Ki Ramuk
Adakah yang lebih membahagiakan ketika melihat senyum seorang teman lama, tanpa kata menyapa, muncul dari masa yang telah berlalu. Senyum teman lama ini seperti tak biasanya, penuh keikhlasan, dan tentunya mengembalikan kenangan.
Saya mengenalnya pertamakali ketika masuk di kelas 2D MTs 1 Annuqayah. Kelas di pojokan sekolah yang dibiasi sinar matahari ketika pagi itu berisikan kurang lebih 45 siswa, semuanya putra. Ketika melangkahkan kaki di sabtu pagi tanggal 23 Juni 2005 itu, ada yang beda, yaitu seragam sekolah. Karena maklum, selama di sekolah sebelumnya, di Al-Ihsan 1A, saya tidak pernah bersekolah mengenakan seragam, bersepatu dan celana. Karena memang tidak diharuskan.
Sepatu bagi saya adalah benda langka. Betapa tidak, saya mengenakan sepatu waktu itu dari hasil memulung ayah saya di PP. Al-Amien Prenduan. Ayah saya adalah "pemulung tetap" yang setiap pagi berangkat dan pulang saat mentari naik sepenggalah.
Pindah ke Annuqayah dari Al-Ihsan bagi saya adalah lompatan dan perluasan pengetahuan. Bukan sekedar mencoba-coba untuk menaruh nasib, tapi juga mengikuti jejak famili saya yang sukses dengan mengembangkan kemampuannya. Bukan pula karena saya pesimis dengan kondisi keilmuan di Al-Ihsan, karena terhitung dua pesantren itu masih "sedarah". Tak ada beda, sama barokahnya.
Kembali lagi ke cerita hari pertama masuk kelas, saya bertemu banyak teman baru. Yang pertama saya kenal adalah Robby Abdi, Ahmad Rofiq, dan Eko Prayitno. Rofiq, panggilan Ahmad Rofiq, atau yang lebih dikenal Ki Ramuk, adalah yang terunik dari semua teman sekelas, bahkan mungkin terunik se-MTs 1 Annuqayah, atau barangkali terunik pesantren. Awalnya saya bertanya-tanya kenapa dia dipanggil Ramuk. Setelah berminggu-minggu saya lalui, ternyata panggilan itu melekat karena (maaf) giginya bercabang-cabang.
Ada lagi yang saya kenal dari awal masuk kelas itu, yaitu Luthfi Afif Azzainuri. Sekarang ia menetap dan kuliah di Jogja, menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Robby dan Eko saya tak tahu kabarnya hingga saat ini. Semoga mereka sukses dengan cita-citanya. Amin.
Soal Ki Ramuk, yang sampai saat ini ada di PP Annuqayah Latee menjadi abdi kebersihan pesantren, ternyata sampai sekarang tetap masih menarik diajak ngobrol. Sikapnya yang selalu merendah membuat saya harus mengikuti, dan pujian apapun yang keluar dari pembicaraannya adalah harapan mulia. Jangan meremehkan apa yang dilakukannya, sebagai abdi kebersihan di pesantren, ia orang yang tidak hanya berusaha mengemban tugas, tapi juga harus ikhlas. Bertahan hingga beberapa tahun menjadi petugas kebersihan bukan perkara mudah. Selain harus disiplin waktu untuk tetap bisa kuliah, ia harus mengatur waktu lebih baik dari santri paling sibuk di Annuqayah sekalipun.
Teman lama yang unik ini bagi saya adalah cerminan betapa keikhlasan menjadi pintu masuk menuju keberkahan ilmu.
Posting Komentar
0 Komentar