Catatan Harian
Emak, Hamka, dan Kapal Van Der Wijck
Menjelang rilisnya film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang diangkat dari novel karya Buya Hamka dengan judul yang sama, saya jadi teringat dulu ketika awal-awal belajar membaca buku. Waktu itu, emak sayalah yang memperkenalkannya. Saya tanya, Hamka orang mana, siapa dia, dan apakah dia punya nama asli layaknya banyak sastrawan yang memang lebih senang mencantumkan nama penanya saja daripada nama aslinya.
Emak menjawab pertanyaan saya. Ia menjelaskan dengan pelan, seperti sedang mendikte seorang pejalan kaki yang bertanya arah tujuan. Detil. Saya pun punya gambaran awal tentang Hamka, sebelum menyelami karyanya itu. Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya pegang waktu itu tidak utuh, di bagian belakangnya copot, tanpa cover, hingga saya harus mencari sisa yang terlepas itu di tumpukan buku dekat lemari.
Seakan tak ada yang terlewat. Zainuddin, Hayati, dan Aziz pun saya tangkap satu persatu dalam benak. Lebih dari itu, saya mulai belajar cara berbahasa, bagaimana menggambarkan peristiwa, utamanya peristiwa yang dekat dengan laut. Berkesuaian antara tempat di mana saya hidup dengan setting lokasi yang tergambar dalam novel.
Berapa tahun sudah berlalu. Saya tidak begitu mengingatnya. Saat kelas 2 MTs, di MTs Al-Ihsan, saya mulai tahu lebih banyak karangan. Tidak hanya Hamka seorang. Hingga desus tentang plagiarisme yang dituduhkan Abdullah SP pada Hamka atas karangan Manfaluthi, Magdalena. Saya tidak begitu memikirkannya. Begitu ada lembaran opini tentang plagiarisme di koran jadul yang terkliping di kertas lusuh di perpustakaan pesantren, saya hanya melewatkannya begitu saja. Beranjak ke Annuqayah, saya mulai tahu, tuduhan Abdullah SP soal plagiarisme yang Hamka lakukan itu adalah efek struktur politik yang merasuk seni, atau sebaliknya, mungkin. Saya tidak bermaksud membela Hamka, atau membela Abdullah SP yang menurut beberapa orang adalah nama samaran Pramodya Ananta Toer. Kepada dua penulis itu, saya menaruh hormat luar biasa. Meski keduanya berseberangan jalan, Hamka di Manikebu, dan Pram di kubu Lekra. Saya tidak mempermasalahkan keberseberangan keduanya itu
Bersamaan dengan filmisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, perdebatan mengenai liberalisme dan sosialisme kebudayaan (entah saya sebut lagi dengan apa), seni untuk seni atau seni untuk rakyat, menyeruak kembali dari sisa masa lalu Indonesia yang barangkali bagi banyak orang, sudah mulai terlupakan. Tentunya, emak tidak mendengar soal itu semua. Baginya, buku sangat berarti. Ia lebih kenal Hamka daripada Pram juga karena efek struktur politik yang mendistorsi karya Pram ke sudut penjara. Buku Pram dilarang, kalau beredar dibakar. Saat film ini dirilis pun, bahkan ketika bisa didownload di Ganool dan saya bisa mendapatkannya dengan gratis tanpa harus mengajak emak saya ke 21 (Tweenty One), ia tak kan menonton, karena baginya keindahan kata-kata di atas kertas tak bisa digantikan scene film di atas layar laptop atau bioskop.
Emak menjawab pertanyaan saya. Ia menjelaskan dengan pelan, seperti sedang mendikte seorang pejalan kaki yang bertanya arah tujuan. Detil. Saya pun punya gambaran awal tentang Hamka, sebelum menyelami karyanya itu. Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya pegang waktu itu tidak utuh, di bagian belakangnya copot, tanpa cover, hingga saya harus mencari sisa yang terlepas itu di tumpukan buku dekat lemari.
Seakan tak ada yang terlewat. Zainuddin, Hayati, dan Aziz pun saya tangkap satu persatu dalam benak. Lebih dari itu, saya mulai belajar cara berbahasa, bagaimana menggambarkan peristiwa, utamanya peristiwa yang dekat dengan laut. Berkesuaian antara tempat di mana saya hidup dengan setting lokasi yang tergambar dalam novel.
Berapa tahun sudah berlalu. Saya tidak begitu mengingatnya. Saat kelas 2 MTs, di MTs Al-Ihsan, saya mulai tahu lebih banyak karangan. Tidak hanya Hamka seorang. Hingga desus tentang plagiarisme yang dituduhkan Abdullah SP pada Hamka atas karangan Manfaluthi, Magdalena. Saya tidak begitu memikirkannya. Begitu ada lembaran opini tentang plagiarisme di koran jadul yang terkliping di kertas lusuh di perpustakaan pesantren, saya hanya melewatkannya begitu saja. Beranjak ke Annuqayah, saya mulai tahu, tuduhan Abdullah SP soal plagiarisme yang Hamka lakukan itu adalah efek struktur politik yang merasuk seni, atau sebaliknya, mungkin. Saya tidak bermaksud membela Hamka, atau membela Abdullah SP yang menurut beberapa orang adalah nama samaran Pramodya Ananta Toer. Kepada dua penulis itu, saya menaruh hormat luar biasa. Meski keduanya berseberangan jalan, Hamka di Manikebu, dan Pram di kubu Lekra. Saya tidak mempermasalahkan keberseberangan keduanya itu
Bersamaan dengan filmisasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, perdebatan mengenai liberalisme dan sosialisme kebudayaan (entah saya sebut lagi dengan apa), seni untuk seni atau seni untuk rakyat, menyeruak kembali dari sisa masa lalu Indonesia yang barangkali bagi banyak orang, sudah mulai terlupakan. Tentunya, emak tidak mendengar soal itu semua. Baginya, buku sangat berarti. Ia lebih kenal Hamka daripada Pram juga karena efek struktur politik yang mendistorsi karya Pram ke sudut penjara. Buku Pram dilarang, kalau beredar dibakar. Saat film ini dirilis pun, bahkan ketika bisa didownload di Ganool dan saya bisa mendapatkannya dengan gratis tanpa harus mengajak emak saya ke 21 (Tweenty One), ia tak kan menonton, karena baginya keindahan kata-kata di atas kertas tak bisa digantikan scene film di atas layar laptop atau bioskop.
Posting Komentar
0 Komentar