungannya itu, baginya ternyata pesimisme tidak seburuk bayangan orang. Ia justru bisa merenungi. Nasib adalah apa yang ingin ia capai lalu gagal. Bukan yang ia citakan lalu sukses. Buat dia pribadi, keberhasilan bukan ujung dari usaha panjang, tapi kesempatan yang ia rebut dari orang lain. Bolehlah kamu menyebut ia naif. Tapi ia orang baik yang membuat saya bisa berpikir bahwa niat ke Jakarta pun hanya keinginan yang jarang dimiliki orang lain. Apakah kita pernah mengira bahwa ternyata yang kita punya ini milik mereka juga?

Tak sampai lama waktu memberi tempat baginya untuk mencurahkan isi hati dari asahan hari-hari masa lalunya, tiba-tiba secara mendadak ia bertanya sudah sampai di mana. Saya jawab, “Socah.” Lalu ia bergegas merapikan tas kecilnya. Hendak turun. Dengan jabat tangan, kurasa keriput di bagian atas tangannya yang masih terasa keras, kekar namun kaku. Entahlah. Tangan yang datang dari masa lalu.

Ia melangkah di antara kursi bis, tanpa ucap sedikitpun, tanpa pamit pada teman duduknya sejak setengah jam yang lalu. Ia turun, lalu saya tak pernah lagi melihatnya sampai hari ini. Ia tinggal dalam kenangan setiap saya pulang lewat Socah, Bangkalan. Lelaki yang hadir dari masa lalu itu sama menyesalnya dengan Eppak yang tak bisa merawat anaknya hingga mampu melakukan segala sesuatu dengan sendirinya.

Saat pulang terakhir kali sebelum lebaran kemarin, saya teringat lagi cuplikan perkataannya, “Jika keluarga adalah agama yang Tuhan turunkah, maka seorang ibu-lah nabinya.” Saya sadar, ternyata rahim hanya untuk perempuan, kitab suci yang tak bisa ditafsirkah kecuali dengan kasih sayang.

Malang, 20 September 2013

Posting Komentar

0 Komentar