Kesal

Dulu ada cerita tentang perselingkuhan penguasa dengan pengusaha. Lalu seseorang mencatatnya. Nama pencatatnya adalah Aristotelo, saudaranya Aristotalas. Orang membaca itu lalu menyebutnya teori politik. Sekarang jadinya apa, penguasa tidak lagi selingkuh dengan pengusaha, tapi kumpul kambing dengan akademisi dan tukang survey.

Lalu ada lagi, namanya Machiavelli, nulis surat buat Prince, sering dipelestkan jadi Price. Akhirnya, orang jualan tampang ke mana-mana di banner saat momen politik. Jalan raya berubah jadi tong sampah. Persis seperti kutu di sela-sela jembut dalam sempak!

Kalau jembut Anda banyak kutunya, Hai kandidat master, lihatlah ke bawah, tepat di selangkangan, di atas kunam. Begitulah replika jahat dari jalan raya kita. Jalan satu arah menuju kimpet, dan banyak banner caleg-nya.

Di depan Indomaret Point, seorang pemuda menangis memegangi ujung sarungnya yang tidak dicuci selama lima tahun, satu dekade kepemimpinan SBY. Ia memandangi kain-kain berisi protes warga. Ia kira itu cermin yang bisa memantulkan mukanya, ternyata itu ungkapan kesedihan, yang tak berujung, berujung pun hanya jadi tangisan.

Banyak cerita yang ingin kusampaikan. Tak perlulah kau kopi paste menjadi status Facebook. Hanya akan jadi obrolah bawah gorong-gorong saja.

Organisasi kemasyarakatan yang sudah besar itu juga, yang mengaku tradisionalis, sekarang sudah cerdas. Bikin ikatan yang tak pernah kuat, simpulnya bukan simpul mati. Barangkali anggota dan pendiri ormas ini tak pernah ikut pramuka, tidak seperti Ali Wafa.

Mereka sekarang bikin badan otonom yang ambigu. Di kota tempat kita menjilat ini, mereka bikin kebijakan untuk penguasa. Mereka lupa soal Khittah 1926. Usia kita masih muda, masuk kedalamnya pun tak akan dianggap nyata, karena mereka kira kita masih bayi yang hanya bisa netek dari puting kelam.

Ada lagi kelompok lain, sama absurdnya, kelompok pencari fakta katanya, tapi mencari salah nyatanya. Ini barangkali yang oleh dosen di kelas politik itu disebut politik saling sandera. Semacam dialog suami istri di atas ranjang lah, "Mau puas? Diam saja. Asalkan kau di bawah."

Di jauh sana, di Pulau Aru, banyak didirikan perusahaan multinasional, bergerak dari bidang pertanian minyak kelapa hingga minyak gas. Orang aslinya bingung, kenapa bumi mereka, laut dan dahannya, dimakan oleh mulut yang datangnya dari bukan bangsa mereka sendiri.

Lalu Hosnan Abrori juga harus sedih, karena tampak dari barat rumah isterinya yang di sisi pantai itu, ada pengebor lautan, pencari minyak surga, tiap malam tanpa henti menyedot dasar lautnya. Yang payah, nelayan dilarang mendekat. Lebih payah lagi, penguasa setempat diam karena mulutnya disumbal uang haram!

Kita sedih yang sebenar-benarnya. Bukan hanya karena itu semua terjadi, tapi karena juga kita ternyata tidak bisa melakukan apa-apa selain menulis puisi.

Posting Komentar

1 Komentar

Gubuk Cerita mengatakan…
Rupanya Ibu Pertiwi sudah berubah jadi lebih judes dari ibu kos, sehingga kita memandangnya dengan penuh kecewa.