Catatan Harian
Buku Saudariku
Ia pernah
memberiku sebuah buku. Sebuah novel yang diawali dengan paragraf tentang bangun
di sepertiga malam terakhir hanya untuk menghadap yang maha tiada. Karena penghargaan
padanya, sebab ia telah memberiku kesempatan untuk menjadi adiknya, kubaca buku
itu. Meski bertolak belakang dengan pemahamanku tentang dunia, ia telah
berusaha mengajakku membaca, sesuatu yang terlalu istimewa bagi kami yang hidup
di keluarga kurang mampu yang untuk membeli buku tipis pun harus diganti dengan
pinjam di perpustakaan. Namun di sanalah indahnya bersaudara, terutama ketika
kuingat bahwa ia adalah salah satu dari orang yang kucinta.
Aku telah
melupakan judul buku itu, buku dengan cover yang sangat tampak gelap karena
warnanya yang hitam pekat tanpa pantulan cahaya. Ia, telah memberiku cahaya
sepersepuluh yang diberikan Nabinya. Pura-pura aku senang, ia tak tahu, bahwa
di antara lauk penyerta makan siangku telah kulempar ke tenggorokan senja.
Beberapa bulan
berlalu, buku itu tak selesai kubaca. Aku memimpikan dia shalat subuh di bawah
matahari yang terik, dan dhuhur saat malam sudah larut. Aku heran, apa
ketaatannya telah luntur oleh harap yang mencemaskan. Ia pulang pada ibu,
menjenguk bapak yang tak pernah menanyakan kami telah kelas berapa, kurang
berapa tahun sekolah kami akan selesai.
Buku itu telah
hilang. Saat kuingat sekarang, tetes air mata dari mata airnya perlahan
meleleh, menggantikan harapnya yang dicemaskan banyak orang. Ia tak beruntung
hanya karena nasib telah menuliskannya hidup di lingkungan yang tak memberikan
kesempatan sedikitpun pada perempuan untuk berkarya. Ia sangat pandai menulis
puisi, catatan hariannya adalah sajak berirama telaga dengan segala pembunuh
dahaga. Adalah aku, seorang adik yang tak paham bahwa kebebasan telah menjadi
bayang-bayang kesehariannya agar ia bahagia.
Aku berdosa
padanya, Atid dan Roqib tak pernah mencatat, tapi ia adalah malaikat bagi
dirinya sendiri. Kupanggil ia pagi itu, “In, aku ingin menemanimu membuka satu
persatu pintu kelas yang menjadi tugasmu di pagi yang pekat.” Kataku pelan. Ia mengizinkan,
lalu aku berjalan di belakangnya. Langkahnya pelan, penuh kepastian tapi juga
keraguan. Melewati rumput-rumput yang masih basah dengan embun itu, ia
bercerita tentang ikan asin yang ia goreng siang kemarin. Katanya, aku tak ia
bagikan karena tidak ada orang yang bisa memanggilku hadir di makan siangnya
yang menyenangkan. Ia begitu kurus, namun semangat telah membuatnya tampak
sangat sehat.
Di pagi yang tak
ada cerah sedikit pun itu, ia tak bisa membuka salah satu pintu kelas karena
lubang kunci pintu itu karat. Kubantu ia, sampai bisa. Ia berterima kasih,
seperti baru saja dibantu orang yang bukan adiknya sendiri. Kukira ia masih
ingat pada buku yang ia berikan pada beberapa hari sebelumnya. Ia tak menanya,
kenapa aku tidak bercerita bagaimana isi buku itu menurutku. Lalu langkah
perlahan di pagi itu telah membuatku menyesal kenapa aku tak pernah
menyelesaikan buku yang ia sarankan.
Buku itu, telah
menjadi kenangan pertama penyesalanku sendiri. Mengingat ceritanya yang
mendebarkan dua kakiku, ia tak bisa menahan tangis saat membacanya. Entah seperti
apa isinya. Ia bercita jadi penulis, tapi sepena pun ia tak punya, kertas yang
kubawakan telah menjadi perban rasa sakit kegagalan mewujudkan harapannya yang
dicemaskan banyak orang.
“In, sekarang kau
telah mewariskan yang kau harap itu pada anakmu, keponakan yang membuatku
selalu tahu bahwa harap yang dihadang cemas pun tak bisa dihentikan oleh zaman.”
Posting Komentar
0 Komentar