Seperti Bulan

Oktober 2009 lalu, bukit utara rumahmu mengering, dedaunan gugur, ranting-ranting dipungut seperti sisa daging. Jejak langkah kakimu lalu terdengar menginjak reranting itu, seperti alarm kehadiran, bahwa waktu tak cukup lama menunggu berakhirnya kerinduan.

Kau melihat sekitar, pada batu-batu di sungai tempatmu mandi di waktu kecil. Di sungai itu juga kau pernah ditunggu seseorang, yang kagum pada kedamaian, yang tak pernah menginginkan ketegangan. Kau menuju selatan, pertigaan jalan yang memberi banyak kenangan, tanpa arah, hanya tanah lapang dan tiang gawang.

Sudahkah kau berucap pada pagi itu, ketika kemarau hendak berlalu. Kemarin, hujanmu yang pertama di Oktober 2013, tentu tak kan kau wadahi hanya untuk kenangan abadi. Karena kau mulai percaya, keabadian adalah ancaman pertanggung jawaban. Mengertikah kau bahwa cuplikan kata yang terbentuk di ruang gelap itu hanyalah ungkap sedih angan pada kenangan.

Jauh sebelum Oktober ini ada, Oktober lain telah berlalu. Waktu adalah keterulangan. Dan rindu bisa jadi sekedar keinginanmu untuk bertemu. Di bukumu yang dulu, pernah kau tulis beberapa kalimat sakti. Pembaca bodoh sepertiku akan mengiyakan, bahwa makna tak pernah beragam. Namun seiring asahan rasa, gemetar ini telah memberi kita pemahaman, tentang tiadanya ketunggalan, termasuk ketunggalan makna dan harapan.

Dari arah pepohonan jati kering itu kau melangkah, hingga tak ada gugur daun yang membentang. Rumput yang basah oleh embun, dan tetes yang mulai berakhir, kenapa tak kau tampung di balik kerudungmu yang warnanya sama dengan rona merah pipimu.

Sekarang kau mengerti, kenapa setiap yang tak dipahami bisa dianggap pengkhianatan, mengapa setiap ucapan barangkali hanya nubuat peyakinan. Bulan ini seperti pertengahan Oktober. Seperti bulan. Seperti tahun. Seperti abad. Abad kemungkinan yang tak memberi pilihan apakah kau sanggup merindukan atau tidak merindukan.

Posting Komentar

0 Komentar